Bab 1: Rasa Almond yang Terbakar
Rasa itu bukan manis, melainkan pahit yang tajam.
Hani Safitri selalu menyukai teh Earl Grey racikan Reza. Itu adalah ritual sore mereka di apartemen mewah lantai 30 yang menghadap cakrawala Jakarta. Namun sore ini, cairan hangat yang melewati tenggorokannya terasa berbeda. Ada jejak aroma asing yang menyengat di pangkal lidah—seperti kacang almond yang hangus terbakar.
"Kau menikmatinya, Sayang?"
Suara Reza Pratama terdengar lembut, beludru yang sama yang telah membuai Hani selama tujuh tahun terakhir. Hani ingin menjawab, ingin mengangguk dan tersenyum seperti istri yang penurut, tetapi bibirnya terasa kebas. Cangkir porselen meluncur dari jari-jarinya yang tiba-tiba kehilangan tenaga, pecah berkeping-keping di atas lantai marmer yang dingin.
Hani ambruk. Bukan jatuh yang dramatis, melainkan tubuhnya melorot perlahan seolah tulang-belulangnya telah dicairkan.
Napasnya menderu, pendek dan menyakitkan. Paru-parunya terasa seperti diisi pecahan kaca. Pandangannya memburam, menyempit menjadi lorong gelap. Di ujung lorong itu, ia melihat sepasang sepatu kulit mengkilap melangkah mendekat. Bukan untuk menolongnya.
Sepatu itu berhenti tepat di depan wajahnya yang menempel di lantai.
"Sayang sekali," gumam Reza, nadanya datar, tanpa emosi. Seperti seseorang yang sedang mengomentari noda tumpahan kopi di kemeja, bukan istrinya yang sedang meregang nyawa. "Padahal asuransimu baru cair bulan depan kalau kau mati karena sakit."
Hani ingin berteriak, bertanya kenapa, tapi yang keluar dari mulutnya hanya buih kemerahan.
Langkah kaki lain terdengar. Kali ini suara heels yang mengetuk lantai dengan irama riang. Sosok itu berjongkok. Hani mengenali aroma parfum itu—vanila manis yang selalu membuatnya mual.
Dina. Sahabatnya. Saudara perempuannya—bukan sedarah, tapi sehati. Atau begitulah yang Hani kira.
"Reza, jangan dilihat terus. Nanti kamu mimpi buruk," ujar Dina dengan nada manja yang menjijikkan. Tangan wanita itu terulur, bukan untuk memeriksa nadi Hani, melainkan untuk merangkul lengan Reza. Menggenggam jemari pria itu erat-erat.
Dina menatap Hani. Tidak ada air mata. Tidak ada kepanikan. Di wajah cantik sahabatnya itu, Hani hanya melihat seringai kemenangan.
"Terima kasih sudah bekerja keras selama ini, Han," bisik Dina, mencondongkan wajahnya hingga Hani bisa melihat pantulan dirinya yang sekarat di mata Dina. "Terima kasih sudah mengerjakan skripsi kami dulu. Terima kasih sudah membangun bisnis ini. Sekarang, istirahatlah. Biar aku dan Reza yang menikmati hasilnya."
Mereka tertawa.
Dunia Hani menjadi hitam. Rasa sakit di dadanya meledak untuk terakhir kalinya, dibarengi satu kesadaran yang lebih menyakitkan daripada racun sianida itu sendiri: Seluruh hidupnya adalah lelucon bagi mereka.
Cintanya. Pengorbanannya. Ketulusannya. Semuanya sampah.
Tuhan, jika ada keadilan... jangan biarkan aku mati seperti ini. Jangan biarkan mereka menang.
"HAAAAH!"
Hani tersentak bangun, tubuhnya terlonjak duduk hingga tulang punggungnya berbunyi.
Paru-parunya meraup udara dengan rakus, seolah ia baru saja muncul ke permukaan setelah tenggelam di laut dalam. Tangannya mencengkeram lehernya sendiri dengan panik, mencari jejak rasa terbakar, mencari sisa buih darah.
Tidak ada sakit. Tidak ada rasa almond pahit.
Yang ada hanyalah keringat dingin yang membanjiri sekujur tubuhnya, membuat piyamanya lengket di kulit.
Hani membelalak, matanya liar menyapu sekeliling.
Ini bukan apartemen mewah dengan lantai marmer dingin. Dinding di hadapannya berwarna krem kusam dengan cat yang mengelupas di beberapa sudut. Ada poster jadwal kuliah yang ditempel miring. Di sudut ruangan, tumpukan buku diktat Manajemen Keuangan dan Pengantar Bisnis menggunung di atas meja belajar kecil yang berantakan.
Udara di ruangan itu terasa pengap dan panas, bercampur aroma khas kamar asrama: sisa mie instan kuah kari yang belum dibuang dan debu kertas tua.
Suara kipas angin tua berderit-derit di langit-langit, memutar udara panas dengan malas.
"Di... mana...?" Suaranya parau, tapi itu suaranya. Suara mudanya.
Tangan Hani yang gemetar meraih ponsel yang tergeletak di samping bantal. Layarnya menyala, cahayanya menyilaukan mata yang terbiasa dengan kegelapan kematian.
Selasa, 14 Oktober 2023.
Pukul 19:30 WIB.
Jantung Hani seolah berhenti berdetak sedetik, lalu memukul rusuknya dengan brutal.
Ini lima tahun yang lalu.
Dia masih kuliah. Dia belum menikah. Dia belum... dibunuh.
Hani turun dari tempat tidur sempit itu dengan kaki gemetar. Ia berdiri di depan cermin lemari plastik setinggi d**a. Sosok yang menatap balik padanya adalah Hani versi 21 tahun. Wajahnya masih agak chubby, matanya bulat dan jernih—belum dilingkari bayangan hitam kelelahan karena mengurus perusahaan Reza. Rambutnya masih panjang dan hitam legam, belum dipotong pendek demi terlihat "profesional" sesuai selera Reza.
Hani mengangkat tangan, menyentuh pipinya sendiri. Hangat. Nyata.
Tiba-tiba, gelombang mual yang hebat menghantamnya. Ingatan tentang tatapan kosong Reza dan senyum licik Dina berputar di kepalanya seperti film rusak. Rasa dikhianati itu begitu viseral hingga membuat perutnya bergolak.
Hani berlari ke kamar mandi dalam yang sempit, berlutut di depan kloset jongkok, dan memuntahkan isi perutnya. Hanya air dan asam lambung yang keluar, tapi rasanya ia sedang memuntahkan seluruh kenaifan masa lalunya.
Ia menangis. Bukan tangisan sedih, tapi tangisan syok dan kemarahan yang murni. Tubuhnya menggigil hebat di bawah lampu neon kamar mandi yang berkedip-kedip.
Tok. Tok. Tok.
Suara ketukan di pintu kamar kos terdengar nyaring, memotong isak tangis Hani.
"Han? Sayang? Kamu di dalem?"
Darah Hani membeku.
Suara itu.
Itu suara yang sama yang bertanya, "Kau menikmatinya, Sayang?" saat racun itu mulai bekerja.
Reza.
Ketukan itu berubah menjadi gedoran yang lebih tidak sabar, namun suaranya tetap dibuat manis. "Hani? Buka dong, pintunya dikunci ya? Aku bawain martabak nih. Kita kan harus ngerjain proposal BEM buat besok."
Napas Hani tercekat. Memori lain menyeruak. Ia ingat malam ini.
Di kehidupan lalu, malam ini Reza datang membawa martabak manis sebagai sogokan. Reza akan mengeluh pusing dan lelah, lalu dengan "terpaksa" membiarkan Hani mengerjakan seluruh proposal kegiatan BEM sendirian sampai jam 4 pagi, sementara Reza tidur di karpet kamarnya. Besoknya, Reza yang akan mendapat pujian dari Dekanat.
Dulu, Hani merasa bangga bisa membantu pacarnya. Dulu, Hani merasa dibutuhkan.
Sekarang, mendengar suara itu dari balik pintu kayu tipis, Hani merasakan dorongan kuat untuk mengambil pisau dapur dan menghunjamkannya ke siapa pun yang berdiri di sana.
Tapi tidak. Tangan Hani mengepal hingga kukunya melukai telapak tangan. Rasa sakit itu menyadarkannya.
Membunuh Reza sekarang terlalu mudah. Terlalu cepat. Penjara bukan tempat untuk ratu yang baru bangkit dari kubur. Reza harus hancur perlahan. Dia harus merasakan kehilangan segalanya, sama seperti Hani kehilangan nyawanya.
Hani membasuh wajahnya dengan air keran yang dingin. Ia menatap cermin di atas wastafel sekali lagi. Sorot mata naif gadis 21 tahun itu perlahan memudar, digantikan oleh tatapan dingin dan tua dari wanita yang pernah merasakan kematian.
Ia menarik napas panjang, menata ekspresinya, lalu berjalan mendekati pintu. Ia tidak membukanya. Ia hanya berdiri di baliknya, merasakan kehadiran pembunuhnya hanya berjarak selembar kayu.
"Han? Kok diem aja sih?" Nada suara Reza mulai terdengar kesal, topeng manisnya sedikit retak. "Buruan buka, dingin nih di luar. Flashdisk materinya ada di kamu, kan?"
Hani memejamkan mata. Mengontrol getaran dalam suaranya.
"Pulang, Za."
Hening sejenak di luar sana. "Hah? Maksudnya? Kamu bercanda ya?"
"Aku sakit," jawab Hani. Singkat. Padat. Dingin. "Aku mau tidur. Jangan ganggu."
"Sakit? Tadi siang kamu sehat-sehat aja pas kuliah," suara Reza meninggi, d******i aslinya mulai bocor. "Jangan manja deh, Han. Ini deadline besok pagi. Kalau aku nggak ngumpulin, nama baikku yang jelek. Kamu tega?"
Kamu tega? Batin Hani menjerit tertawa miris. Kau meracuniku demi uang asuransi dan berselingkuh dengan sahabatku, dan kau tanya apa aku tega?
"Itu tugasmu, Ketua BEM," ucap Hani, menekan setiap suku kata dengan racun yang tersembunyi di balik ketenangan. "Kerjakan sendiri. Atau minta Dina. Bukannya dia sekretarismu?"
Tidak ada jawaban selama beberapa detik. Hani bisa membayangkan wajah Reza yang merah padam karena kaget. Hani si penurut, Hani si "iya mas", baru saja menolak dan membanting pintu tepat di wajah egonya.
"Han, kamu kenapa sih? Lagi PMS?" Reza mencoba tertawa, meremehkan. "Ya udah, aku tungguin di sini sampe kamu buka—"
"Aku sudah minum obat tidur," potong Hani tajam. "Kalau kamu nggak pergi dalam satu menit, aku teriak ada maling. Satpam asrama lagi patroli di bawah."
Ancaman itu konyol, tapi efektif karena ketidakwajarannya. Reza adalah orang yang sangat peduli citra. Dia tidak akan mau ambil risiko ribut di asrama putri.
Terdengar suara decakan kasar, lalu hentakan kaki yang menjauh. "Gila kamu, Han! Awas ya kalau besok aku ditegur dosen!"
Langkah kaki itu menghilang di ujung lorong.
Hani merosot di balik pintu. Lututnya lemas seketika. Jantungnya berpacu begitu kencang hingga telinganya berdenging. Keringat dingin kembali mengucur deras.
Ia mengangkat tangannya yang masih gemetar hebat ke depan wajah. Ini bukan mimpi. Dia berhasil. Dia baru saja mengatakan "tidak" untuk pertama kalinya.
Hani menatap kegelapan kamarnya yang sempit. Di luar, hujan mulai turun, mengetuk jendela kaca dengan irama pelan.
"Selamat datang kembali, Hani," bisiknya pada kegelapan. "Permainan baru saja dimulai."