2. Berubah?

972 Kata
Ia menatapku sendu dan terlihat serba salah. Wajahnya pucat. Sejenak aku heran dengan ekspresinya. Tidak pernah dia demikian, terlihat seperti sedang khawatir. Apa iya dia khawatir denganku? Atau ada hal lain yang menyebabkan perubahan pada rautnya? Pada saat aku menghubunginya tadi, dia bahkan marah-marah. Bagaimana mungkin hanya dalam hitungan jam berubah jadi mengkhawatirkanku? Peduli saja tidak! Ah, teringat pada ucapannya beberapa jam lalu hanya membuatku sakit hati. Akibatnya, rasa sakit akan melahirkan ini pun semakin menjadi. "Sakit, Bu Bidan," erangku. Air mata mengalir tak tertahan. Ingin rasanya menjerit saja, cuma teringat pesan Ibu. Ibu selalu mengingatkan, "Nanti kalau lahiran jangan teriak. Malu, kata orang bikinnya senyap-senyap. Ngeluarinnya geger orang sekampung." Aku memilih menggigit bibir sembari mencengkeram pinggiran karpet untuk menahan dan meluapkan rasa sakit. Sejujurnya aku butuh kekuatan dari suami. Genggaman tangannya sedikit banyak akan memberi dukungan moril dan memompa semangat. Namun, mengingat kembali ucapannya tadi, bukannya menambah semangat. Justru menambah rasa sakit. "Kita istirahat dulu, ya, Bu. Ibu harus semangat, harus kuat," ucap Bu Bidan menenangkan. Aku menghela napas berulang kali, menghirup oksigen sebanyak mungkin agar sel dapat lebih cepat melakukan pembakaran untuk menghasilkan energi. "Dek." Mas Fauzi kembali mencoba meraih tanganku. Namun, lagi-lagi naluriku refleks menepisnya. Begitu juga ketika dia berusaha menghapus bulir bening yang mengalir di pipiku. Sekilas kudengar ia mengembuskan napas panjang. Ekor mataku menangkap tatapan frustasi dari matanya. Masa bodo lah! "Kita mulai lagi, ya, Bu." Suara bidan terdengar memecah bisu. Aku mengangguk. "Bismillah, Bu. Tarik napas ..., hembuskan ..., ya, sekarang, Bu!" seru bidan semangat mengarahkan. Berulang kali, entah berapa lama, perjuanganku belum juga membuahkan hasil. Aku semakin lelah dan beberapa kali kantuk datang menyergap. "Siapkan wash lap sama air dalam baskom, Pak. Untuk Ibu, biar wajahnya dibasahi agar segar. Kalau sampai Ibu tertidur di antara mengejan, bahaya, bisa fatal akibatnya," pinta Bu Bidan pada Mas Fauzi. "Siapkan air minum juga, air putih sama teh hangat manis. Untuk energi Ibu," lanjutnya. Mas Fauzi mengangguk. Cekatan ia beranjak. Tumben dia melakukan sesuatu untukku tanpa harus mengomel terlebih dahulu. Aku tidak bisa menolak ketika dia membasahi wajah hingga leherku dengan kain yang sudah dibasahi. Demikian juga ketika dia membantuku meneguk minuman yang dia bawa. "Kuat, ya, Dek," bisiknya lirih. Aku sedikit terperangah. Tumben perhatian. Suaranya lembut dan terdengar tulus. Namun, aku berusaha untuk tidak luluh. Jika dengan mudah terpengaruh perlakuan manisnya, nanti dia akan mudah juga untuk berbuat sesuka hati lagi. Ketika azan subuh terdengar, usahaku belum berhasil juga. Rasanya aku sudah tidak kuat. Air mataku tak henti mengalir karena menahan sakit. Sesekali aku merintih. Mas Fauzi hanya duduk terpaku, barangkali bingung untuk berbuat apa karena setiap dia ingin menggenggam tanganku, selalu kutepis. Rautnya terlihat cemas atau mungkin dibuat-buat agar terlihat cemas? Sesekali dia berhasil mengusap air mataku yang mengalir. Ketika semburat terang terlihat dari luar jendela, terdengar suara deru sepeda motor. Tak lama berselang, Ibu masuk dengan tergopoh. "Win," lirihnya dari depan pintu. Beliau menatapku sendu sambil melangkah mendekat. "Bu," lirihku. Air mataku mengalir deras, caraku mengadu bahwa aku sedang kesakitan. Tanganku terulur menyambut tangan tuanya yang mulai mengeriput. Genggaman yang beliau berikan seolah mampu mentransfer energi baru. "Memang sakit, begitulah rasanya melahirkan," ucap wanita itu seolah bisa membaca pikiranku. Aku mengangguk. Paham beginilah perjuangan beliau ketika mengantarku ke dunia dulu. Bertarung antara hidup dan mati, menahan sakit yang bagaikan ribuan tulang dipatahkan. Mas Fauzi beringsut mundur untuk memberi tempat pada Ibu. Seharusnya memang kamu yang di sini, Mas. Karena ini hidup kita berdua, masa depan kita. Tapi kamu menunjukkan bahwa kamu tidak pantas ada di sini. Hadirmu membawa luka dan menambah sakit yang sudah teramat sakit. Jadi maaf, tempatmu tergeser. "Kita ulangi lagi, ya, Bu." Bidan kembali menginstruksi. Aku mengangguk dan kembali berjuang. Beberapa kali, usaha itu belum juga berhasil. Ibu mengusap lembut keningku, "Kamu ada masalah sama suamimu?" tanyanya lirih. Nyaris tidak terdengar. "Kamu sedang bertarung. Nyawa taruhannya. Maut menanti di hadapanmu. Lembutkan hati. Ikhlas pada semua yang terjadi. Semoga segalanya dimudahkan," lanjutnya. Aku terhenyak, tersadar atas sakit yang mulai menghitamkan hati. Perbuatan Mas Fauzi memang menyakitkan, tidak bisa dibenarkan. Namun, memang tidak seharusnya aku menyimpannya sebagai dendam. Apa yang telah dia lakukan memang pantas untuk dibalas. Aku telah menyiapkan rencana pembalasan, tetapi tidak selayaknya memang disertai rasa dendam. Cukup pembalasan itu sebagai pengajaran baginya. "Astagfirullahal 'azim," ucapku lirih berulang-ulang. "Ibu ridho padamu," bisik Ibu membuatku terharu. "Nak Fauzi." Beliau menoleh pada Mas Fauzi yang duduk gelisah di bibir ranjang. Laki-laki itu menoleh dan memenuhi isyarat panggilan Ibu untuk mendekat. "Ada apa, Bu?" tanyanya sambil duduk berjongkok. "Ke sini." Ibu menepuk tempat di sisi kepalaku. "Nak Fauzi, berikan ridho Nak Fauzi pada Winda. Semoga dia dimudahkan dalam perjuangan mengantar anak kalian ke dunia." Laki-laki itu menatapku intens dengan tatapan sendu. Kemudian tangan kekarnya terulur mengusap kepalaku. Terlihat ada bias kaca di matanya. "Mas ridho, Dek," lirihnya. Aku melengos, pura-pura tak peduli. Padahal sejujurnya hati ini sangat terharu. Terlebih ketika ia menunduk dan mencium keningku. Namun, aku tetap bertahan untuk pura-pura tidak peduli. "Bu Bidan ...!" seruku sambil meringis dan memegang perut. Tiba-tiba aku merasakan hasrat ingin mengejan. Namun, tidak berani untuk mengikuti petunjuk alamiah itu, bidan selalu wanti-wanti agar mengikuti setiap arahannya. "Kita bersiap lagi, ya, Bu." Bidan kemudian mulai mengarahkan lagi. Aku kembali berjuang, melawan sakit yang serasa meremukkan pangkal paha. Namun, sekarang perasaanku terasa ringan dan tenang. Benar adanya, sakit hati atas Mas Fauzi memberatkan langkahku. "Istirahat dulu, Bu. Ambil napas dan energi dulu. Usahakan sesuai instruksi saya. Karena Ibu sering mendahului, ketika memang waktunya justru kehabisan napas dan kepala bayinya masuk lagi," terang bidan. Aku mengangguk. Entahlah, mengapa sulit untuk melawan refleks mengejan dan menyesuaikan dengan instruksi yang diberikan. Apa yang bidan katakan terdengar lumrah, tetapi tidak mudah dipraktikkan. "Dek." Mas Fauzi mengambil tanganku dari genggaman Ibu. "Kuat, ya," ucapnya sambil menggenggamnya erat. Mengapa tidak sedari awal kamu begini, Mas ...! Namun, maaf. Sikap manismu ini sudah tidak memberi efek manis lagi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN