Chapter 06

2289 Kata
Redy menghela napas panjang. Sudah dua jam lebih ia menunggu balasan dari Kaila. Namun nyatanya, tak ada satupun pesan yang masuk ke dalam ponselnya. Dengan malas, cowok itu bangkit dari tempat tidurnya lalu beranjak keluar kamar. Di ruang tamu, Redy mendapati Kara tengah terkapar lemas di sofa. Kali ini, cewek itu memakai piyama bergambar Boots, karakter monyet yang menjadi sahabat Dora. Redy cuma melirik Kara sekilas lalu berjalan tak acuh menuju dapur. Setelah mengambil beberapa camilan dan sekaleng soda, cowok itu langsung mengenyakkan tubuhnya di sofa ruang TV dengan nyaman. Sambil asik mengunyah keripik kentangnya, Redy terus mengganti-ganti saluran TV, mencari-cari acara yang sekiranya bisa ia tonton. Sampai pada akhirnya, pilihan cowok itu jatuh pada film Cars. Selama sepuluh menit lebih, perhatian Redy terfokuskan sepenuhnya pada layar TV. Namun pada menit-menit selanjutnya, cowok itu mulai bergerak-gerak tak nyaman. Masalahnya, entah kenapa suasana rumah saat itu malah terasa sunyi. Padahal, semenjak Kara datang ke kontrakannya, suasana di rumah tak lagi sepi, mengingat cewek itu benar-benar hiperaktif. Jadi, sewaktu melihat Kara cuma terduduk lemas di sofa, Redy malah merasa ada yang sedikit janggal. "Heh Dora, lo masih idup 'kan?" tanya Redy seraya menoleh ke belakang. Bisa ia lihat Kara tengah berbaring di sofa dengan tatapan kosong menatap langit-langit. "Sepupunya Aldan, lo pernah malu-maluin diri sendiri, enggak?" Kara malah balik bertanya dan mengabaikan pertanyaan Redy barusan. Redy mengernyit bingung. "Sering. Emang kenapa?" Kara membetulkan posisi duduknya jadi menghadap Redy. "Sering? Contohnya?" "Hmm..." Redy tampak berpikir. Namun sepersekian detik berikutnya, cowok itu menjentikkan jari. "Waktu SD, gue pernah ngompol di celana gara-gara di kerjain sama anak-anak pas ultah. Kenapa gitu?" Kara mendengus. "Gue sih enggak semalu-maluin itu." "Jadi lo ngapain nanya-nanya gue?" Redy menatap Kara galak. Tuh 'kan! Belum juga semenit, Kara udah bikin emosi aja. "Sepupunya Aldan, gue udah enggak ada harapan hidup lagi..." ucap Kara sembari menunduk dalam. Mendengar perkataan Kara barusan, kontan Redy pun jadi panik sendiri. "Heh? Dora, lo 'kan belum nikah. Mending ditunda dulu." "Kalau masalah malu-maluin sih, gue juga sering. Tapi, kenapa gue harus bikin malu di depan orang yang gue suka, sih..." curhat Kara, sepenuhnya enggak nyambung dengan perkataan Redy sebelumnya. "Sepupunya Aldan, lo pernah ngalamin, enggak?" "Jangan panggil gue Sepupunya Aldan," tukas Redy. "Terus mau gue panggil apa?" Kara menatap Redy tak minat. "Mas? Om? Abang?" "Enggak gitu." Redy memutar bola matanya. "Panggil Redy aja apa susahnya, sih?" "Oke. Jadi Redy, lo pernah ngalamin, enggak?" "Kak Redy," ralat Redy sambil memasang senyum tanpa dosanya. "Ya, ya! Banyak maunya banget," cibir Kara. "Kak Redy, pernah ngalamin, enggak?" "Enggak," jawab Redy mantap. Wajah Kara semakin tertekuk. Cewek itu mencebikkan bibir dan kembali menunduk. "Tadi siang, gue malu-maluin diri gue sendiri. Dua kali lagi." Redy mengangkat bahunya. "Kalau udah kebiasaan, mau digimanain lagi?" ucapnya santai seraya memasukan dua buah keripik kentang ke dalam mulutnya. Kara mendongak dan menatap Redy dengan wajah sedih. "Tuh 'kan... kayaknya gue ha--" Kara tak sempat menyelesaikan kalimatnya barusan. Mata cewek itu tiba-tiba mengarah pada bungkus keripik kentang yang sedang dipegang oleh Redy. "Itu apa?" tanyanya kemudian. "Ini?" Redy mengangkat bungkus keripik kentang di tangannya dengan wajah bingung. "Makanan." "Bagi, dong!" Kara cepat-cepat bangkit dari sofa lalu berlari kecil menghampiri Redy. Cewek itu mengambil segenggam penuh keripik kentang barusan sambil tersenyum sumringah. "Kok lo enggak bilang kalau lo punya makanan?" Redy mendelik Kara. "Bukannya tadi lo lagi sedih, ya?" ujarnya sinis. Kara nyengir. "Menurut yang ada di majalah, gue itu tipe cewek moody," katanya enteng. Redy cuma membuang napas kecil tanpa bicara lebih lanjut. Ia membiarkan Kara sepenuhnya asik memakan keripik kentang yang ada di tangan cowok itu. Karena menurut pengalaman, kalau Redy sampai melarang-larang Kara meminta makanannya, maka cewek itu akan langsung mengamuk. Dan itu merupakan hal terburuk kedua setelah tsunami. "Gue pindahin, ya? Bosen nih film Cars di ulang mulu," ujar Kara memecah keheningan. Cewek itu meraih remote TV yang ada di meja lalu mengganti salurannya ke film action yang ada di salah satu stasiun TV. "Dasar ngeganggu," gerutu Redy. Cowok itu mengambil alih remote di tangan Kara lalu mengganti saluran TV tadi dengan film Cars lagi. "Gue enggak pernah bosen." "Dasar bocah, nontonnya kartun mulu," cibir Kara sambil kembali mengganti saluran TV. "Emangnya lo enggak?" Redy merebut remotenya lagi. Kara balas merebut remote tadi dari tangan Redy. "Paling cuma Doraemon sama Dora the Explorer." "Yang bocah itu sebenernya siapa sih?" Redy melirik Kara jengkel sambil menarik paksa remote-nya dari genggaman cewek itu. "Enggak usah ditanya. Jawabannya jelas," sindir Kara sambil memutar bola matanya. Tangannya berusaha merebut remote barusan, namun Redy menahannya. "Udah kelas dua belas, bukannya belajar malah nonton TV." Redy menarik paksa remote tersebut ke arahnya. "Udah bocah, songong lagi!" "Udah jenggotan, demen kartun lagi!" Tiga menit selanjutnya, Kara dan Redy masih berebutan remote, saling tarik kesana-kemari. Baik Redy ataupun Kara, keduanya sama-sama tak mau kalah. Kara dengan film actionnya, dan Redy dengan film kartunnya. Sampai tiba-tiba saja, tangan salah satu dari mereka tanpa sengaja memencet tombol saluran TV yang lain, menampilkan sosok seorang cewek sedang berjalan perlahan memasuki ruangan yang gelap. Sadar bahwa itu adalah salah satu film horror, Redy buru-buru menarik paksa remote-nya dari tangan Kara dan hendak memindahkannya ke acara yang lain. "Jangan!" seru Kara, cukup keras untuk membuat Redy langsung terlonjak kaget dan menjatuhkan remote-nya. "Kita nonton ini aja. Impas 'kan?" ujar Kara kemudian. Redy melirik jam yang menempel di dinding. Pukul 9:35 malam. Seringai lebar mulai muncul di wajah cowok itu. "Yakin mau nonton ini?" Kara mengangguk pelan. Pandangannya menatap lurus ke layar TV. Kentara jelas kalau cewek itu benar-benar serius ingin menonton film horror. "Oke." Redy terkekeh sebentar lalu beranjak dari sofa. Cowok itu mematikan semua lampu, membuat seluruh ruangan menjadi gelap gulita. Satu-satunya penerangan yang tersisa cuma berasal dari cahaya TV. "Ngapain lo matiin semua lampu?!" Kara menoleh dan menatap Redy panik. "Supaya lebih berasa horrornya," ujar Redy sambil tersenyum miring. "Kenapa? Takut, ya?" ejeknya kemudian. "Eng--nggak! Siapa bilang?!" Kara sedikit gelagapan. Keringat dingin mulai mengucur deras di leher dan dahinya. Redy tertawa meremehkan. "Yaudah, berarti nggak masalah 'kan kalau kita nonton sambil gelap-gelapan gini?" tanya cowok itu seraya kembali menempati tempat duduknya di sofa dengan santai. Kara menelan ludah. "Enggaklah! Gue 'kan bukan penakut!" Redy mengangkat bahunya cuek lalu mulai menonton dengan serius. Sesekali cowok itu melirik Kara. Senyum geli mulai terukir di wajahnya sewaktu melihat cewek berpiyama Boots itu mulai bergerak-gerak tak nyaman. Udah tau penakut, malah nonton horror, batinnya. Semakin lama, Kara semakin merapatkan tubuhnya ke dekat Redy. Cewek itu udah enggak peduli lagi dengan janjinya yang mengatakan tak akan berada di dekat Redy sejauh seratus meter. Yang terpenting saat ini adalah, ia butuh seseorang yang bisa ia jadikan tempat untuk bersembunyi ketika hantu di film itu mulai muncul. Melihat Kara yang lama-kelamaan terus menggeser badannya ke dekat Redy, senyum geli bercampur kocak mulai terpampang di wajah cowok itu. Redy harus tetap mengatupkan bibirnya rapat-rapat agar tawanya tidak meledak di depan Kara. Kalau sampai itu terjadi, maka rencanya akan gagal. Tokoh perempuan yang ada di dalam TV itu sedang mengedarkan pandangannya. Namun tiba-tiba saja, terdengar suara benda jatuh yang berasal dari ruang keluarga. Kontan perempuan itu pun berlari menuju ruang keluarga dan mendapati sebuah lemari tua dengan sebelah pintu yang terbuka sedikit. Dengan perlahan, perempuan itu melangkah mendekat dan mengulurkan tangannya, hendak membuka pintu lemari tersebut. Dan tepat ketika tangannya telah menyentuh gagang lemari, perempuan itu mulai menariknya dan ... "DOORR!" "WUAAAA!" Kara menjerit dan refleks menampar pipi Redy karena kaget. Yang ditampar cuma bisa meringis sambil mengusap-ngusap sebelah pipinya yang terasa panas. Sialan, niat mau ngerjain malah kena tabok, umpat Redy kesal. Cowok itu langsung mengambil jarak dari Kara dan menatap cewek itu sebal. "Kok gue malah ditabok?!" gerutu Redy sambil masih mengusap pipinya yang merah. "Lo ngapain teriak sih? Gue kaget tau! Kalau gue jantungan gimana? Entar gue mati disini lo mau tanggung jawab? Gue gentayangin baru tau rasa lo! Lagian apa-apaan sih pake ngerjain segala? Lo pikir lucu? Untung gue nggak ada penyakit jantung, coba kalau ada, mati aja lo!" cerocos Kara panjang lebar. Napasnya sedikit tersengal karena menahan emosi. "Gue 'kan cuma becan--" "Gak lucu!" potong Kara cepat sambil beranjak dari sofa dan melengos pergi menuju kamar. Cewek itu membanting pintu dengan keras, membuat Redy sedikit berjengit dan merasa bersalah. "Sori..." ucap Redy pelan dan lambat-lambat. • • • "Maaf ya Den, Bibi bakalan cepet pulang kok," ucap Si Bibi dengan wajah memelas. Redy mengacak rambutnya malas. Mata cowok itu masih terlihat sipit akibat baru bangun tidur. Untung hari ini adalah hari libur nasional. Jadi, Redy bisa bangun lebih siang dari biasanya. "Yah, mau gimana lagi? Semoga suami Bibi cepet sembuh, ya." Si Bibi mengangguk sambil tersenyum haru. Sejurus kemudian, wanita paruh baya itu mengusap kepala Redy dengan sayang. "Baik-baik di rumah ya, Den. Jangan berantem terus sama Non Kara." Mendengar nama Kara disebut, kontan pikiran Redy pun kembali melayang pada kejadian tadi malam. Cowok itu belum sempat minta maaf langsung di hadapan Kara. Dan sepertinya, Kara bakalan ngambek dalam jangka waktu yang lama. "Dia lagi ngambek sama Redy, Bi," ujar Redy sambil terkekeh singkat. Matanya sempat melirik pintu kamar Kara sekilas. Si Bibi tersenyum maklum. "Cepet minta maaf sama Non Kara kalau gitu. Kasian, sekarang ini dia lagi ditimpa masalah, makanya Non Kara tinggal di sini untuk sementara." "Masalah? Masalah apaan?" tanya Redy dengan kerutan samar di dahi. "Mending Aden tanya langsung ke Non Karanya," jawab Si Bibi sambil tersenyum. "Bibi pergi dulu, ya? Paling lama cuma seminggu kok. Aden baik-baik di rumah. Jangan ngelakuin yang enggak-enggak, lho!" Redy memutar bola matanya lalu mendorong pelan punggung Si Bibi. Baginya, Si Bibi sudah ia anggap seperti keluarga sendiri, mengingat hampir sepuluh tahun lebih wanita paruh baya itu mengabdikan diri untuk kedua orangtuanya. "Emang Bibi kira Redy mau ngapain? Paling-paling cuma bawa temen buat main PS doang," kata Redy malas. "Ya siapa tau Aden mau bawa perempuan ke rumah? Jangan ya, Den! Malu diliat tetangga!" Redy mendengus. "Pacar aja enggak punya," gerutunya. Seketika cowok itu jadi ingat Kaila. Andai aja Si Bibi tahu kalau Redy dan Kaila pernah pacaran. Pasti wanita itu bakalan histeris dan menyuruh Redy untuk mengajak Kaila ke rumahnya terus-terusan. "Pokoknya gak boleh! Cukup Non Kara aja yang ngekos di rumah, jangan nambah lagi!" "Iya, Bi, iya--" "Aden juga jangan macem-macem sama Non Kara! Jangan buat Tuan sama Nyonya kecewa!" Mendengar ucapan Si Bibi barusan, Redy kontan terkekeh kecil. "Emang gue mau ngapain coba sama Si Dora," gumamnya. "Iya, iya. Bibi enggak tau ya, Kara segalak apa? Anjing pittbull aja kalah." "Pokoknya, Aden jangan ngelakuin yang aneh-aneh, ya. Bibi cuma sebentar. Kalau misalkan ada keperluan mendesak, Aden telpon Bibi aja. Entar Bibi langsung kesana," pesan Si Bibi untuk yang kesekian kalinya. Redy mengangguk lagi sambil mendengus. Terkadang, Si Bibi ini bisa lebih cerewet dari Mamanya. Setelah berpelukan dan menepuk puncak kepala Redy dua kali, Si Bibi langsung bergegas menaiki travel yang sudah dipesannya. Wanita paruh baya itu menurunkan kaca lalu melambai ke arah Redy. "Tunggu Bibi ya, Aden!" serunya terisak. Redy meringis kecil lalu balas melambai. "Ya, hati-hati, Bi!" Setelah travel tersebut luput dari pandangan Redy, cowok itu langsung menutup pintu dan diam sebentar. Detik berikutnya, ia malah menghela napas panjang dan melangkah gontai menuju kamarnya. Mau tak mau, selama Si Bibi enggak ada di rumah, Redy harus bersikap baik terhadap Kara. Karena, cuma cewek itulah satu-satunya orang yang bisa Redy harapkan untuk menggantikan posisi Si Bibi, sebagai tukang masak dan beres-beres di rumah. • • • Aldan menatap cewek berkuncir kuda di depannya dengan bosan. Sambil bersungut-sungut, Kara terus mencetak adonan kue bersama Mama Aldan di dapur. Tadi pagi, sebelum Redy sempat keluar kamar, Kara langsung pergi ke rumah Aldan dengan alasan ingin membantu Mamanya untuk membuat kue pesanan pelanggan. Alhasil, disinilah Kara. Sibuk mencetak adonan sambil terus bercerita soal Redy. "Elonya yang nyebelin kali, Kar," ujar Aldan asal. Cowok itu menempati salah satu kursi makan sambil menatap ke bawah, memerhatikan Kara dan Mamanya yang sedang duduk di lantai sembari membuat kue. Kara mendelik. "Gue enggak ngapa-ngapain, Dan! Dianya aja yang iseng bikin gue jantungan!" "Namanya juga becanda," ucap Aldan sambil mengangkat bahunya cuek. "Kalau gue mati gara-gara serangan jantung gimana? Emang dia mau tanggung jawab?" Kara memasukan adonan kue ke dalam cetakan dengan kasar. Cewek itu kembali terbawa emosi mendengar Aldan lebih membela sepupunya ketimbang dirinya. Mama Aldan menghela napas lalu menengahi perdebatan yang terjadi diantara Kara dan anaknya. "Maafin Redy ya, Kar. Dia emang seneng becanda. Aldan aja sering berantem sama Redy cuma karena hal sepele. Perilaku mereka berdua emang masih kayak anak kecil." "Ma! Kapan sih aku berantem sama Redy?" gerutu Aldan tak terima. Ia melirik Kara sekilas, tampak cewek itu sedang menahan tawanya. "Waktu itu pernah, masa kamu lupa? Yang berantem bertiga sama tetangganya Redy dulu." Mama Aldan mengingatkan. Aldan mendengus. "Itu bukan aku yang berantem sama Redy. Tapi, Redy yang berantem sama tetangganya. Terus aku ikutan mukul tetangganya itu buat ngebela Redy." "Tapi sama aja. Kalian berantem saling pukul juga 'kan?" "Udah lama banget, Ma. Itu jaman SD." Aldan masih membela diri sementara Mamanya cuma balas mencibir singkat. "Dan, lo mau bantuin gue buat nyari tempat kosan baru, nggak?" tanya Kara setelah Aldan berhenti adu mulut dengan Mamanya. Aldan mengerutkan dahi. "Buat? Lo mau pindah?" Kara membuang napas keras. "Iya. Gue bisa kena penyakit darah tinggi kalau terus-terusan tinggal disana." Aldan menggeleng. "Enggak! Nyari kosan itu susah, Kar." "Gak mau tau! Pokoknya gue mau pindah!" tandas Kara. Aldan tetap menggeleng kuat. "Apalagi nyari kosan yang bagus sekaligus murah. Langka banget. Kontrakan Redy itu satu-satunya tempat kosan yang cocok buat lo." "Gak mau!" "Kara..." Aldan memejamkan matanya dua detik sambil mengembuskan napas jengah. "Lo tinggal di rumah Redy itu lebih hemat, tau? Emang tabungan lo bakalan cukup sampai berapa bulan sih?" "Pokoknya gue mau pindah." "Kar--" "Titik." Mendengar pernyataan final dari Kara, mau tak mau Aldan pun terpaksa menuruti keinginan si cewek berkepala batu itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN