Eps. 14 – Permintaan Nurul

1049 Kata
Pagi ini aku siap-siap berangkat tahsin. Walaupun aku sibuk dengan pekerjaan sebagai staf di perusahaan konstruksi, namun aku tidak mengabaikan bekal untuk akhiratku. Aku ingin sekali memiliki hafalan yang banyak dengan bacaan yang bagus. Maka dari itu aku masih mengikuti kelas tahsin. Di depan kelas kami ternyata mbak Nurul sudah menungguku. Beliau langsung menghampiri ketika aku baru saja memarkirkan motor di depan kelas kami. “Assalamu’alaikum, Windy.” “Wa’alaikumussalam, Mbak.”Aku menyalami wanita bercadar itu. “Nanti jadikan kita ngobrol sebentar sepulang tahsin?” “Ya mbak, Insyaa Allah.” “Ayolah kita masuk dulu, sebentar lagi ustadzah Sahira akan masuk.” Akupun masuk ke dalam kelas bersama mbak Nurul. Kami menyimak pelajaran hari ini dengan sangat baik. Hingga tak terasa waktu belajar sudah selesai. Aku lihat suami mbak Nurul sudah menunggu di samping mobil. Sesaat aku tertegun melihat pria itu, sangat gagah dan bersahaja. Tapi aku kembali menundukkan pandanganku sembari mengucap istighfar. “Mau bareng sama mbak atau bagaimana?” “Masing-masing saja mbak, nanti Windy akan ikutin mobil mbak dari belakang.” “Baiklah.” Akupun mengikuti mobil merah itu hingga berhenti di salah satu restoran. Restoran ini memang menyiapkan tempat khusus untuk tamu yang bercadar. Aku kemudian memarkir motor dan mengikuti mbak Nurul masuk ke dalam restoran. Sementara suami mbak Nurul pergi meninggalkan kami. “Windy mau pesan apa?” Mbak Nurul memberikan buku menu. “Ini saja, Mbak.” “Baiklah.” Mbak Nurul pun memesan makanan dan minuman untuk kami. “Begini Windy, maaf kalau mbak mengajak Windy mengobrol ditempat privasi seperti ini. Ada sesuatu yang ingin mbak sampaikan ke Windy. Lebih tepatnya minta persetujuan.” “Apa, Mbak.” Entah mengapa aku berdebar. Walau aku belum bisa menerka apa sebenarnya yang ingin mbak Nurul sampaikan. Tapi tiba-tiba irama jantungku tak beraturan. “Maaf kalau mbak to the point. Maukah Windy menjadi madu mbak?” Deg ... Jantungku terasa lepas dari tempatnya mendengar ucapan mbak Nurul. “Maksud Mbak Nurul?” “Mbak ingin Windy melihat ini.” Mbak Nurul memberikanku sebuah amplop kecil dan sebuah amplop besar berisi hasil rontgen. Aku melihat hasil rontgen terlebih dahulu. Aku lihat di sana tertera nama Nurul Ramadhani. Aku tidak bisa membaca hasil rontgen, kemudian aku membuka amplop kecil yang diberikan mbak Nurul. Disana tertulis data-data lengkap mbak Nurul dan aku begitu kaget melihat tulisan kanker hati stadium 4. “Ma—maaf, Mbak ...?” Aku bergetar menatap mbak Nurul. “Iya Windy, mbak sekarat saat ini. Mbak sebenarnya sudah lama menderita kanker hati. Sebulan setelah mbak menikahi mas Putra, mbak baru mengetahui kalau mbak ternyata sakit. Tapi mbak merahasiakan semuanya dari mas Putra.” “Mbak ....” Aku menggenggam tangan mbak Nurul yang begitu halus. “Iya Ndy, inilah kenyatannya. Bahkan waktu mbak hamil Aisyah, Dokter tidak mengizinkan mbak meneruskan kehamilan itu karena sangat beresiko. Namun mbak tidak peduli, mbak ingin memberikan keturunan untuk mas Putra. Mbak juga ingin merasakan jadi wanita sesungguhnya.” Aku hanya bisa menjadi pendengar yang baik. Mbak Nurul menghela napas sebentar kemudian melanjutkan penjelasannya. “Mbak percaya Windy akan jadi ibu yang baik untuk Aisyah dan akan jadi istri yang baik untuk mas Putra. Mas Putra pasti akan jadi suami yang baik untuk Windy.” “Tapi maaf mbak, Windy belum kepikiran.” “Apa Windy sudah punya calon? Sebab minggu lalu mbak becandain Windy katanya Windy masih sendiri. Mbak juga prihatin dengan cerita Windy yang selalu dipandang remeh oleh warga sekitar rumah Windy.” Aku menggeleng. “Kalau begitu Windy terima permintaan mbak ya? Setelah menikah nanti, Windy tidak perlu bekerja lagi.” “Tapi mbak ....” Belum sempat aku menyelesaikan perkataanku, mbak Nurul terbatu-batuk. Ia segera menutupi mulutnya dengan tisu yang memang sudah tersedia di atas meja kami. “Astagfirullah mbak, mbak mengeluarkan darah.” Aku kaget ada darah di tisu dan tepi bibir mbak Nurul. “Tidak masalah, Ndy. Mbak sudah biasa begini.” Mbak Nurul mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Dia mengeluarkan beberapa butir pil dan menelan pil itu. “Menurut diagnosa dokter, umur mbak tidak akan lama lagi. Bahkan dokter pesimis mbak akan selamat ketika melahirkan Aisyah. Alhamdulillah, mbak masih hidup sampai sekarang. Namun keadaan mbak semakin parah. Mbak selalu merasakan panas di sini.” Mbak Nurul menunjuk bagian dadanya. “Mbak mohon tolong terima permintaan mbak. Mbak ingin ada seseorang yang bisa menjaga mbak dan Aisyah di rumah. Mbak sudah tidak kuat lagi mengurus Aisyah.” Mbak Nurul menangis dan kulihat dia mulai merasakan kesakitan. “Mbak, Windy mohon, Mbak jangan menangis. Baiklah Windy bersedia menjadi madu mbak, tapi hentikan dulu tangisan mbak.” Apa-apaan aku, kenapa aku mengucapkan kata-kata itu tanpa berpikir terlebih dahulu. Tapi aku sungguh tidak tega melihat kondisi mbak Nurul. Setidaknya aku ingin berbuat baik kepada wanita itu. Aku ingin membantu menjaga putrinya. “Tapi mbak, apakah mbak sudah bicarakan semuanya dengan suami mbak? Bukankah lebih baik suami mbak tau perihal kondisi mbak saat ini?” “Jangan Ndy, mbak mohon mas Putra jangan sampai tau. Mbak tidak ingin mas Putra khawatir terhadap kondisi mbak.” “Tapi mengenai aku?” “Tenang saja, semuanya biar mbak yang atur. Terima kasih Windy sudah mau menolong mbak. Windy berhati mulia. Maafkan mbak kalau mbak melibatkan Windy dalam permasalahan mbak.” “Tapi Windy akan disebut sebagai pelakor mbak.” “Tidak ada yang akan menyebut Windy sebagai pelakor. Pelakor adalah perebut suami orang, sementara di sini, mbak yang meminta Windy menjadi madu mbak. Jadi pelakor dari mana?” Aku hanya bisa mengangguk. Aku tidak habis pikir, bagaimana bisa aku menerima permintaan mbak Nurul. Disaat hati ini mulai menaruh rasa pada pak Irfan. Pak Irfan yang sebentar lagi mungkin saja akan menjadi duda. Namun aku lebih menyetujui menjadi madu sahabatku sendiri. Mbak nurul meminta agar aku segera mempersiapkan diri. Aku juga diminta memberitahu keluargaku mengenai rencana pernikahan ini. Mbak Nurul menginginkan agar pernikahan ini harus segera dilaksanakan. Dia mengkhawatirkan kondisinya yang semakin memburuk. Sepanjang perjalanan pulang, aku terus saja memikirkan permintaan mbak Nurul. Semua ini terlalu cepat sehingga aku tidak diberi kesempatan untuk berpikir. Aku langsung mengiyakan karena melihat mbak Nurul menatapku dengan penuh harap. Bahkan aku belum pernah bertemu langsung dengan pria yang disebut mbak Nurul, Mas Putra. Aku hanya melihatnya tadi sekilas, ketika menjemput Mbak Nurul. Semoga saja keputusanku ini tidak salah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN