BAB 13 – Terkejut

1177 Kata
POV Windy Sesampai di rumah aku langsung merebahkan diri ke atas ranjang. Air mataku mengalir begitu deras. Beruntung Rian dan Dian tidak ada di rumah. Sabtu begini mereka berdua biasanya pergi main. Langit dan Mentari juga belum kembali dari acara jalan-jalan mereka. Jadi aku bisa meluapkan semua kekesalan, sakit hati dan kecewaku di kamar ini, sendirian. Besok aku berniat hendak menemui mama dan menceritakan semuanya. Arrggghhhh ... Aku mulai melepas jilbab dan meremas rambutku sendiri. Kau merasa sangat marah, malu dan terhina. Aku merasa sudah menjaga sikap dan harga diriku dengan baik, tapi mengapa masih dihinakan? Tiba-tiba ponselku berdering. Ada Panggilan dari Anto. Berkali-kali aku riject hingga akhirnya nomor itu aku blokir. Aku sangat benci pada pria itu. Pria b******n yang pernah aku temui. Seharusnya dia lebih menghargaiku, paling tidak hargailah pakaianku. Lagi, ponselku berdering. Aku langsung mematikan panggilan itu tanpa melihat siapa yang menelepon. “Bukankah tadi nomor Anto sudah aku blokir? Lalu panggilan dari siapa yang aku matikan tadi?” Aku bergumam pelan. Aku kembali melihat layar ponselku, ternya itu adalah panggilan dari mama mertuaku. Aku pun menghubungi kembali wanita paruh baya itu. “Assalamu’alaikum.” Terdengar mama menyapa lebih dulu dari seberang sana. “Wa’alaikumussalam, ya Ma. Mama sedang di mana?” “Mama sedang perjalanan menuju Padang, sekitar satu jaman lagi sudah sampai. Bagaimana, apakah Windy jadi bertemu Anto hari ini?” Pertanyaan mama membuat tangisku kembali pecah. Aku tak mampu membendungnya lagi. ”Ada apa Ndy?” Aku pikir tidak ada salahnya aku ceritakan sekarang. Untuk apa menunggu sampai besok. “Bang Anto ... Bang Anto tadi melecehkan Windy ma. Dia mempermalukan Windy di depan banyak orang. Bahkan dia meneriaki Windy. Katanya Windy Janda Murahan, Janda tidak tau diuntung, sok suci ....” Kali ini tangisku semakin keras. “Ya sudah, Windy jangan menangis lagi ya Sayang. Besok mama akan ke rumah antan. Mama akan membatalkan perjodohan Windy dengan Anto.” “Ya ma, terima kasih.” “Sekarang Windy istirahat saja dulu ya. Nanti mama akan langsung ke rumah. Windy ceritakan semuanya ke mama.” “Ya, Ma.” “Assalamu’alaikum.” “Wa’alaikumussalam.” Panggilan suara itu pun terputus. Demi mengisi kejenuhan sembari menunggu anak-anak pulang, aku pun kembali membuka file gallery di ponselku. Bagian atas terlihat foto-fotoku bersama rekanan di proyek Agam. Tiba-tiba aku tersentak melihat ada fotoku berdua dengan pak Irfan di depan Jembatan yang sedang kami bangun. Aku zoom foto itu, dan jantungku semakin berdebar tatkala menatap  wajah pak Irfan di balik layar ponsel. Pak Irfan sosok yang gagah, tampan dan bersahaja. Dan selama ini beliau begitu menghargaiku. Betapa seringnya aku tinggal hanya berdua saja dengan beliau di kantor untuk membuat penawaran atau mengerjakan Administrasi proyek. Namun beliau tidak pernah sekali pun mencoba melecehkanku. Walau kutau, pak Irfan juga sedang kesepian. Arghhh ... Andai saja? Pikiran liar mulai merasukiku. Tak dipungkiri, wanita mana pun pasti akan terbuai dengan sikap dan perlakuan lembut pak Irfan. Apalagi aku, seorang wanita yang kesepian semenjak ditinggalkan oleh Dika. Tapi aku harus bisa menghilangkan perasaan ini. Bagaimanapun pak Irfan masih bertatus suami orang. Ponselku berdering menandakan ada sebuah pesan masuk. “[Assalamu’alaikum Windy, maaf kalau mbak menganggu. Windy tadi kenapa gak masuk ngaji?]” ternyata itu pesan w******p dari mbak Nurul. Mbak Nurul adalah temanku sesama pengajian. Aku sekelas dengan beliau ketika belajar tahsin. Aku belum lama mengenal mbak Nurul, mungkin baru tiga bulanan. Namun kami sudah merasa sangat dekat. Suara mbak Nurul yang begitu merdu ketika mengaji dan kehebatannya dalam pengucapan makharijul huruf, membuatku begitu mengaguminya. Mbak Nurul memiliki paras yang sangat cantik. Kecantikannya ia tutup di balik gamis super longgar dan cadarnya. Tutur bahasanya juga sangat lembut dan ramah. Aku berpikir bidadari surga mungkin seperti mbak Nurul ini. Usianya lima tahun di atas usiaku. Namun karena parasnya yang begitu ayu, mbak Nurul terlihat malah lebih muda dariku. “[Wa’alaikumussalam, nggak menganggu kok, Mbak. justru Windy lagi sendirian di rumah. Maaf, tadi Windy ada kegiatan jadi bolos belajar Tahsin].” Aku tidak mungkin memberikan alasan sebenarnya kepada mbak Nurul, karena aku begitu menyegani wanita itu. “[Oh... ya, tapi besok pagi Windy masuk kelaskan?]” “[Ya mbak, Insyaa Allah].” “[Besok sepulang tahsin, mbak mau mengobrol sebentar dengan Windy, apakah bisa? Ada hal penting yang ingin mbak bicarakan. Kita cari tempat yang enak untuk mengobrol]” “[Tentang apa ya mbak? Kok sepertinya penting sekali].” “[Besok saja kita bahas ya, nggak enak via WA. Terimakasih Ndy, Assalamu’alaikum].” “[Wa’alaikumussalam].” Aku pun menutup perbicangan tersebut dengan rasa penasaran. Apa gerangan yang akan dibahas oleh mbak Nurul, kenapa tiba-tiba jantungku berdebar kencang. Tak lama aku mendengar suara pagar di buka. Aku beranjak keluar kamar dan melihat dari jendela ada mobil hitam masuk ke pekarangan rumahku. Itu pasti mobil mama. Aku segera membuka pintu. “Assalamu’alaikum.” Langit lebih dulu memberi salam, karena ia memang sudah turun lebih dulu. “Wa’alaikumussalam, Alhamdulillah semua sudah pada pulang. Gimana tadi jalan-jalanya, asyik?” tanyaku pada Langit. “Asyik banget My, sayangnya ummy tadi gak ikut.” Senyum Langit persis seperti senyum mendiang suamiku. Langit dan bang Dika memang sangat mirip. “Ummy ....” Tiba-tiba Mentari berteriak memanggilku, turun dari mobil dan mengejarku sambil membawa beberapa kantong kresek berbagai ukuran. “Sayang ....” Aku memeluk dan menggendong Mentari. Kuhampiri Mama, Papa, Cindy dan suaminya. Kusalami mama dan papa dengan takzim sembari menawari mereka semua masuk. Aku pun segera menuju dapur dan membuatkan mereka semua teh hangat.  Malam ini kuceritakan semuanya kepada Mama, Papa dan Cindy. Aku tak mampu menahan air mataku yang mengalir deras ketika menceritakannya. Sesekali kupelankan suaraku agar tidak terdengar oleh Mentari dan Langit yang sedang asyik menonton televisi. Mereka masih terlalu kecil untuk mengetahui semua ini. Mama dan Cindy juga menangis mendengarkan ceritaku. Aku lihat papa sangat marah. Berkali-kali kulihat papa mengepalkan kedua telapak tangannya. “Baiklah sayang, besok kami akan ke rumah antan. Mama akan membatalkan rencana antan yang akan menjodohkan Windy dengan Anto.” Mama mengusap pipiku dengan sangat lembut. “Andai saja tidak segan dengan antan, akan papa hajar laki-laki itu.” Suara papa terdengar cukup berat. Umur papa memang sudah lebih dari 60 tahun. Namun ia masih tampak muda, segar dan kuat. “Jangan pa, tidak perlu main kekerasan. Katakan saja kepada antan dengan baik kalau Windy menolak Anto.” Aku berusaha menenangkan papa. “Iya sayang, nanti biar mama yang mengurus semuanya. Windy tenang saja.” Mama kembali mengelus kedua pipiku yang masih mengalirkan butiran-butiran bening. “Terima kasih Ma, Pa.” Aku merasa sangat bahagia memiliki mereka. Walau mereka bukanlah orang tua kandungku, namun mereka begitu menyayangiku. “Kalau begitu kami semua pamit dulu ya, jaga diri Windy baik-baik. Besok akan mama kabari lagi.” Akhirnya Mama, papa, Cindy, Aura dan suami Cindy meninggalkan rumah kami. Aku berharap besok semua baik-baik saja di sana. Karena aku tau betul siapa papa mertuaku itu. Sifatnya sama seperti anaknya—mendiang suamiku. Beliau tidak akan segan menghabisi siapa saja yang beliau tidak sukai.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN