KEJUTAN
Sarah memandangi langit yang membentang saat menuruni tangga pesawat, menghirup udara serakusnya di negeri sendiri setelah 4 tahun menjalani study di luar negeri. Bahkan, Zidanne sebagai ayahnya tak tahu jika gadis itu pulang dan telah menyelesaikan wisudanya. Pria paruh baya itu beralasan tengah sibuk mengurus bisnis makanannya yang sedang meroket. Padahal acara wisuda itu sangat istimewa bagi Sarah. Namun, semua kekecewaan itu sedikit terobati karena gadis itu merupakan salah satu wisudawati terbaik di universitasnya.
Prestasi itu merupakan kejutan yang akan dia persembahkan kepada Zidanne dan juga Helena, ibu tirinya yang agak ketus dengannya selama ini. Rindu rasanya Sarah pada sosok ibunya yang telah tiada. Saat ini, menapaki negeri tempatnya berasal membuat Sarah begitu merindukan kasih sayang seorang ibu yang sudah tidak pernah dirasakannya lagi semenjak kelulusan sekolah. Berat rasanya ditinggal oleh seorang ibu yang begitu mencintainya. Terlebih ketika Zidanne menikah lagi dengan Helena. Semua terasa berat karena Sarah belum bisa menganggap wanita itu sebagai pengganti ibunya.
Ditambah lagi, Helena memiliki anak bernama Sonia yang usianya lebih tua dari Sarah.
Gadis itu sering kali membuat Sarah kesal, tapi posisinya selalu lemah karena tentu saja Helena akan selalu membelanya. Maka itulah, sewaktu kelulusan sekolah menengah umum, Sarah memutuskan untuk kuliah ke luar negeri. Helena pun sangat mendukung keputusan anak tirinya itu, bahkan sampai menghalangi Sarah untuk pulang. Ada saja alasan yang dikatakan oleh Helena. Hingga selama 4 tahun lamanya, Sarah tak pernah sekalipun pulang ke rumah.
Setelah mengambil barang bawaan yang cukup banyak, Sarah menaiki salah satu taksi yang berjajar di sebelah utara bandara. Pria berkumis itu memperhatikannya dari atas ke bawah. Mungkin dia merasa aneh dengan mantel bulu yang dipakai gadis itu saat panas menerpa siang-siang di negeri ini.
“Ah, apa dia tak mengerti bahwa aku hanya ingin menghemat tempat koperku? Mantel bulu yang terpaksa kubeli saat musim dingin berlangsung waktu itu, membuatku kesusahan mengemasinya,” gumam Sarah. Dia memutuskan untuk memakainya saja tanpa memperdulikan lagi pandangan orang.
“Arah mana, Non?” tanya sopir taksi berkumis itu menatap Sarah tajam.
“Jalan Rajawali nomor dua belas, Pak!”
Sambil membantu Sarah menata koper di bagasi, dia mengangguk. Kemudian Sarah mengikuti sopir itu menaiki taksi yang tak lama mulai berjalan menjauh dari bandara. Sarah menyempatkan diri menengok sebentar ke bandara itu.
“Mungkin aku tidak akan menaiki pesawat untuk pergi ke luar negeri lagi. Sudah cukup selama 4 tahun ini. Sekarang aku akan mencari pekerjaan di sini dan meluangkan banyak waktu agar bisa selalu bertemu dengan Mike.”
Sarah benar-benar sangat merindukannya. Pria yang selalu memberikan support padanya selama gadis itu merasa terabaikan oleh keluarganya. Namun, Sarah sama sekali tidak memberitahu Mike tentang kepulangannya. Dia sudah membayangkan wajah penuh keterkejutan kekasihnya itu, apabila melihat kedatangannya. Itulah kejutan yang memang sengaja Sarah rencanakan untuk Mike.
Terlalu bersemangat membayangkan pertemuannya dengan Mike, membuat waktu berlalu begitu cepat. Tanpa terasa sudah satu jam lebih Sarah berada di dalam taksi hingga mobil berwarna kuning itu kini mulai melambatkan lajunya memasuki pelataran rumah. Cat rumah itu tampak bersih, bangunannya juga terlihat sangat berbeda dari sebelum kepergian Sarah. Hal itulah yang membuat gadis itu mengerutkan dahi dengan semua perubahan yang kini terus dilihatnya.
“Bener kan, Non. Rumah ini?” tanya sopir taksi yang kebingungan melihat Sarah hanya termangu masih duduk di sampingnya.
“Eh, iya, Pak.”
Segera Sarah bagai terguyur air dalam lamunan, turun sebelum pria itu kebingungan. Lalu sopir taksi itu membantunya menurunkan koper. Sarah mengangsurkan uang pas yang disepakati saat berangkat tadi. Dia tak mau menggunakan argometer agar jatuhnya tak mahal.
“Makasih, Non.”
Pria itu bergegas memasuki taksinya lalu memutar balik kendaraan itu dan melaju dari depan rumah. Dengan susah payah Sarah membawa koper-kopernya ke dalam. Sengaja kaki-kaki Sarah berjingkat memasuki dan membuka pintu yang tak terkunci dengan perlahan meski dia membawa banyak bawaan. Namun, tak dia kira ternyata rumah sepi. Sepertinya tak ada orang, tapi kenapa pintu tak dikunci seperti itu jika tak ada orang?
Pandangan Sarah mengedari ruangan yang pertama dia masuki. Ia melihat semua perabotan sudah berbeda dari semenjak pergi. Dia akui perabotan-perabotan itu agak mewah.
“Mungkin selera Tante Helena memang seperti yang kuduga. Berbeda dengan ibuku yang sederhana. Dia nampak glamour dengan baju serta perhiasan yang dipakai. Aku sudah menebaknya dari awal. Begitu juga dengan Sonia. Dia pun selalu memakai benda bermerk,” gumam Sarah.
Lamunan gadis itu tersentak saat kedua telinganya mendengar suara desahan dari salah satu kamar saat langkahnya mulai memasuki ruang tengah. Bunyi desahan dan erangan itu makin terdengar ketika kakinya melangkah lebih dalam ke depan pintu berwarna coklat yang sebelumnya kamar itu milik Sarah, tapi sekarang dia mengernyitkan dahi saat melihat pintu dengan tempelan nama ‘SONIA’.
“Apa dia berpindah ke kamarku? Bunyi desahan dari kamar itu!” desisnya sendiri. Sarah mendengkus.
“Sonia, apa dia sedang menonton film blue?” tebaknya masih dengan dahi berkerut mendengar suara aneh itu. Namun, rasanya suara yang membuat Sarah merinding itu sepertinya bukan adegan film tapi kedengarannya nyata.
Sarah mendekatkan telinganya ke pintu berwarna coklat tua. Suara pria dan wanita seperti sedang terengah-engah ingin mencapai sesuatu. Semakin kencang erangan itu dan semakin berani saja di rumah yang sepi ini. Eh, tunggu. Kenapa Sarah merasa tak asing dengan suara-suara ini? Pria itu menyebut nama Sonia. Seketika gadis itu jijik mendengarnya. Kenapa Sonia berbuat tak senonoh seperti ini? Padahal Sarah merasa Sonia selalu nampak santun di depan papa selama ini.
“Mike... faster,” rintih Sonia di dalam.
Dada Sarah berdegup kencang saat Sonia menyebut nama lelaki yang sedang bersamanya. Melenguh bersamanya di atas ranjang. Sonia makin keras menyebut nama itu. Sial, dahi Sarah sekarang penuh dengan keringat dingin. Kedua tangan dan kakinya terasa dingin, walau dia sedang memakai mantel. Jantungnya berdegup tak karuan. Pikirannya kacau. Memang sekarang yang dia dengar adalah suara pria yang selalu menghubungi dan menanyakan keadaannya.
“Mike, apa kamu mengkhianatiku...,” tanya Sarah lirih. Menyandarkan punggungnya ke dinding kamar. Tak sanggup mendengarnya lagi tapi rasa penasaran masih mengganjal.
Dengan mengumpulkan segenap kekuatan yang seketika menghilang entah kemana, tangan Sarah bergerak menggenggam handle pintu kamar Sonia, lalu memutarnya perlahan agar minimal keduanya tak terkejut akan kehadiran Sarah yang takut tapi penasaran akan apa yang sedang mereka lakukan.
Pintu kamar terbuka dan cahaya yang membias dari pintu yang Sarah buka menerangi dua tubuh tanpa sehelai benangpun di atas ranjang. Persis seperti yang Sarah kira. Rasanya Sarah ingin sekali menjerit tak percaya, tapi lidahnya serasa kelu melihat dua orang itu sekarang menatapnya tajam. Bukan kaget tapi malah lebih nampak kesal saat permainan mereka harus tertunda.
“Mike....” Sarah mengatakan itu dengan lirih sambil terus menatap tak percaya dengan apa yang dilihatnya saat ini.
Tak hanya merasa gugup, bahkan untuk menelan saliva saja Sarah benar-benar merasa tidak sanggup. Sulit rasanya untuk menyadari bahwa apa yang dilihatnya itu nyata dan bukan sebuah mimpi buruk yang ketika bangun semua itu bisa menghilang. Di sisi lain, seringai di wajah Sonia begitu kentara saat melihat kehadiran Sarah. Bahkan gadis itu sengaja untuk tidak segera memakai pakaiannya. Sonia seolah merasa puas ketika melihat Sarah melihat adegan intim yang dilakukannya bersama Mike.
“Kalian tega,” ucap Sarah serak.
Kedua mata Sarah memanas. Bila diingat jauh ke belakang, tak ada sedikit pun terlintas di pikirannya bahwa pria sebaik Mike dapat melakukan hal yang sekejam itu padanya. Terlebih hubungan mereka terbilang baik-baik saja saat menjalani long distance relationship. Mulut Sarah ingin memaki, tapi tak ada satu pun yang bisa diucapkannya. Gadis itu benar-benar merasa lemah hingga Sarah bergegas keluar dari ruangan yang dulu menjadi tempatnya menenangkan diri. Namun, sekarang tempat itu menjadi begitu mengerikan. Air matanya pun luruh tak tertahan. Sarah mulai terisak di depan pintu kamar tanpa ada seorang pun yang menenangkannya.