1. Panggil Bidan, Bukan Saya!

905 Kata
"Mas, pulang! Sepertinya aku mau melahirkan," ucapku di ujung telepon. Setelah puluhan kali tak terjawab, akhirnya panggilanku ia terima juga. "Kalau mau melahirkan itu, panggil bidan, bukan saya!" bentaknya dari seberang. Aku terhenyak. Tidak menyangka dia akan berucap demikian. "Sudah berapa kali saya bilang, Sabtu Minggu jangan ganggu!" lanjutnya masih dengan intonasi tinggi. Di belakangnya terdengar teriakan-teriakan khas memberi semangat. "Ayo, Le!" "Hajar, Le!" "Tunjukkan pesona pukulanmu, Le!" Ya! Mas Fauzi--suamiku itu sedang berada di arena sabung ayam. Kesenangannya yang sangat kubenci. Dua kegiatan sekaligus yang dilarang Allah, mengadu mahluk hidup dan judi. Mereka akan bertaruh dengan sejumlah uang atas kemenangan salah satu ayam. "Tapi aku mau melahirkan, Mas," kilahku. "Sudah saya bilang, kalau mau melahirkan panggil bidan! Saya masih ada satu pertarungan lagi," pungkasnya. Kemudian panggilan berakhir sepihak. Meringis, aku mengusap perut. Ini adalah kelahiran anak pertama kami, jadi aku belum pengalaman bagaimana gejalanya. Sejak siang memang perutku terasa sakit, kupikir sakit biasa karena HPL masih dua minggu lagi. Namun, barusan keluar lendir bercampur darah. Siapa lagi yang harus kuhubungi? Ibu? Tempat tinggalku dan Ibu lumayan jauh, sekitar satu jam perjalanan dengan menggunakan sepeda motor. Itu jika melakukan perjalanan siang, sedangkan ini sudah pukul sebelas malam. Aku menghela napas. Sampai hati, Mas Fauzi. Dia lebih mementingkan kesenangannya daripada anak dan istri. Padahal hobinya itu masih bisa diulang minggu depan. Sedangkan istri melahirkan, paling banter setahun sekali. Sabtu dan Minggu adalah jadwal rutin tarung ayam. Mereka yang memiliki kesenangan yang sama dari berbagai kota akan berkumpul. Tempat tarung setiap minggu bergantian di kota mana, sesuai kesepakatan. Minggu ini mereka berkumpul di kota tempat tinggalku. Semakin banyak yang datang dengan membawa ayam, semakin banyak pertandingan, semakin lama juga kegiatan usai. Selain Sabtu dan Minggu, waktu Mas Fauzi juga banyak dihabiskan untuk mengurusi ayam-ayamnya. Memandikan ayam, menyuapi, melatih kekuatan otot untuk persiapan bertarung, menjemurnya, dan membuatkan jamu. Gerah rasanya hatiku melihatnya. Dulu aku tidak tahu kalau dia suka sabung. Dia bekerja sebagai kontraktor dan kebetulan ada proyek di daerahku. Bapak saat itu kebetulan menjadi salah satu pekerjanya. Saat Mas Fauzi mengatakan menyukaiku, Bapak langsung setuju. "Katanya sayang sama ayam, tapi kok tega diadu hingga babak belur," tanyaku suatu hari. "Setelah itu 'kan dirawat lagi," sahutnya. "Tapi banyak juga yang mati." "Ini masalah kepuasan, Dek. Hobi." "Gak takut nanti di akhirat, Mas yang diadu, sementara ayam-ayam itu bersorak di pinggir arena sambil teriak, ayo, Le! Hajar, Le!" Dia menatapku tanpa suara sambil mendelik. Namun, kalimatku itu tidak pernah digubris. *** Aku tersentak ketika terdengar ada sesuatu yang pecah pada bagian jalan lahir. Kemudian terasa cairan yang mengalir. Subhanallah. Apakah ketuban? pikirku kalut. Bingung harus bagaimana, akhirnya aku menghubungi Ibu. "Kenapa tidak telpon dari tadi?" sesal Ibu di ujung telepon. "Saya kira sakit biasa, Bu. Karena perkiraan masih dua minggu lagi. Ternyata barusan keluar tanda dan ada yang pecah," terangku. "Minta suamimu segera antar ke klinik." "Mas Fauzi gak di rumah, Bu." "Kemana?" Aku terdiam. Jika kukatakan terus terang, akan panjang omelan Ibu. Semakin sakit perutku. "Ibu bisa datang, gak?" Aku mengalihkan pembicaraan. "Ibu usahakan. Masalahnya ini sudah malam. Ibu tanya Bapak dulu, berani tidak bawa motor malam-malam. Kamu tahu sendiri 'kan penglihatan Bapakmu. Kamu panggil bidan dulu saja." "Iya," balasku kemudian mengakhiri panggilan. Jariku kembali membuka daftar kontak dan mencari nomor bidan tempatku konsultasi selama ini. "Ibu langsung ke klinik saja. Sekarang tidak boleh melahirkan di rumah lagi, Bu. Harus di tempat yang peralatan medisnya memadai." "Tapi saya sendirian di rumah, Bu. Suami belum pulang." "Astaga! Saya segera meluncur." Aku menghela napas panjang dan mengembuskannya perlahan untuk menahan sakit yang rasanya hanya kaum perempuan yang paham. Pinggang ini seperti mau patah saja. Kuurut sendiri untuk sedikit memberikan rasa nyaman. Memilukan sekali nasibku, melahirkan anak pertama sendirian. Suami lebih mementingkan ayam daripada perjuangan istri mengantar benihnya ke dunia. Apakah dia tidak tahu, bahwa saat melahirkan adalah perjuangan hidup dan mati seorang istri? Sakit yang kurasa semakin sering datang. Aku memejamkan mata sembari tetap menghela dan mengembuskan napas panjang berulang kali. Berusaha tenang dan ikhlas. Tanganku terus mengusap perut dan memijat pinggang secara bergantian. Ah, tentu bahagia perempuan yang suaminya setia di sampingnya saat melahirkan. Mau mengurut pinggangnya saat rasa sakit itu datang. Paling tidak, kehadiran dan perhatian yang diberikan mampu memberikan semangat dan rasa nyaman. Suami yang kerja di luar kota saja biasanya rela datang untuk menemani istrinya yang akan melahirkan. Mas Fauzi yang tinggal seatap denganku, lebih memilih keluar demi ayam. 'Ngenes'. Deru mobil terdengar di halaman. Sepertinya bidan yang kupanggil telah datang. Kubiarkan saja beliau masuk sendiri, aku sudah tidak sanggup lagi untuk berjalan. Pintu sejak tadi tidak kukunci. "Saya di sini Bu Bidan." Aku menyahut pelan dari dalam kamar ketika perempuan 30 tahun itu memanggil dari depan pintu yang telah ia buka. Gegas ia menghampiriku yang terbaring beralas karpet di samping ranjang kemudian cekatan memeriksa. "Sudah lengkap," ujarnya tenang. "Bersiap, ya, Bu. Ikuti instruksi saya!" titahnya. Aku mengangguk. Bersamaan dengan itu, terdengar deru mobil lain di halaman rumah. Tidak lama kemudian terdengar langkah kaki mendekat, dan sosok Mas Fauzi muncul di depan pintu kamar. "Tarik napas dulu, Bu. Embuskan .... Sekarang, Bu!" Aku mengikuti instruksi bidan tanpa memedulikan kehadiran laki-laki itu. Ia segera merangsek masuk dan duduk di sampingku. Tangannya terulur hendak meraih tanganku, tetapi segera kutepis. Hatiku sakit. "Dek," panggilnya pelan. Wajahnya terlihat tidak enak. Tangannya kembali terulur, kali ini hendak mengusap keningku. Namun, lagi-lagi kutepis. Sekarang aku gak butuh kamu lagi, Mas. Sudah terlambat. Batinku. Ia menatapku sendu dan terlihat serba salah. Wajahnya pucat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN