8. Tentang seseorang

1554 Kata
"Laporannya gue kirim ke email lo ya, Vitt!" Vitta mengangguk sambil melambaikan tangan ke arah dua temannya yang berjalan menjauhi dirinya. Mereka baru saja selesai berkeliling pameran untuk tugas kuliah mereka. Kelompok yang diketuai sendiri oleh Vitta itu berisi hanya tiga orang, dan dua orang yang barusan pergi bertugas membuat kesimpulan dari masing-masing stand yang mereka kunjungi sebelum akhirnya disusun oleh Vitta menjadi bahan matang yang akan di aplikasikan lewat powerpoint. Ia merogoh ponsel dan baru saja menyadari bahwa ada satu pesan yang dikirim oleh Anyelir sebagai balasan dari pesan yang dikirim oleh Vitta sebelumnya. Vitta hanya mewanti-wanti agar Anyelir tidak ceroboh selama perjalanan pulang, dan balasan dari sepupunya itu mengatakan bahwa Anyelir sudah sampai di rumah dengan selamat. Vitta tersenyum, tiada hari tanpa dirinya mencemaskan Anyelir yang selalu terlihat lebih lemah dan tidak bisa memutuskan apapun sendiri. Tapi semenjak Anyelir pindah sekolah, Vitta beberapa kali memergoki Anyelir yang tersenyum saat melihat sesuatu di ponselnya. Hal yang sebelumnya belum pernah Vitta lihat. "Teh Vitta!" Vitta terlonjak kaget saat sebuah suara nyarinya meneriaki namanya. Ia berbalik dan tersenyum lebar saat menyadari siapa yang baru saja memanggilnya. "Getta! Engga nyangka bisa ketemu disini!" seru Vitta. Dia langsung merentangkan tangan hingga gadis yang kira-kira berusia dua belas tahun itu menubruk tubuhnya dengan pelukan erat. "Getta kangen banget sama Teteh. Kenapa engga pernah ajak Getta main lagi?" gadis itu cemberut, tapi tidak juga melepaskan pelukannya. Vitta tertawa pelan, tangannya bergerak mengusap rambut panjang dan hitam gadis kecil itu dengan lembut. "Maaf ya, Teteh sibuk banget," ucapnya. Getta sesaat menatap wajah Vitta sebelum akhirnya memasang senyum lebar. "Teteh makin cantik," puji nya. Vitta yang dipuji oleh Getta hanya tertawa sambil memasang wajah jumawa. "Iya dong, kan cantiknya udah di upgrade," katanya. Getta ikut tertawa mendengar ucapan dari Vitta. "Seru banget, sampe yang disini dicuekin." Suara berat namun lembut itu membuat senyum Vitta perlahan menghilang. Bodohnya dia yang melupakan satu fakta penting. Tidak mungkin Getta berada di tempat ramai seperti ini sendirian tanpa seseorang yang selama ini berlaku posesif pada gadis kecil itu. Ia bergerak mundur, mengurai sepenuhnya pelukan Getta hingga membuat gadis kecil itu menatapnya protes. "Aku engga nyangka bisa ketemu kamu disini," Gani tersenyum tipis, berpura-pura tidak menyadari bahwa Vitta jelas tidak senang bertemu dengan dirinya di tempat ini. Perempuan tomboi itu bersikap acuh, memilih menatap ke arah Getta sambil mengusap pipi anak itu pelan. "Teteh udah harus pergi, lain kali kita main bareng ya," katanya. Getta memasang wajah sedih, tangannya memegangi tangan Vitta yang sudah hendak berjalan menjauh. "Jangan pergi, Teh. Getta masih kangen, temenin Getta jalan-jalan dulu," pinta Getta memelas. Vitta ingin meneguhkan hatinya untuk tetap berbalik dan berjalan menjauh, tapi sebuah tangan lain yang ikut memegangi tangannya membuat tubuhnya tiba-tiba mematung. "Kali ini aja, kalaupun bukan buat aku, tolong lakuin buat Getta. Selama ini dia sering nanyain kamu, dia beneran kangen sama kamu, Vitta," Gani ikut memohon. Membuat Vitta merasa disini hanya dirinya yang jahat jika masih tetap memutuskan untuk pergi. Maka setelah beradu dengan akal sehatnya, ia akhirnya mengangguk dan menggandeng tangan Getta, sambil melepaskan tangan Gani yang tadi menahannya. Pria itu hanya bisa tersenyum miris sambil memandangi adiknya yang tersenyum lebar, berjalan dengan tangan yang terjalin erat dengan tangan halus milik Vitta. Dulu, hal seperti ini biasa terjadi pada mereka bertiga hampir setiap akhir pekan. Vitta, tidak pernah sekalipun mengeluh meskipun kencan di antara mereka selalu terganggu dengan Getta yang selalu saja memaksa ikut. Wanita tomboi itu justru menjadi yang paling perhatian pada Getta melebihi Gani sendiri, hal yang membuat Getta akhirnya begitu menyayangi Vitta dan menjadi yang paling terpukul saat akhirnya tahu bahwa Teh Vitta nya tidak pernah lagi berkunjung ke rumah. "Es krim! Aku mu itu ya!" Gani tersentak saat adik kecil yang kini tingginya nyaris sedada nya itu, menarik tangannya. Dua belas tahun bukan lagi usia anak-anak, tapi karena terlahir menjadi anak bungsu yang mendapat perhatian semua orang membuat Getta masih terlihat seperti anak berusia sembilan tahun. "Jangan banyak-banyak kalau engga mau dibawa ke dokter gigi lagi!" Gani memperingati adiknya. Getta mengacungkan jempolnya tinggi-tinggi kemudian menarik tangan Vitta untuk memesan es krim mereka di counter. Sedangkan Gani mengeluarkan dompet miliknya dan membayar pesanan milik kedua gadis yang berjalan bersamanya itu. "Kita cari bangku ya, engga mungkin makan es krim sambil jalan-jalan," usul Gani. Ia menatap ke arah Vitta tapi gadis itu justru melengos begitu saja. Gani menghela nafas pelan, dirinya menggandeng satu tangan Getta dan berjalan agak jauh untuk menemukan bangku yang bisa mereka duduki bertiga. "Apa penjelasan ku waktu itu belum bisa kamu terima?" tanya Gani pelan. Dia bisa melihat perubahan raut wajahnya Vitta yang langsung tidak bersahabat setelah mendengar ucapannya. "Apapun yang terjadi dulu, engga menutupi fakta kalau kamu engga bisa dipercaya," balas Vitta pelan. Rasanya Gani ingin langsung menyuarakan argumennya, tapi saat ini ia tidak bisa melakukan itu dengan adanya Getta di antara mereka. Maka yang bisa dilakukan Gani hanya menghela nafas berat sambil memandangi Vitta yang enggan memandangnya. "Aku engga akan nyerah sampai kamu mau maafin aku," gumamnya. ••• "Gimana sekolah baru kamu?" Anyelir harusnya mencari alasan untuk tidak bergabung bersama kedua orang tuanya seperti yang biasa ia lakukan selama ini. Namun keadaan tidak terduga terjadi, saat dirinya yang sedang makan malam sendirian tiba-tiba saja melihat kedua orang tuanya bergabung di meja makan. "Lebih baik dari sekolah sebelumnya," jawabnya pelan. Ia bahkan enggan mengangkat wajah untuk sekedar menatap ayahnya. Kadang ada perasaan iri jika melihat kedekatan antara Vitta dan kedua orang tuanya, tapi Anyelir bukan tipe yang denial atau pengkhayal. Dia sangat tahu posisi dan kejadian seperti itu tidak akan pernah ia alami dalam keluarganya. "Papa engga nyangka kalau kamu akan cocok di sekolah yang bahkan bukan taraf internasional," ujar Erlangga. Nada bicaranya terdengar tidak nyaman di telinga Anyelir. Sedangkan Maya, Mama Anyelir hanya menjadi pemerhati pembicaraan antara Ayah dan anak itu. "Seenggaknya di sekolah baru aku diperlakuin kayak manusia," balas Anyelir. Dia sebenernya tidak berniat menjawab ucapan sarkas dari ayahnya itu, tapi hatinya terasa kesal karena Ayahnya bahkan tidak perduli apa yang terjadi padanya di sekolah lama. "Bukannya itu cuma karena kamu engga bisa bergaul? Harusnya kamu kayak Vitta, yang selalu tampil percaya diri dan engga mudah ditindas. Dengan begitu, kejadian perundungan di sekolah lama kamu itu engga akan terjadi," sanggah Erlangga tidak mau kalah. Diam-diam, Anyelir mengepalkan tangannya di bawah meja. Ia tahu perbedaan antara dirinya dan juga Vitta, tapi mendengar Ayahnya sendiri yang membandingkan mereka membuat hati Anyelir merasa sakit. "Udahlah, Pa. Kita baru bisa makan bertiga lagi, kenapa sekarang malah harus bikin suasana jadi engga nyaman?" Maya yang sedari tadi diam akhirnya angkat bicara setelah melihat raut terluka di wajah anak gadis nya. Erlangga berdecak, dia kemudian memilih melanjutkan makan malamnya tanpa bicara apapun lagi. "Aku udah kenyang. Permisi," pamit Anyelir, meninggalkan makanan di piringnya yang masih tersisa banyak. Memang bukan ide bagus untuknya berada di satu ruangan dengan dua orang yang harusnya menjadi perisai hidupnya itu. Karena yang akan ia dengar hanya sindiran atau tuntutan yang tidak pernah bisa Anyelir terima. "Nye.. Nye!" Anyelir terkesiap saat bahunya di guncang dengan keras. Ia menoleh dan mendapati Renata sebagai pelakunya sedang menatap dirinya dengan kesal. "Gue capek manggil lo dari tadi! Lo ngelamunin apaan sih?" sungut gadis itu. Anyelir memandang sekitar, dirinya sedang berada di kelas sekarang. Tidak menyangka jika kejadian tadi malam akan mempengaruhi nya hingga pagi ini, dirinya bahkan sampai melamun di kelas. "Engga, cuma lagi mikirin sesuatu," kilahnya. "Ada apa emang?" tanya Anyelir kemudian. Renata menyodorkan sebuah kertas ke arahnya. "Formulir study tour, lo ikut kan?" tanyanya. Melihat secarik kertas dengan barisan hal-hal yang harus ia isi itu, membuat tubuh Anyelir meremang. Terbayang kejadian saat dirinya mengikuti camp di sekolahnya yang dulu, dan selama tiga hari dua malam Anyelir seperti hidup di neraka karena yang terjadi hanyalah dirinya yang dijadikan pesuruh dan masih harus menerima perlakuan kasar dari temannya. "Apa..ini wajib?" tanyanya pelan. Teman sebangku nya itu menjawab dengan mengangkat bahu. "Engga tahu sih, tapi biasanya yang ikut bakal dapat nilai tambahan," ujarnya. Anyelir termenung dengan hanya memandangi formulir itu. Dia tahu sekolahnya yang sekarang berbeda dari yang dulu, meskipun begitu tidak ada jaminan bahwa semua akan baik-baik saja. Di saat pikirannya sedang bimbang, atensinya segera teralih saat melihat sosok yang menemaninya pulang kemarin masuk ke dalam kelas. Pria tampan dan tinggi dengan balutan seragam sekolah yang kusam itu tampak berjalan melewatinya begitu saja. Bahkan Januari tidak menoleh ke arahnya sedikitpun. Tiba-tiba saja hatinya tergelitik untuk menanyakan sesuatu, bukan kepada Renata seperti biasanya, melainkan pada sumbernya secara langsung. Yang jadi masalah adalah, apakah Anyelir punya keberanian untuk melakukan itu pada pria yang bahkan hanya bicara beberapa kalimat saja setiap harinya? "Lah bengong lagi!" Anyelir buru-buru meraih formulir miliknya dan memasukan ke dalam tas saat Renata kembali berseru padanya. Ia kemudian memilih sibuk mengeluarkan buku pelajaran daripada menanggapi omelan Renata yang bahkan memaksanya untuk segera mengisi formulir pendaftaran. Padahal Anyelir ingin lebih dulu memastikan sesuatu sebelum ia memutuskan akan pergi atau tidak. Namun hal itu tidak bisa ia lakukan sekarang di depan Renata dan teman-temannya yang lain, akan terlihat aneh dan janggal kalau sampai Anyelir nekad melakukan itu. Anyelir menoleh ke arah belakang, ia terkejut saat matanya tidak sengaja bersitatap dengan Januari. Dengan gerakan cepat Anyelir langsung kembali menghadap depan dan memejamkan matanya. Dia bodoh sekali sampai bisa tertangkap basah memperhatikan Januari seperti itu. |||•••|||
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN