"Nye, kamu sakit?"
Royyan hendak menyentuh kening Anyelir saat gadis itu dengan reflek memundurkan wajahnya.
"Apa-apaan lo?! Cari kesempatan dalam kesempitan banget sih main pegang-pegang Anye!" Renata bangun dari duduknya dan mencubit lengan Royyan hingga membuat pria itu mengaduh.
"Apa sih, Re! Gue cuma mau mastiin Anye sakit atau engga!" sungutnya kesal.
Renata berdecih, "Engga usah ngeles! Lo emang cuma niat pegang-pegang Anye doang! Dasar cowok kardus," sanggahnya.
Royyan yang tahu ini akan jadi masalah panjang jika dia meladeni ucapan Renata, akhirnya memilih mengabaikan gadis itu dan kembali menatap Anyelir.
"Aku perhatiin dari tadi kamu banyak ngelamun, kamu beneran sakit?" tanyanya pada Anyelir.
Renata yang tidak terima diabaikan oleh Royyan, kembali berdiri dari duduknya dan hendak mencari masalah dengan pria itu lagi kalau saja Anyelir tidak menahan lengannya dan meminta Renata kembali duduk.
"Aku engga apa-apa kok, emang lagi ada yang dipikirin aja," jawab Anyelir. Dia memasang senyum tipis agar membuat Royyan yang menatapnya dengan khawatir itu menjadi sedikit tenang.
"Engga bisa cerita ke aku apa yang lagi kamu pikirin itu? Siapa tahu aku bisa bantu," ujar Royyan penuh perhatian.
Renata berdecih, dia rasanya ingin menyahuti ucapan pria itu namun dirinya sudah malas jika harus berdebat dengan Royyan. Maka yang ia lakukan hanya fokus pada makanannya dan pura-pura tidak mendengar obrolan dua orang itu.
"Bukan masalah besar kok. Makasih ya udah perhatian," ucap Anyelir sambil tertawa kecil.
Di depannya Royyan tersenyum malu-malu. Membuat Renata yang tadi sudah ingin mengabaikan mereka kini kembali bereaksi. Dia melempar sedotan miliknya ke arah Royyan.
"Jorok amat sih lo!" kesal Royyan. Dia balas melempar tisu bekasnya ke arah Renata.
Jelas saja Renata langsung melotot marah ke arah pria yang gencar mendekati Anyelir belakangan ini itu.
"Tingkah lo bikin gue geli! Ngapain senyum m***m gitu di depan gue sama Anye?" Renata menatap ngeri ke arah Royyan.
Sedangkan pria itu justru melongo mendengar tuduhan kejam dari Renata.
"Siapa yang senyum m***m? Wah..wah..lo jahat banget main asal tuduh begitu! Emangnya lo tahu senyum m***m itu gimana? Gue cuma tersanjung karena Anye menyadari perhatian tulus dari gue, mana ada bagian gue senyum m***m, hah?" tanya Royyan tidak terima.
Renata mencibir ucapan Royyan terang-terangan.
"Engga usah ngeles, gue lihat sendiri tadi!" katanya tidak mau kalah.
Tapi Royyan kekeuh berkata bahwa dirinya tidak seperti itu. Dia bahkan menanyakan pendapat Anyelir tentang senyum m***m yang diucapkan oleh Renata tadi, hal yang hanya dijawab gelengan pelan oleh Anyelir yang sudah mulai frustasi dengan kedua orang yang setiap hari menemaninya ini.
Dia sendiri tidak mengerti kenapa Renata selalu tampak tidak suka setiap kali Royyan mendekatinya, setiap Anyelir bertanya, temannya itu hanya menjawab jika berada di dekat Royyan tidak akan membawa kebaikan apapun untuk Anyelir.
Meski begitu, Anyelir tidak bisa mendorong jauh Royyan begitu saja karena lelaki itu tidak pernah bersikap aneh padanya. Royyan bahkan terbilang cukup baik dan merupakan satu-satunya teman pria yang Anyelir miliki.
Di tengah perdebatan yang masih berlangsung di antara Royyan dan Renata yang bahkan mengundang perhatian beberapa orang di kantin, mata Anyelir justru tertuju pada kaki yang menggantung di atas pohon. Pemandangan sepatu yang tampak lusuh itu lebih menarik minatnya dari pada ocehan Renata ataupun Royyan.
Kadang terlintas di otak Anyelir, rasanya ia juga ingin bisa duduk di atas pohon yang sekarang ditempati Januari itu. Ia ingin tahu, apa yang membuat pria itu betah setiap harinya berada di sana.
•••
Anyelir membasuh wajahnya beberapa kali.
Dia baru saja berpisah dengan Renata dan Royyan saat kembali dari kantin karena Anyelir merasa mengantuk dan berniat mencuci muka lebih dulu sebelum masuk kelas. Maka dari itu dia meminta Renata kembali ke kelas lebih dulu karena ternyata temannya itu lupa mengerjakan tugas bahasa Inggris yang seharusnya dikumpulkan sebentar lagi.
Ia mengerjapkan matanya pelan, membasuh muka sekali lagi sebelum akhirnya berniat keluar dari toilet saat tiga orang wanita masuk ke dalam dan menghalangi jalan Anyelir untuk keluar.
Entah karena sudah sering mengalami hal serupa di sekolah yang dulu, hanya dengan melihat ketiga wanita itu tersenyum miring ke arahnya sudah membuat Anyelir tahu bahwa hal buruk yang ia kira tidak akan ia dapati di sini akan terjadi sebentar lagi.
"Setelah dilihat dari dekat, ternyata engga secantik yang diomongin anak-anak. Cuma menang putih doang," nada suara menghina itu datang dari seseorang wanita yang sedang bersidekap di depannya.
Anyelir semakin waspada saat langkah kecil itu mendekatinya, tangannya berpegang pada wastafel di belakang tubuhnya dan berusaha tetap tenang meskipun nafasnya mulai terasa sesak.
"Iya, engga nyangka Royyan sampai mau buang-buang waktu buat deketin cewek macam dia! Dengar-dengar dia ini kaya, jadi pasti kulit putihnya ini karena dia rutin suntik kolagen," sahut wanita lain yang mengenakan pakaian olahraga yang berdiri di belakang wanita yang pertama bicara tadi.
Ini bukan hal baik. Anyelir tanpa sadar mengulang kejadian dulu yang sering ia alami di sekolah lamanya. Selalu seperti ini, dan saat dirinya tidak bisa melawan maka mereka akan semakin senang mengerjainya setiap hari.
Anyelir tidak menginginkan itu sama sekali, namun tubuhnya merespon dengan berlebihan hanya karena mendengar kata hinaan yang terlontar untuknya. Tubuhnya gemetar karena ketakutan, ia bahkan hampir tidak bisa mempertahankan pandangannya untuk tetap tenang.
"Lo tahu engga kalau banyak cewek di sekolah ini yang bermimpi buat deket sama Royyan tapi mereka engga bisa? Dan lo, yang baru aja pindah bisa langsung deket sama dia tanpa kesulitan! Bahkan dia duluan yang deketin lo, lo tahu kan sekarang apa salah lo?!"
Mata Anyelir reflek terpejam saat nada suara wanita di depannya itu naik satu tingkat. Ia sudah membayangkan akan ada rasa sakit ditubuhnya akibat dari tendangan, pukulan atau jambakan seperti biasa, namun hal itu tidak terjadi hingga dirinya memberanikan diri membuka mata.
"Ini cuma peringatan dari gue, kalau sampai lo masih deket sama Royyan lagi, gue engga akan pernah lepasin lo!" ancam wanita itu.
Kemudian setelah mereka bertiga berbalik dan meninggalkan Anyelir yang langsung jatuh terduduk di lantai.
•••
"Aku..mau pulang bareng lagi."
Januari menatap gadis yang berdiri canggung di depannya itu. Bahkan hanya untuk mengatakan hal seperti itu, Anyelir begitu tampak kesulitan hingga harus menunduk tanpa menatap ke arahnya sama sekali.
"Oke," jawab Januari pelan.
Barulah saat itu gadis di depannya mengangkat wajah dengan senyum lega.
"Aku beresin buku ku dulu," katanya lalu langsung berbalik ke arah mejanya.
Januari memperhatikan Anyelir yang terburu-buru memasukan semua barang miliknya. Sedangkan Januari yang sudah selesai, hanya duduk diam sambil menunggu Anyelir selesai dengan apa yang dilakukannya.
"Udah. Ayo pulang!" ajak gadis itu.
Januari langsung bangun dari duduknya, ia membiarkan Anyelir berjalan lebih dulu di depannya dengan dia yang mengikuti langkah Anyelir dengan pelan.
Matanya terus memperhatikan rambut coklat milik Anyelir yang bergoyang pelan seirama dengan langkah kaki gadis itu.
Dia tidak mengerti kenapa Anyelir beberapa kali terlihat mendekatinya lebih dulu. Entah karena Anyelir anak baru yang tidak tahu bahwa Januari dikucilkan atau memang hanya karena gadis itu yang takut pulang sendirian dan berpikir bahwa Januari bisa melindunginya seperti saat kejadian di hari pertama Anyelir pindah. Apapun alasannya, Januari tidak keberatan. Hanya saja dia takut Anyelir menjadi omongan teman yang lain kalau terlihat dekat dengannya.
"Kamu..ikut study tour?"
Januari menaikan sebelah alisnya saat menyadari Anyelir yang tadi berjalan di depannya, kini sudah beralih ke samping. Sejajar dengan dirinya.
"Kayaknya ikut," jawabnya.
Dia mengerutkan kening bingung saat mendapati Anyelir tersenyum lebar setelah mendengar jawabannya. Januari tidak tahu kenapa jawabannya itu sampai bisa membuat Anyelir tampak lega.
"Aku pikir kamu engga akan ikut," ujar Anyelir pelan.
"Karena saya anak pemulung dan kamu pikir saya engga akan bisa bayar uang studi tour nya?" tebak Januari.
Di sampingnya, Anyelir tampak menggeleng dengan wajah tersinggung.
"Dari pertama kamu selalu mikir buruk soal aku. Padahal aku kan engga pernah bilang macam-macam," keluh Anyelir.
Entah kenapa melihat raut kesal Anyelir itu membuat Januari merasa bersalah. Tapi yang dia lakukan justru hanya diam dan berjalan dengan tenang.
"Aku engga sempat bilang ini waktu itu, tapi sekarang aku mau bilang kalau waktu itu aku engga nguntit kamu buat ngolok-olok status kamu atau apapun. Mungkin kamu engga akan percaya, tapi aku juga engga ngerti kenapa waktu itu aku tiba-tiba ngikutin kamu. Aku cuma penasaran karena yang kamu lakuin di sekolah cuma diem, dan juga mungkin karena kamu udah nolongin aku jadi aku semakin penasaran," aku Anyelir.
Rasa gugup yang ia rasakan saat bersama Januari kali ini hilang, ia merasa kesal karena Januari selalu mengambil kesimpulan semaunya. Tapi Anyelir juga mencoba mengerti bahwa selama ini mungkin banyak hal berat yang diterima Januari hingga lelaki itu kesulitan untuk percaya pada orang lain.
Januari menoleh, tatapannya intens ke arah Anyelir yang masih mengeluarkan semua unek-uneknya. Gadis itu protes karena dirinya mengambil kesimpulan padahal tidak pernah berusaha memastikan. Januari merasa lucu, melihat wajah Anyelir yang biasanya selalu tampak gugup dan tidak percaya diri itu kini berubah dengan raut kesal dan ocehan panjang yang mungkin juga tidak disadari oleh Anyelir sendiri.
Namun dari semua itu ada hal yang membuat Januari terganggu, rambut Anyelir yang beberapa kali bergerak menutupi mata atau sebagian wajahnya karena tertiup angin, membuat Januari ingin melakukan sesuatu untuk menghentikannya.
"Kalau kamu mau sedikit aja percaya, pasti banyak kok orang yang sebenarnya engga mandang kamu dari--"
Perkataan Anyelir terhenti saat sebuah telapak tangan besar menyentuh wajahnya. Lebih tepatnya menyentuh rambutnya dan kemudian menyampaikan ke belakang telinga.
Anyelir tertegun, dia menatap Januari yang sepertinya juga baru menyadari apa yang dilakukannya. Lelaki itu terlihat salah tingkah dan kemudian langsung berjalan lebih dulu setelah mengatakan alibinya.
"Rambut kamu ganggu, mending diikat," gumamnya.
|||•••|||