Dengan berapi-api, Kara terus menceritakan semua perilaku menyebalkan Redy kepada Aldan. Sesekali cewek itu menggebrak keras meja kantin, membuat sebagian anak-anak yang sedang beristirahat menoleh dan menatapnya bingung. Aldan sendiri cuma balas meringis dan tertawa kecil menanggapi cerita Kara.
"Serius?"
"Dua rius!" Kara kembali memukul meja sambil melotot. "Sepupu lo emang minta ditabok!"
Aldan tertawa. "Tabok aja. Lo biasa nabok gue ini."
"Tapi masalahnya, jangankan nabok. Buat berdiri sejauh seratus meter dari dia aja gue ogah!"
"Masa?" Aldan menaikkan sebelah alisnya menggoda Kara. "Di sekolahnya, Redy itu banyak dikejar cewek loh, Kar. Lo yakin nggak bakalan ikut ngejar-ngejar dia juga?"
Sesendok bakso yang tadi siap untuk memasuki mulut Kara kini menggantung di udara. Cewek itu mendelik Aldan lalu menaruh kembali sendok baksonya di mangkuk. "Kalau seandainya gue beneran ngejar dia, itu pun karena gue kepingin neror dia sampe mampus."
Aldan langsung terbahak usai mendengar pernyataan Kara barusan. Setelahnya, ia menyuapkan nasi gorengnya ke dalam mulut lalu berkata dengan geli, "entar lo malah di teror balik sama fansnya Redy, gimana?"
"Cowok kayak gitu punya fans?" Kara berdecih. "Iya sih, dia ganteng. Gue berberat hati harus mengakui itu. Tapi, apa nggak ada hal lain yang bisa dia banggain selain mukanya yang emang di atas standar?"
"Hmm..." Aldan tampak berpikir sambil mengusap-ngusap dagunya. "Iya, sih. Ngadu PS bareng gue aja dia sering kalah..."
"Nah!" Dengan wajah tampak puas, Kara menjentikkan jarinya. "Dia itu nggak kayak Kak Zio. Kalau Kak Zio sih, udah ganteng, jago basket, ramah pula. Paket lengkap lah pokoknya!"
Aldan mencibir. "Iya gue tau. Lo 'kan Ziolicious. Kapan sih, lo nggak muji-muji itu orang?"
"Lo sirik ya, Redy sama Kak Zio punya fans tapi lo nggak?" Kara nyengir sambil memasang tampang minta ditaboknya pada Aldan. Ia menaik-turunkan alisnya untuk menggoda cowok itu.
"Lo nggak tau, ya? Loker sama laci meja gue itu selalu penuh sama kertas-kertas warna pink," sergah Aldan cuek sembari menyuapkan makanan ke mulutnya.
Kara terkikik. "Iya, itu kertas tagihan utang dari Ibu Kantin!"
"Anjir, enak aja! Gue serius. Bahkan, di kertas itu sering disebut-sebut nama lo sebagai cewek gue." Aldan menatap Kara sebentar lalu bergidik ngeri. "Bah, mana mau gue pacaran ama papan penggilasan."
"Emang tipe-tipe triplek kayak lo itu cowok idaman gue? Hih, sori ya, selera gue terlalu tinggi, Dan."
"Zio? Selera tinggi? Justru selera lo itu terlalu rendah sampe bisa-bisanya suka sama cowok macem dia. Dari luar doang keliatan bagus, dalemnya boro-boro," kata Aldan.
Kara memajukan wajahnya tepat ke hadapan Aldan lalu menyipitkan mata. "Sok tau," desisnya tajam. Kemudian, ia menarik kembali wajahnya menjauh dan memakan bakso dengan tenang.
Aldan berdecak. "Yah, dikasih tau malah ngeyel."
• • •
Seperti biasa, Redy selalu menemui Kaila di kelasnya tepat sedetik setelah bel tanda istirahat dibunyikan. Biasanya, duo sejoli itu bakalan menghabiskan waktu istirahatnya dengan makan berdua di kantin atau mojok di dekat tangga menuju ke lantai tiga untuk sekedar mengobrol dan bercanda. Ah, Redy kok jadi flashback masa lalunya bareng Kaila, sih?
"Kaila mana Kaila?" seru Redy cukup keras sambil melongok ke dalam kelas 12 IPS-C.
"Tadi udah ke kantin," sahut anak yang lain.
"Oke," balas Redy pendek seraya memutar badannya lalu melangkah menuju kantin.
Sesampainya di kantin, Redy melihat Kaila sedang berdiri di sudut ruangan dengan tatapan kosong menatap anak-anak yang berjalan hilir mudik. Cowok itu tanpa sadar menggeleng-gelengkan kepala. Kebiasaan, deh. Dari dulu Kaila doyan banget bengong kalau lagi sendirian di tempat ramai. Tanpa babibu lagi, Redy langsung menghampiri cewek itu dan menyapanya.
"Kaila!" sapa Redy riang. Kaila tersentak kaget kemudian celingukan mencari asal suara. Begitu didapatinya Redy tengah berjalan mendekat, Kaila buru-buru memasang tampang juteknya.
"Lo sendirian aja?" tanya Redy setelah berdiri tepat di hadapan sahabat merangkap mantannya itu.
Kaila membuang muka. "Ada Gita sama Aretha."
"Mana?" Redy mengernyit seraya memandang sekitar, mencari-cari sosok Gita dan Aretha diantara segerombolan anak-anak yang berdesakkan.
"Lagi pesen makanan," jawab Kaila singkat.
"Oh." Redy manggut-manggut mengerti lalu mengganti topik. "Daripada bengong disini, mending kita duduk aja, yuk?" ajaknya seraya menyentuh tangan Kaila ringan.
Kaila menurut tanpa berontak sedikit pun. Cewek itu menatap tangannya yang sedang digenggam oleh Redy dengan tatapan menerawang. Dari dulu, genggaman tangan cowok itu selalu terasa hangat dan pas di tangan Kaila. Bahkan, sampai sekarang pun masih sama seperti itu. Tanpa sadar, Kaila tersenyum miris. Perasaannya pada Redy pun ternyata masih belum berubah.
"Lo pesen apa?" tanya Redy setelah keduanya berhasil menempati meja kosong yang ada di pojok kantin.
Alih-alih menjawab, Kaila malah memandang meja yang sedang ditempatinya dengan curiga. Sejurus kemudian, cewek itu langsung melemparkan tatapan tajamnya pada Redy.
"Kenapa lo ngajak gue buat duduk disini?" tanya Kaila.
Redy memberengut. "Emang kenap--"
"Lo nggak usah pura-pura gak tau deh, Re," sela Kaila cepat. "Sekarang gue tanya. Kemana lo selama satu taun belakangan? Kenapa lo tiba-tiba ngedatengin gue lagi?"
Redy tersenyum tipis. Ternyata Kaila sadar kalau cowok itu telah mengajaknya untuk menempati meja yang dulu jadi tempat favorit mereka sewaktu menghabiskan waktu istirahat. Dengan kata lain, Redy bisa menyimpulkan bahwa perasaan Kaila terhadapnya masih sama seperti dulu. Ia pun kontan bersorak gembira dalam hati.
"Dengerin gue dulu, Kai." Redy menatap Kaila dalam kemudian melanjutkan, "gue terpaksa. Gue terpaksa ngejauh dan lo sendiri tau ap--"
"Terus, sekarang lo mau ngedeketin gue lagi? Gitu?" Kaila menaikkan sebelah alisnya dan memandang Redy sinis.
"Apa?" Redy menatap Kaila tak percaya. Sejurus kemudian, cowok itu langsung mengusap wajah frustasi sambil menghela napas panjang.
Sebenarnya, ada banyak hal yang ingin Redy sampaikan pada Kaila. Namun tiba-tiba saja, lidahnya terasa kelu. Redy mendadak kehilangan kata-kata. Ia bingung bagaimana cara menyusun kata-kata yang tepat agar Kaila bisa mengerti apa maksud Redy yang sebenarnya tanpa harus terjadi salah paham.
"Satu hal yang mesti lo tau, Re." Kaila memberi jeda sebentar lalu meneruskan, "gue nggak mungkin bisa jatuh cinta pada orang yang sama."
Tanpa sadar, Redy mengepalkan tangannya kuat-kuat, membuat sebagian buku-buku jarinya memutih. Ia masih memandang Kaila lekat, menunggu setiap kelanjutan kata yang akan keluar dari mulut cewek itu.
"Terutama dengan cara yang sama," sambung Kaila kemudian.
Setelah sempat hening beberapa detik, Redy pun bersuara, "Oke." Cowok itu menghembuskan napas panjang sambil memaksakan seulas senyum. Kepalan di tangannya perlahan melonggar. "Tapi, sebaliknya. Ada satu hal juga yang nggak lo tau."
Kerutan samar tampak pada dahi Kaila. Redy pun melanjutkan, "nggak ada yang nggak mungkin."
Kaila tertegun selama beberapa saat. Ia menatap lurus-lurus ke dalam mata Redy. Namun sayangnya, manik hitam itu tak memberikan sedikitpun celah untuk Kaila bisa membaca pikiran cowok itu.
"Kalau gitu, gue balik ya, Kai." Redy bangkit dari duduknya lalu menepuk puncak kepala Kaila lembut. "Jangan terlalu banyak makan pedes," pesan Redy sebelum akhirnya cowok itu pergi meninggalkan kantin.
Sepeninggal Redy, ujung-ujung bibir Kaila perlahan tertarik ke atas. Cewek itu menoleh, hendak melihat punggung Redy dari kejauhan. Namun sayangnya, cowok berperawakan tinggi tegap itu telah menghilang dari balik kerumunan anak-anak yang berdesakkan di kantin.
Tak dapat Kaila pungkiri kalau ia merasa senang. Ia benar-benar senang sewaktu mendengar bahwa Redy akan terus berjuang mendapatkannya. Dengan begitu, ia dan cowok itu pun akhirnya impas. Ada masa dimana Kaila mengejar Redy, dan sekarang adalah masa dimana Redy mengejar Kaila.
Kalau boleh jujur, jika seandainya Redy mengajak Kaila balikan, dengan senang hati Kaila akan mengatakan ya. Namun, sebagian dalam diri Kaila memaksa agar ia tak semudah itu menerima Redy.
Kaila ingin melihat sampai dimana perjuangan seorang Redy untuk mendapatkannya. Gengsi dong, kalau dulu cewek itu terlihat mati-matian mengejar Redy pasca mereka putus, sementara Redy sendiri bisa dengan mudahnya mendapatkan Kaila tanpa perjuangan sedikitpun.
Oleh sebab itu, sebisa mungkin Kaila akan terus mengulur waktu dengan cara bersikap dingin pada Redy, seolah-olah cewek itu memang benar-benar tak menginginkannya lagi. Karena dengan begitu, semakin Kaila menolak Redy mentah-mentah, maka cowok itu pun akan semakin gencar mendekati Kaila. Alhasil, semua orang pun akan tahu kalau bukan cuma Kaila yang dulunya pernah berjuang untuk memperbaiki hubungan diantara keduanya, tetapi Redy juga.
Selain itu, Kaila juga tahu betul kalau cepat atau lambat Redy pun akan menjadi miliknya lagi. Karena ia sendiri sangat yakin, bahwa Redy memang hanya untuknya seorang.
• • •
"Satu ... dua ... tiga ..."
Sambil melakukan stretching, Kara diam-diam mencuri pandang ke arah Zio. Cowok itu masih sibuk latihan bersama anak-anak basket putra yang lain. Berbeda dari putra, anak basket putri justru sedang melakukan peregangan otot sebagai penutup latihan hari ini.
"Buat sekarang, sampai disini dulu. Semoga semua yang udah kita pelajari bakalan terus nempel dan bisa di praktekan di lapangan," ucap Sazki, Si Kapten basket putri, seraya berdiri lalu mengulurkan tangannya di udara.
Semua anggota basket putri yang lain ikut berdiri lalu menaruh tangan masing-masing di atas tangan Sazki. Mereka mengangguk-anggukan kepala semangat lalu berseru kompak, "Aamin!"
Setelah berdoa dan melakukan high five antar sesama anggota basket putri, Kara langsung berjalan menuju pinggir lapangan. Ia mengambil botol air mineralnya lalu meneguknya dalam satu kali tegukan.
"Aldan masih futsal, Kar?" tanya Vira sambil menempati tempat duduk di sebelah Kara. Ia mengulurkan tangannya sebagai isyarat meminta botol minum kepunyaan cewek itu. "Dia pake lapangan belakang, ya?"
Kara lantas menyerahkan botol minum berwarna merahnya kepada Vira lalu mengangguk. "Iya. Gue mau nungguin dia sampe beres futsal nih, Vir."
"Oh." Vira manggut-manggut lalu mengembalikan botol minum Kara. "Btw, thanks ya, minumnya."
"Sama-sama."
"Eh Kar, ganti bajunya mau bareng, nggak? Anak-anak mau pada ke toilet, nih." Vira mengeluarkan baju gantinya dari dalam tas lalu melihat Kara.
"Mmm... lo duluan aja, deh. Gue masih mau disini," cetus Kara akhirnya. Vira mengangguk mengerti lalu pergi ke ruang ganti bersama anak-anak basket putri yang lain untuk ganti baju. Sementara itu, Kara masih asik sendiri duduk di pinggir lapangan sambil melihat anak basket putra yang sibuk latihan.
Sebenarnya, bukan anak basket putra yang sedang dilihat oleh Kara. Fokus mata cewek itu cuma tertuju pada satu titik, yaitu Zio. Kara selalu kagum pada setiap gerakan Zio dalam bermain basket. Dari mulai mendribel, mengoper, lay up, shooting, three point, fade away, sampai cuma memegang bola basket pun Kara selalu dibuat takjub olehnya.
Tapi sayangnya, Zio sama sekali nggak pernah sadar kalau Kara selalu memerhatikannya diam-diam. Inilah nasib jadi secret admirer. Cuma bisa memandangi dari jauh, tapi selalu berharap perasaannya akan dibalas. Harapan kosong banget 'kan?
"Istirahat lima menit!" Pelatih tiba-tiba berseru setelah meniup peluit panjang, menghentikan aksi anak-anak basket putra yang sedang sibuk melakukan full court.
Segerombolan cowok-cowok berbadan tinggi dan atletis kontan berhamburan ke pinggir lapangan untuk beristirahat dan mengambil botol minum masing-masing, tak terkecuali Zio.
Cowok itu, Zio, tanpa disangka-sangka malah berjalan ke arah Kara. Sadar bahwa Zio semakin mendekat, Kara refleks menahan napas sambil berpura-pura melihat ke arah lain. Saat ini, seluruh sistem kerja tubuh Kara mendadak tak berfungsi.
Tepat ketika Zio berdiri di sebelah Kara, cowok itu langsung berjongkok dan mencari-cari tasnya diantara tumpukan tas anak-anak basket yang lain. Diam-diam, Kara terus memerhatikan pergerakan Zio lewat ekor matanya.
"Kok nggak ada sih..." gumam Zio sambil terus mengubek-ngubek tumpukan tas tersebut. Sepersekian detik berikutnya, cowok itu tiba-tiba menoleh ke arah Kara lalu menatap cewek itu lama. Merasa putus asa karena tasnya tidak juga ditemukan, Zio pun memutuskan untuk bertanya pada Kara.
"Eh, cewek," sapa Zio ramah.
Kara sedikit tersentak. Jantungnya mulai berdegub kencang tanpa kendali. Santai Kar, Santai! Harus jaim di depan Kak Zio! Batinnya. Dengan kikuk, Kara pun menolehkan kepala lalu menunjuk batang hidungnya.
"A--aku?" tanya Kara tergagap.
Zio mengangguk sambil tersenyum manis. "Iya. Liat tas Nike warna item putih, nggak?"
Kara menggeleng kaku. "Ng--nggak."
"Oh." Suara Zio terdengar sedikit kecewa. Sejurus kemudian, cowok itu langsung menempati tempat duduk di sebelah Kara dengan santai. "Anak cewek yang lain lagi ganti baju, ya?" tanyanya.
Kara mengangguk singkat tanpa bicara lebih lanjut. Entah kenapa, ia terlalu nervous untuk sekedar bersuara di depan cowok kecengannya. Zio sendiri malah enggak sadar kalau cewek yang saat ini duduk di sebelahnya lebih mirip manekin hidup ketimbang manusia.
"Masih punya minum, nggak?" tanya Zio memecah keheningan.
Mendengar pertanyaan barusan, Kara cepat-cepat meraih tasnya lalu mengeluarkan botol minum berawarna hijau yang masih terisi penuh oleh air.
"Aku bawa dua botol. Kakak mau?" tawar Kara seraya menyodorkan botol minumnya.
Zio menyambut botol minum Kara sambil tersenyum. "Thanks, ya," ucapnya lembut lalu menenggak habis air yang ada dalam botol tersebut.
Kara cuma balas mengangguk sambil tersenyum kecil. Walaupun kepala cewek itu mengarah ke depan, tapi ekor matanya terus mengamati pergerakan Zio yang sedang minum.
Asdfghjkl Kak Zio di sebelah gue! Dia ngajak gue ngobrol! Kara terus menjerit kegirangan dalam hati. Kalau aja saat ini urat malu Kara putus, mungkin cewek itu udah guling-guling di tengah lapangan sambil gigit-gigit jari. Atau yang lebih parah lagi, Kara bakalan nekat ngajak Zio buat ikut guling-gulingan bareng di sana.
"Kenapa?" tanya Zio sewaktu matanya tanpa sengaja bertemu pandang dengan mata Kara yang daritadi meliriknya diam-diam.
Aduh, mampus! Kara mendadak jadi salting dan grogi sendiri. Semburat-semburat merah mulai muncul di kedua pipi cewek itu tanpa bisa dicegah. Sebisa mungkin, Kara terus menyembunyikan wajahnya dengan berpura-pura menunduk, sibuk mengubek-ubek isi tasnya.
"Nggak! Gak apa-apa!" Kara menggeleng cepat lalu mengeluarkan baju gantinya dari dalam tas. "Aku ganti baju dulu, Kak," ucapnya kemudian seraya beranjak pergi menuju toilet yang ada di sebrang lapangan, dekat ruang guru.
Sambil terus merutuki diri, Kara melangkahkan kakinya dengan cepat menyebrangi pinggir lapangan. Cewek itu menunduk dalam, benar-benar merasa malu karena telah tertangkap basah sedang mengamati Zio. Kampret, muka gue mau dikemanain?! Kara nggak henti-hentinya mengumpat dalam hati. Bahkan, ia pun sampai menyalahkan Zio karena punya wajah yang enak untuk dipandangi.
"Anjir, bunuh aja gue, bunuh. Gue nggak sanggup hidup lagi..." gerutu Kara sambil sesekali meringis ngeri begitu mengingat tatapan yang diberikan oleh Zio kepadanya sewaktu mata mereka berdua saling bertubrukan.
Entah apa yang saat ini ada dalam pikiran Zio. Seumur-umur, walaupun Kara terlampau sering bikin malu, tapi inilah hal yang paling malu-maluin. Dan ia yakin, kalau nanti sebelum tidur, hal barusan akan terus menggentayanginya sampai pagi.
"Gue harus pindah sekolah... Ah, enggak! Gue harus pindah kota! Oh! Pindah negara leb--"
BUGH!
Kepala Kara sukses membentur tiang basket.