Pagi ini Agatha bangun lebih cepat dari biasanya, entah kenapa matanya seolah secara otomatis terbuka meski jam alarm yang setiap pagi membangunkannya belum menyala. Sungguh efek dari Zidan begitu terasa dalam dirinya.
Sesuai dengan apa yang laki-laki itu katakan kemarin, bahwa mereka akan pergi ke sekolah bersama-sama meski sebenarnya jarak antara sekolah Agatha dan Zidan lumayan berjauhan. Namun mungkin ini memang sebuah keberuntungan bagi Agatha sendiri, karena tepat hari ini kakak nya si overprotektif -Rian- juga tak ada di rumah, artinya Zidan bisa menjemput dia ke rumah. Bukan kah itu sangat menyenangkan.
Agatha membereskan tempat tidurnya, setelah tadi meneguk segelas air putih yang memang selalu ia simpan di atas meja belajarnya untuk di minum saat bangun di pagi hari. Hal tersebut menjadi sebuah kebiasaan sedari kecil, karena ibunya bilang itu sehat jadi Agatha pun melakukannya. Ia berjalan menuju kamar mandi dengan handuk berada di bahunya.
Menghabiskan waktu selama dua puluh menit di kamar mandi, ritual mandi dengan tak lupa senandung kecil dari bibirnya, Agatha akhirnya ke luar dari kamar mandi masih memakai handuk yang menutupi tubuhnya sampai paha. Berjalan ke arah lemari dan mengambil seragam sekolah kemudian segera memakai pakaian itu dan bersiap-siap untuk pergi ke sekolah.
Jam di atas meja belajarnya masih menunjukan pukul 06.15 WIB bahkan masih lama menuju bel masuk sekolah. Pagi ini Agatha benar-benar rajin sekali. Ia sudah rapi dengan seragam sekolah dan juga rambut yang di ikat satu, di tambah jam tangan di pergelangan tangan kirinya. Agatha lalu membawa tas yang sudah berisi buku pelajaran hari ini dan juga seragam olah raganya. Ia pun keluar dari kamar dan berjalan menuju meja makan.
**
“Pagi, Ma,” sapa Agatha pada ibunya yang sedang sibuk dengan peralatan dapur bersama dengan asisten rumah tangga mereka.
“Pagi, tumben jam segini udah siap,” ucap Cantika melihat anak gadisnya yang sudah rapi dan duduk di meja makan tak jauh dari tempat dia memasak saat ini.
“Kan bagus, Ma kalau aku bangun pagi.”
“Tapi gak bantuin di dapur.”
“Hehe ... kan udah ada bibi. Kak Bian belum turun, Ma?” tanya Agatha.
“Belum, paling sebentar lagi barengan sama Papa.” Agatha mengangguk kemudian hanya berdiam diri menunggu kedatangan anggota keluarga yang lain untuk sarapan bersama, bahkan ia tak berniat untuk membantu ibunya yang sedang memasak. Dasar Agatha!
“Lho, tumben udah di sini aja.” Suara Bian terdengar dan duduk di samping Agatha.
“Pagi,” ucap Agatha.
“Oh iya, pagi adek gue. Tumben jam segini udah di meja makan.”
“Emang gak boleh?”
“Ya bukan gak boleh, heran aja gue.”
“Lagi rajin aja.”
“Ah masa? Rajin apa rajin ... gue tau ni gara-gara mau di jemput sama si Zidan itu kan. Hayo ... ngaku lo.”
“Sssttt ... berisik, ini rahasia kita doang.”
“Rahasia apa?”
Agatha tersentak dan menoleh ke belakang di mana seorang pria yang masih terlihat gagah sudah berada di dekat mereka dan kemudian duduk bergabung dengan mereka di meja makan ini.
“Ah ... Nggak, Pa. Ini Kak Bian pake rahasia segala sama aku. Kan aku jadi makin kepo,” elak Agatha pada ayahnya.
“Emang rahasia apa, Yan?” tanya Mahesa -ayah mereka- pada anak keduanya itu.
“Hah? Bukan apa-apa, Pa. Biar Agatha penasaran aja jadi aku bilang rahasia,” balas Bian berbohong, dalam hati ia merutuki apa yang sudah adiknya lakukan, kenapa jadi membawa-bawa dia padahal Agatha yang memang menyimpan rahasia.
“Oke rahasianya biarin dulu, sekarang kita sarapan nanti kalian terlambat,” ucap Mahesa kepada kedua anaknya.
Cantika sudah membawa masakannya, omurice yang menjadi andalannya. Omurice adalah telur yang isinya bisa bermacam-macam, kali ini ia memakai daging dan juga sosis sebagai isiannya. Mereka akhirnya mulai sarapan bersama.
**
Agatha sudah berada di dalam kelasnya, duduk menuggu teman-temannya datang sambil mendengarkan musik lewat earphonenya. Lagu dari salah satu penyanyi laki-laki yang malah terkenal di Indonesia. Jaz dengan lagu yang berjudul kasmaran.
Lirik dari lagu itu benar-benar menggambarkan bagaimana perasaan dia saat ini, yang tengah kasmaran pada sosok laki-laki yang tadi mengantarkannya ke sekolah, kepada Zidan.
Tak lama saat ia sedang larut dalam alunan suara merdu Jaz, ia merasakan tepukan di bahunya dan seseorang yang duduk di sampingnya.
Si kembar Karin yang tengah menatapnya denga alis yang naik turun seperti tatapan yang begitu menggelikan. Agatha pun mematikan lagu dari handphonenya dan melepas earphone yang sedari tadi melekat di telinga.
“Baru sampe, lo,” ucap Agatha pada Karin.
“Iya, dari tadi gue sampe. Waktu ada temen gue yang di anterin gitu ke sekolah sama cowok pake jaket item naik motor.”
“Rania mana?”
“Heh!! Nggak usah mengalihkan topik ya. Jelasin dulu, siapa tadi yang anterin lo? Gue lihat bukan kak Rian atau Kak Bian deh. Jangan .. Jangan ...”
“Apaan sih, jangan-jangan apa?”
“Jadi tadi yang cowok di toko roti itu. Zidan ya? bener kan?”
“Ya gitu deh.”
“Wess ... tepat sasaran tebakan gue, ciee ... Tata dia anterin sama cogan, cie ...,” ledek Karin membuat Agatha menjitak kepala sahabatnya itu. “Sakit dodol,” ringis Karin mengelus kepala yang tadi di jitak oleh Agatha.
“Abisnya, nyebelin lo. Berisik tau, anak-anak pada lihatin kita.”
“Hehehe ... sorry deh..”
“Oh iya, gue tadi nanya. Rania mana?”
“Biasa lah sama Kak Elvan.” Balas Karin yang sekarang memilih untuk duduk di kursinya sendiri di depan Agatha.
Agatha mengangguk, “Enak ya punya pacar satu sekolahan,” gumamnya masih bisa di dengar oleh Karin yang sekarang sudah kembali menatap Agatha.
“Sabar ya jomblo,” ledek Karin pada Agatha.
“Lo juga kali,” balas Agatha dan mereka tertawa bersama.
"Ada yang lucu ya?" Rania yang baru saja datang membuat tawa Agatha dan Karin terhenti.
Agatha dan Karin menggeleng kompak, kemudian kembali tertawa membuat Rania kebingungan dan hanya mengangkat bahu acuh. Lagi pula sudah biasa Agatha dan Karin seperti itu, jadi Rania memaklumi kembaran dan juga sahabatnya itu.
**
Agatha baru saja sampai di rumah, masih melekat seragam dan juga tas di punggung nya. Saat ini ia tengah merebahkan diri di atas sofa di ruangan keluarga.
Cantika yang melihat anak gadisnya masih menggunakan seragam sekolah berjalan dari arah dapur dan menghampiri Agatha.
"Ganti baju dulu," ucap Cantika.
"Nanti, Ma. Tata capek ni abis naik angkot gara-gara kak Bian," keluhnya sambil memejamkan mata.
Cantika menggeleng melihat anak gadisnya itu, "Kenapa bisa naik angkot. Emang kak Bian kemana?"
"Kerja kelompok, Ma. Padahal kan bisa anterin dulu adiknya gitu. Eh malah di suruh naik angkot. Nyebelin banget kan, Ma." Cantika terkekeh, sudah pasti Bian menjahili adiknya ini.
"Ya udah nanti Mama jewer kak Bian, enak aja suruh anak cantik Mama naik angkot. Sekarang kamu ke atas, mandi terus nanti makan siang. Mama udah siapin di atas meja makan ya."
"Beneran, Ma.? Yes!! Harus ya, pokoknya kak Bian jewer aja tu telinganya. Kalau gitu Tata ke kamar dulu," pamit Agatha pada ibunya. Kemudian dia melangkah menuju kamar untuk mandi dan berganti pakaian.
Siang ini memang matahari begitu terik membuat tubuhnya berkeringat, hal yang tak di sukai oleh Agatha. Dia harus segera mandi.