Lebih dari sebulan Anyelir sudah menjadi murid di sekolah barunya. Tidak banyak hal yang terjadi, hanya cekcok yang sering terjadi antara Renata dan juga Royyan setiap kali tidak sengaja bertemu. Renata masih kekeuh tidak mengijinkan Anyelir berada dekat dengan Royyan, sedangkan Royyan tidak pernah menghiraukan larangan dari Renata dan masih terus muncul di depan Anyelir setiap kali ada kesempatan.
"Lo kan lihat selama ini engga ada yang terjadi, Re? Anye masih baik-baik aja, engga kurang satu apapun. Masih cantik seperti sedia kala," Royyan tampak gemas dengan respon yang ditunjukan Renata.
Wanita itu langsung menarik Anyelir ke belakang tubuhnya begitu Royyan datang.
"Itu cuma keberuntungan Anyelir aja, bisa aja kan semua fans lo lagi ngatur strategi buat jahatin Anye?" tuduh nya.
Anyelir mengusap wajahnya frustasi, kedua orang di depannya ini berbicara seakan dirinya tidak ada disini.
"Udah, cukup ya! Aku engga ngerti kalian kenapa, tapi kayak yang Royyan bilang, selama ini engga ada hal yang terjadi kok, Re," sahut Anyelir.
Dia melihat tatapan tidak terima dari A Renata dan tatapan puas dari Royyan, namun sebelum terjadi keributan yang lebih membuat dirinya pusing, Anyelir akhirnya memutuskan untuk meninggalkan mereka berdua.
"Kalau kalian masih mau ribut, silahkan kalian lanjutin. Aku udah laper, mau makan," katanya lalu berbalik dan berjalan meninggalkan dua orang itu.
Renata membulatkan matanya tidak percaya.
"Lo gitu ya, Nye! Mentang-mentang sekarang udah berani ke kantin sendiri jadinya gue ditinggal gitu aja!" protesnya.
Anyelir melambatkan jalannya, senyum tipis muncul di wajahnya mendengar keluhan dari Renata yang terdengar lucu. Dia juga bisa mendengar langkah kaki yang mengikutinya, langkah kaki yang ramai, yang berarti mungkin Royyan juga mengikuti langkahnya.
"Kenapa lo ikutan? Lo sebagai ketua OSIS beneran engga ada kerjaan?"
Hanya helaan nafas yang keluar dari Anyelir saat perdebatan itu terjadi lagi antara Royyan dan Renata sepanjang perjalanan mereka menuju kantin.
Di langkah yang sudah akan berbelok ke kantin, Anyelir berpapasan dengan seseorang yang sudah tidak asing karena hampir setiap hari mengunjungi kelasnya.
Hari ini pun sama, Mega tampak berjalan membawa satu kotak bekal yang pastinya akan diberikan pada Januari. Walaupun hari ini agak terlambat karena biasanya wanita itu selalu memberikannya setiap pagi, dan sekarang sudah masuk istirahat pertama.
"Kak Mega setia banget sama cowok itu, engga diladenin tapi tetap bawain bekal juga," gumam Renata yang kini berjalan di samping Anyelir.
Anyelir menoleh ke arah Renata yang justru melirik ke arah Royyan dengan senyum menyeringai.
"Gue jadi inget kalau Kak Mega itu mantan lo kan, Yan? Apa jangan-jangan lo diputusin karena Kak Mega nya jatuh cinta sama Ari?" sindirnya.
Fakta itu membuat Anyelir cukup terkejut. Dia jadi teringat kejadian dimana menangkap adegan Royyan yang menatap datar ke arah Januari, jadi apa alasannya adalah karena Mega?
Terdengar decakan keras dari pria yang berjalan di samping kiri Anyelir itu.
"ngga usah sebar gosip yang engga-engga. Gue sama Mega putus baik-baik dan bukan karena siapa-siapa," bantah nya.
Tapi bantahan itu semakin membuat Renata sibuk menggodanya dengan berbagai ucapan yang berhasil membuat Royyan kesal.
Bahkan keributan itu berlangsung hingga mereka sudah duduk di meja kantin.
Anyelir mendesah berat, dirinya tidak berbuat apapun tapi terasa sangat lelah melihat Royyan dan Renata yang sibuk mencaci maki satu sama lain.
Ditengah rasa jengahnya, tanpa sadar matanya menoleh ke arah pohon yang selalu dikunjungi Januari saat jam istirahat. Dan ia terkejut saat melihat pria itu ada di sana, membaca buku seperti biasa.
Di benaknya, Anyelir menduga-duga. Apakah Januari tidak bertemu dengan Mega karena lelaki itu sudah lebih dulu pergi ke pohon? Kalau benar begitu, Mega pasti sangat kecewa karena tidak berhasil memberikan bekalnya pada Januari.
Ah. Tapi buat apa Anyelir memikirkan hubungan dua orang itu? Lagipula Mega kan bisa menghubungi Januari lewat pesan jika memang ingin bertemu. Tapi seingat Anyelir, selama dia satu kelas dengan Januari, dia tidak pernah melihat lelaki itu memainkan ponsel seperti teman yang lain.
Dengan segala rasa penasaran, Anyelir membuka ponselnya dan melihat ke arah grup chat kelas. Karena mereka sekelas, seharusnya Januari juga ada di dalam grup kan? Maka Anyelir mencoba mencari nomor yang kira-kira milik Januari, tapi tidak berhasil menemukan yang kira-kira adalah Januari.
"Re.." panggilnya pada Renata yang baru datang bersama Royyan membawakan pesanan mereka.
"Apa?"
Anyelir menyempatkan diri melirik ke arah Royyan yang sudah memakan batagor di piringnya.
"Di grup kelas, engga ada Januari?" tanyanya pelan.
Ia sempat melihat gerakan tangan Royyan terhenti sejenak sebelum akhirnya melanjutkan makannya.
Dia kemudian menoleh ke arah Renata yang mengangguk.
"Ari engga punya HP," jawabnya.
Anyelir hampir tidak percaya. Karena di jaman yang bahkan ponsel jauh lebih penting daripada dompet ini, masih ada manusia yang tidak memiliki ponsel.
"Beneran?" tanyanya.
Renata kembali mengangguk sambil menyendok ketoprak miliknya.
"Iya, engga percaya kan lo? Memang dia manusia primitif sih," katanya.
Anyelir terdiam. Betapa sulitnya jika hidup tanpa ponsel di jaman sekarang.
"Terus kalau ada pengumuman di grup, gimana cara dia bisa tahu?" tanyanya lagi.
Renata mengangkat sebelah alisnya, "Biasanya ketua kelas kita akan usahain engga ngasih pengumuman mendadak, jadi bisa dikasih tahu ke Ari sebelumnya."
Anyelir mengangguk pelan. Setidaknya di kelas mereka tidak ada perundungan atau sengaja membuat Januari tidak mengetahui perihal kegiatan kelas hanya karena tidak punya ponsel. Anyelir merasa bersyukur atas itu.
•••
Gue ada tugas musti ke pameran, Nye.lo pulang naik taksi ya!
Anyelir menghela nafas pelan saat membaca pesan yang baru saja dikirimkan oleh Vitta. Dia sebenarnya sebal, tapi tidak bisa marah karena Vitta juga cukup kerepotan karena harus mengantar jemput dirinya setiap hari sedangkan banyak tugas kuliah yang harus Vitta lakukan.
Jam pulang hanya tinggal sepuluh menit lagi, dan Anyelir bingung memikirkan bagaimana caranya pulang nanti. Dirinya memang pecundang, membayangkan akan naik taksi atau bus membuat dadanya berdebar gugup. Selama ini belum pernah sekalipun dia pulang menggunakan transportasi umum semacam itu.
Lalu saat jam pulang berbunyi, matanya dengan semena-mena menoleh ke arah Januari yang terduduk diam menyaksikan semua teman yang lain buru-buru memasukan buku ke dalam tas.
Di otaknya langsung muncul sebuah ide nekad, tapi sepertinya lebih baik karena tidak harus melakukan apa yang sebelumnya belum pernah ia lakukan. Maka setelah semua orang keluar dan Renata yang juga bergegas karena Abangnya sudah menunggu, dengan gugup Anyelir berdiri dan berjalan pelan ke arah meja Januari.
Kedatangannya itu langsung mendapat tatapan dingin Januari yang masih saja membuat Anyelir merinding.
"Januari..." panggil Anyelir pelan.
Lelaki yang duduk di depannya itu hanya menaikan sebelah alisnya, menunggu Anyelir berbicara.
"Boleh engga..aku pulang bareng kamu?" tanya Anyelir takut-takut.
Tidak ada jawaban apapun dari Januari, membuat Anyelir merasa sudah membuat pilihan yang salah. Namun begitu, ia masih ingin menjelaskan kenapa dirinya hendak pulang bersama Jamuari, agar pria itu tidak salah paham.
"Orang yang biasa jemput aku, engga bisa jemput hari ini. Dan aku..aku engga biasa naik transportasi umum," katanya gugup.
Kemudian Anyelir reflek mundur saat Januari di depannya tiba-tiba saja berdiri dan keluar dari mejanya.
Pria itu berjalan melewati Anyelir begitu saja.
Namun di langkahnya yang ketiga, pria itu berhenti dan menoleh ke arah Anyelir.
"Tunggu apa lagi? Katanya mau pulang?" tanyanya.
Anyelir langsung tersenyum lebar dan buru-buru mengambil tasnya lalu mengikuti langkah Januari.
Ia pikir Januari keberatan pulang bersamanya, tapi ternyata pria itu setuju juga.
Tidak ada apapun yang mereka bicarakan, mereka hanya berjalan begitu saja hingga keluar area sekolah. Anyelir menyukai keadaan yang tenang, karena dirinya tidak pandai membuka pembicaraan. Tapi bersama Januari, keheningan itu terasa tidak nyaman.
"Tadi pas istirahat, aku lihat Kak Mega yang bawain bekal. Kamu ketemu sama dia?" tanya Anyelir memberanikan diri.
Jeda beberapa saat karena Januari tidak menanggapi pertanyaannya. Tapi kemudian saat memasuki gang yang pernah Anyelir lewati, lelaki di sampingnya itu membuka suara.
"Saya udah minta supaya dia engga bagian bekal lagi, tapi tadi dia tetap bawain. Jadi saya tolak," jawaban itu disuarakan dengan nada pelan serupa gumaman.
Dan pertanyaan dari Anyelir berikutnya terlontar tanpa sadar.
"Kenapa?"
Membuat Januari berhenti berjalan dan menoleh ke arah Anyelir.
"Karena seharusnya memang begitu dari dulu," katanya.
Anyelir langsung menutup mulutnya saat Januari kembali berjalan.
Lalu lelaki itu berbalik ke arahnya dan bertanya.
"Apa kamu engga apa-apa kalau saya sambil mungutin botol-botol?" tanyanya.
Anyelir tersenyum dan mengangguk.
"Engga apa-apa," katanya.
Dengan jawaban itu Januari kemudian mengeluarkan kantong plastik besar dari tas nya dan mulai memunguti botol-botol bekas yang ditemuinya sepanjang jalan dan memasukan ke dalam kantong plastik yang dipegangnya.
Dan Januari terkejut saat sebuah tangan yang putih pucat dan tampak kecil itu tiba-tiba memasukan satu botol air mineral ke dalam plastik yang dipegangnya.
Ia menoleh dan menatap ke arah Anyelir yang memasang senyum lebar ke arahnya.
"Botol bekasnya banyak, kalau kamu sendirian yang ngambilin bakal lama. Jadi engga apa-apa kan kalau aku bantu?" tanyanya dengan memiringkan kepala.
Januari sempat terdiam hanya memandangi wajah cantik Anyelir dan rambut coklatnya yang panjang.
"Nanti tangan kamu kotor," cegahnya.
Tapi wanita cantik itu justru mengibaskan tangan dengan santai dan kembali mengambil botol bekas yang ada di dekatnya kemudian memasukan ke dalam kantong.
"Kan tinggal cuci tangan kalau kotor," jawabnya.
"Lagian bakal canggung kalau kita cuma jalan tanpa melakukan apapun," lanjutnya.
Kemudian mulai sibuk kesana kemari memunguti botol bekas sepanjang jalan.
Sedangkan Januari hanya bisa menatap wanita cantik, teman sekelas barunya yang selama ini jadi idola sekolah semenjak kedatangannya itu sedang membungkuk tanpa sungkan, memunguti botol bekas yang kotor dan kadang basah.
Membuat seulas senyum tipis muncul di wajahnya, menghargai kebaikan putri salju yang sering dipuja-puji semua orang di sekolah.
|||•••|||