Bel istirahat baru saja berbunyi saat Renata tiba-tiba bangun dari duduknya dengan wajah pucat dan keringat yang ada di wajahnya.
"Kenapa?" tanya Anyelir cemas.
Teman sebangku nya itu meringis sambil memegangi perutnya.
"Dari tadi gue sakit perut. Gue ke toilet dulu ya!" pamitnya buru-buru kemudian langsung berlari meninggalkan kelas.
Anyelir tersenyum tipis sambil menggeleng. Ia merasa bersyukur mendapat teman sebangku seperti Renata yang bersikap apa adanya di depan dirinya walaupun mereka baru mengenal. Tak sekalipun Renata terlihat berpura-pura baik atau semacamnya hanya untuk menarik perhatian, teman barunya itu bahkan tidak repot-repot menjaga image di depan Anyelir.
Anyelir memasukan buku pelajarannya ke dalam tas. Saat ia membalikan badan hendak mengambil tas miliknya yang tersampir di kursi, matanya tanpa sengaja melihat Januari yang duduk sambil menelungkupkan kepalanya di atas meja.
Butuh waktu beberapa detik hingga akhirnya Anyelir memutus tatapannya dan bergegas keluar kelas karena di dalam kelas saat ini hanya tersisa dirinya dan juga Januari. Tepat saat ia hendak bangun, seseorang yang berdiri di depan pintu kelas memanggil namanya dengan nada suara yang terdengar akrab.
Anyelir mengerutkan keningnya. Itu lelaki yang tadi pagi juga menyapanya. Siapa sebenarnya pria itu dan apa maksud dan tujuannya bersikap sedemikian akrab dengan Anyelir padahal Anyelir sendiri tidak mengetahui siapa lelaki itu.
"Aku pikir kamu udah ke kantin, ternyata keputusanku buat mampir ke kelas kamu itu keputusan yang tepat," ujarnya dengan senyum lebar.
Sebagai sopan santun, Anyelir mengangguk sekilas dengan senyum tipis.
"Ada apa ya?" tanyanya.
Lelaki di depannya itu tertawa renyah sambil menggaruk belakang kepalanya.
"Maaf ya, kamu pasti kurang nyaman karena aku sok akrab begini. Tapi aku memang pengen kenal dekat sama kamu. Kenalin, aku Royyan," katanya.
Royyan. Anyelir melafalkan nama pria di depannya dalam hati, dan tanpa gerakan yang mencurigakan dia memindai perawakan Royyan di depannya.
Royyan tidak buruk, bahkan mungkin bisa dibilang tampan dengan kulitnya yang kuning langsat dan alis tebal. Tingginya hanya berbeda sedikit dari tinggi badan Anyelir, itu berarti lelaki ini tidak begitu tinggi dibandingkan pria lainnya.
"Iya, aku Anye," ujar Anyelir pelan.
Entah kenapa dirinya tiba-tiba menoleh ke belakang, ke tempat Januari. Dan saat mengetahui bahwa pria itu sudah duduk tegak sambil menatap lurus ke arah dirinya berdiri, Anyelir mendadak menjadi gugup dan seakan telah berbuat salah.
"Maaf, Royyan. Aku harus pergi duluan, Renata nunggu aku," katanya.
Ia melihat Royyan yang kebingungan, pria itu bahkan tidak sempat menimpali ucapannya tapi Anyelir tidak ambil pusing dan langsung bergegas meninggalkan kelasnya dan berjalan ke arah toilet yang paling dekat.
Ini agak aneh, tapi tatapan yang diberikan Januari langsung membuat nyalinya ciut. Anyelir merasa mungkin ini karena kejadian kemarin sehingga tanpa sadar Anyelir merasa takut setiap bertatapan dengan Januari. Apalagi pria itu selalu saja melempar tatapan dingin yang tidak bersahabat sama sekali. Siapapun orangnya pasti akan merasakan apa yang Anyelir rasakan.
"Lah, lo mau kemana?"
Anyelir terkesiap saat tiba-tiba saja Renata sudah berdiri di depannya dengan tatapan bingung.
"Nyusulin kamu," jawab Anyelir.
"Ngapain nyusulin gue ke toilet coba? Lo kan bisa langsung ke kantin, kalau gue lama gimana?" Renata menggelengkan kepalanya heran.
Sedangkan Anyelir justru tersenyum salah tingkah.
"Aku kan cuma punya kamu sebagai teman, lagian aku engga berani ke kantin sendirian," cicitnya.
Renata menghela nafas berat. Benar juga apa yang dikatakan Anyelir, tapi tetap saja bagaimana jika perangnya di toilet memakan waktu lama? Masa iya Anyelir akan melewatkan istirahat pertama begitu saja hanya karena tidak berani ke kantin?
"Ayo deh kita ke kantin. Keburu abis jam istirahat," ajaknya sambil menggandeng tangan Anyelir.
•••
"Hai, Anye! Mau pulang kan?"
Renata menatap pria di depannya dan juga teman sebangkunya itu secara bergantian.
"Lo kenal Anye? Dan, Anye... Lo kenal Royyan?" tanya Renata penasaran.
Anyelir hanya meringis pelan. Ia tidak mengerti kenapa lelaki ini selalu muncul dengan tiba-tiba di hadapannya seharian ini. Padahal sebelumnya ia sama sekali tidak kenal dengan pria bernama Royyan ini.
"Kenal kok, baru tadi pagi kenalan," jawab Royyan santai.
Mata pria itu lalu menoleh ke arah Anyelir yang hanya berdiri diam.
"Iya kan, Nye? Kedepannya kita bisa jadi akrab kan?" tanyanya pada Anye.
Sebelum Anyelir sempat menjawab, terdengar decakan keras yang berasal dari Renata.
"OSIS engga ada kerjaan ya sampe ketuanya punya waktu buat godain anak baru?" sindirnya.
Tapi Royyan tidak terlihat tersinggung sama sekali. Pria itu justru tertawa sambil menatap ke arah Renata dan Anyelir bergantian.
"Bukan godain dong, Re. Gue cuma mau kenalan, masa engga boleh?" elaknya santai.
"Engga boleh! Bisa-bisa nanti Anye jadi target dari fans lo yang fanatik itu! Jadi lo jauh-jauh deh dari Anye, gue engga mau ya gara-gara lo temen gue jadi kenapa-kenapa!" hardik Renata sebal.
Anyelir pikir Renata hanya bercanda, tapi saat ia menoleh ke arah Royyan dan menilik ekspresinya, ia tahu bahwa apa yang dikatakan oleh Renata tadi benar-benar ancaman yang sesungguhnya.
"Lo tenang aja, Re. Gue sendiri yang akan pastiin Anye engga akan kenapa-kenapa," ujar Royyan. Tidak ada gurauan di nada suaranya seperti tadi, lelaki itu tampak mengucapkannya dengan serius.
"Engga tahu ah, pusing gue!" sungut Renata dengan muram, ia kemudian menoleh ke arah Anyelir yang hanya berdiri bingung.
"Lo mau pulang kapan, Nye? Dijemput kan? Gue udah mau pulang nih, Abang gue udah di depan," tanyanya.
Anyelir menatap layar ponselnya dan belum ada pesan apapun dari Vitta padahal sepupunya itu sudah berjanji akan menjemputnya hari ini.
"Yaudah kamu duluan aja. Jemputan ku belum datang," katanya.
Renata mengangguk, ia kemudian menoleh ke arah Royyan dan memberikan tatapan tajam.
"Jangan terlalu deket sama Anye. Awas lo!" ancamnya.
Royyan tertawa pelan sambil melambaikan tangannya ke arah Renata yang sudah bergegas pergi.
Sedangkan Anye hanya menatap canggung ke arah pria yang masih di depannya itu.
"Beneran dijemput? Aku bisa antar kamu pulang kok kalau kamu mau," tawarnya.
Tapi belum sempat Anyelir menolak, sebuah suara rendah dan dingin menginterupsi obrolannya dengan Royyan.
"Kalian ngehalangin jalan," katanya.
Anyelir merinding, dia melirik kecil ke arah Januari yang berjalan melewati mereka saat Anyelir menggeser tubuhnya ke samping. Ia lupa jika Januari akan jadi orang terakhir yang keluar dari kelas, dan kejadian tadi cukup membuat Anyelir merasa semakin seram setiap kali melihat Januari.
Ia juga tanpa sengaja mendapati ekspresi lain di wajah Royyan, bukan ekspresi ramah dan penuh senyum seperti yang selalu ditampakkan padanya, melainkan ekspresi datar yang baru pertama Anyelir lihat.
•••
"Sorry lama," ucap Vitta saat Anyelir masuk ke dalam mobilnya.
Anyelir hanya mengangguk sekilas dan sibuk mengenakan sabuk pengamannya. Pandangannya ia arahkan ke luar jendela saat mobil mulai melaju meninggalkan area sekolah.
"Gimana hari ini?" tanya Vitta, tangannya terulur menyalakan radio untuk memecah suasana sunyi karena ia paham betul Anyelir bukan orang yang pandai membuka pembicaraan.
"Lebih baik dari hari-hari sebelum aku pindah," jawab Anyelir pelan.
Vitta terdiam, dia merasa senang mendengar jawaban Anyelir tapi juga merasa sedih karena dulu dia terlambat menyadari tentang apa yang dialami Anyelir di sekolah lamanya.
Tapi diam-diam, dengan bantuan Gani, Vitta sudah melaporkan tindakan bullying yang dialami Anyelir itu ke sekolah lamanya. Dan dari kabar yang didapatnya, Orang-orang yang selama ini merundung Anyelir mendapatkan sangsi berupa skorsing selama satu minggu dan juga pengurangan poin budi pekerti yang akan berimbas pada nilai ujian semester nanti.
"Itu melegakan, seenggaknya gue engga harus liat lo babak belur lagi kayak waktu itu," timpal Vitta.
Mendengar ucapan sepupunya, Anyelir tersenyum tipis. Dia juga bersyukur tentang hal itu karena membayangkan tubuhnya ditendang dan rambutnya dijambak itu terasa sangat mengerikan, beruntung dia tidak memiliki trauma berarti yang membuatnya harus merasa ketakutan berlebihan saat mengingat kejadian itu.
"Lo mau belajar mobil engga? Tadi gue lihat ada tuh temen lo yang bawa mobil meskipun engga bisa parkir di gedung sekolah," tanya Vitta. Matanya melirik ke arah Anyelir yang masih memandangi jalanan.
Anyelir menggeleng pelan, "Engga usah. Ribet," katanya.
Vitta berdecak, "Ya tapi kan engga bisa setiap hari gue jemput lo. Tadi aja gue hampir engga bisa jemput karena harus ngadep Profesor, dan gue juga engga terlalu suka lo pulang pakai taksi. Kurang aman buat lo," keluhnya.
Anyelir terdiam. Dia juga kurang merasa nyaman jika harus pulang menggunakan taksi, tapi lebih tidak nyaman lagi jika harus menggunakan supir pribadi seperti apa yang dilakukannya di sekolah lama. Kalaupun harus jalan kaki seperti kemarin, itu terlalu mengerikan karena bukan hanya akan bertemu preman tapi juga bisa saja berpapasan dengan Januari karena jalan yang dipakai sama.
"Nanti aku belajar naik motor aja," ucapnya tiba-tiba.
Vitta membelalakan matanya kaget. Dia benar-benar terkejut dengan apa yang dikatakan Anyelir, tapi untungnya dia tidak sampai menginjak rem secara tiba-tiba seperti di film-film.
"Lo yakin? Motor itu rodanya dua, lebih gampang kalau lo mau belajar mobil daripada motor," Vitta sungguh tidak setuju dengan usulan gila sepupunya itu.
Tapi Anyelir malah tidak menjawab dan memilih menatap keluar jendela.
Ia sendiri juga sama tidak yakinnya, tapi berangkat sekolah dengan menggunakan motor lebih terlihat normal daripada harus berangkat menggunakan mobil. Itu hanya akan membuat Anyelir menjadi pusat perhatian karena setahunya hanya beberapa orang saja yang datang menggunakan mobil dan itu pun harus parkir di tempat lain karena pihak sekolah tidak mengizinkan siswanya membawa kendaraan pribadi beroda empat itu.
"Atau mungkin aku bisa naik bus. Seenggaknya bus lebih aman karena banyak orang," gumam Anyelir.
Yang langsung ditolak Vitta mentah-mentah.
"Gila! Ramai sih ramai, tapi kemungkinan ada copet di dalam bus itu besar banget!" protesnya. Ia kemudian menggaruk kepalanya dengan kesal, "Udahlah gue aja yang jemput, emang engga ada jalan keluar lain," katanya menyerah.
Anyelir hanya tersenyum geli diam-diam melihat Vitta yang gusar hanya karena memikirkannya.
|||•••|||