Bagi Anyelir, hari biasa saja sudah terasa sangat berat baginya berangkat sekolah seperti orang normal. Apalagi setelah ada kejadian memalukan kemarin saat dia kepergok mengikuti Januari diam-diam, yang semakin membuat dirinya uring-uringan sejak bangun dan berusaha keras memikirkan cara agar hari ini tidak menjadi hari yang mengerikan baginya.
Sempat terpikir untuk tidak masuk sekolah, tapi bagaimana mungkin itu ia lakukan di hari keduanya menjadi siswa baru di sekolah barunya itu. Ia tidak ingin mendapatkan masalah yang akan membuat dirinya mengalami hal buruk lagi untuk kesekian kalinya, maka setelah menguatkan hati akhirnya Anyelir pasrah dan menyerahkan apapun yang terjadi nanti pada Tuhan dan keberuntungannya.
Bergegas ia bersiap berangkat sekolah dengan mengenakan seragam dan mengecek kembali buku pelajaran yang akan ia bawa hari ini. Di rumahnya, tidak ada rutinitas seperti keluarga normal yang biasanya mengadakan sarapan bersama diselingi dengan obrolan hangat antar anggota keluarga. Yang ada hanya pembantu rumah tangga nya yang sibuk menyiapkan sarapan untuk kedua orangtuanya yang akan makan dengan tablet atau ponsel di salah satu tangan mereka. Itulah yang membuat Anyelir lebih suka tidak mengikuti acara sarapan itu dan memilih makan seadanya dengan membeli sarapan di perjalan menuju ke sekolah.
"Nih bekal buat lo. Lo pasti belum sarapan kan?"
Anyelir menyengir lebar, menerima kotak bekal yang disodorkan oleh Vitta untuknya.
"Kamu memang paling tahu deh soal aku," pujinya.
Vitta mendengkus, tangannya memutar kunci dan menyalakan mobilnya untuk mengantar Anyelir ke sekolah.
"Nanti pulangnya gue jemput ya! Lo jangan berani-beraninya pulang jalan kaki!" ancamnya.
Anyelir yang sedang menyantap nasi goreng buatan tantenya itu hanya mengangguk pelan. Lagipula ia sudah tidak punya nyali lagi untuk pulang jalan kaki dengan resiko bertemu dengan preman kemarin ataupun kepergok Januari lagi.
"Dan kalau ada hal yang engga beres kayak di sekolah lo yang dulu, jangan pernah berniat sembunyiin dan nanggung semuanya sendiri. Paling engga lo harus cerita sama gue karena secara engga langsung gue lah yang bertanggung jawab atas kepindahan lo ke sekolah baru," Vitta memperingati dengan nada serius. Ia tidak mau kalau sampai Anyelir kembali mengalami kemalangan.
"Iya, aku akan cerita ke kamu kalau aku di bully lagi," janji Anyelir.
Vitta mengangguk pelan.
"Lagian gue heran, biasanya orang di bully tuh karena jelek atau dari keluarga yang engga berada. Ini, lo malah di bully karena lo terlalu cantik dan terlalu kaya. Apa engga lucu itu namanya?" katanya heran.
Tapi Anyelir hanya mengangkat bahunya acuh. Dia sendiri juga tidak mengerti kenapa teman sekolahnya dulu melakukan itu dengan alasan karena mereka tidak menyukai wajah Anyelir dan kulit Anyelir yang putih pucat sehingga membuat Anyelir paling mencolok. Ditambah mereka tahu bahwa Anyelir berasal dari keluarga kaya raya sehingga mereka memanfaatkan itu untuk membuat Anyelir membawakan semua yang mereka minta. Bodohnya, Anyelir tidak pernah punya keberanian untuk melawan.
"Lo nya juga harus bisa bela diri dong! Apa susahnya lo dorong mereka yang jahat sama lo sampai jatuh atau lecet sedikit, biar mereka engga ngeremehin lo," Tiba-tiba nada sudara Vitta terdengar begitu kesal.
Anyelir bahkan bisa melihat binar kekesalan itu dengan jelas di mata sepupunya.
"Aku bukan kamu, Vit. Kalau setelah aku dorong terus mereka lebih nekad lagi gimana? Mungkin kalau itu terjadi sama kamu akan beda ceritanya, tapi aku..aku engga punya keberanian buat ngelakuin lebih dari itu. Berapa kali pun aku coba, aku ngerasa kalau aku engga akan menang lawan mereka," jawab Anyelir. Dia tahu dirinya terlalu pengecut, namun itu lah yang kenyataannya. Tidak mudah baginya untuk memiliki keberanian seperti Vitta, sepupunya.
Vitta melirik sekilas ke arah Anyelir setelah mendengar ucapan sepupunya itu. Anyelir tampak menatap keluar jendela dengan tatapan sedih yang jelas terlihat, membuat Vitta hanya bisa menghela nafas berat dan berharap semoga di sekolah Anyelir yang baru, sepupunya itu tidak akan mendapatkan hal yang sama dengan yang didapatkannya sebelumnya.
•••
Anyelir memilin tali tasnya dengan gelisah. Sudah hampir sepuluh menit ia sampai di depan kelasnya tapi dirinya tidak berani untuk melangkah masuk.
Yang ada di kepalanya adalah, bagaimana caranya menghadapi Januari kalau sampai mereka berpapasan atau beradu pandang. Perkataan dingin yang ditunjukan Januar padanya kemarin, membuat dirinya kesal sekaligus merasa bersalah. Ia tidak menyalahkan Januari yang berkata demikian padanya, karena entah kenapa Anyelir mengerti bahwa selama ini pasti banyak yang menjadikan status Januari yang hanya seorang anak pemulung sebagai candaan atau bahkan bahan bully an. Sehingga Januari sama seperti dirinya, kehilangan respek pada orang-orang sekitar tanpa mau repot-repot mencari tahu apakah orang itu baik padanya atau tidak.
"Hai, kamu kayaknya anak baru yang populer itu ya?"
Anyelir berjengkit kaget saat sebuah suara berat terdengar begitu dekat dengannya. Ia langsung menoleh dan reflek munduk saat melihat seorang pria tinggi sedang tersenyum ke arahnya.
"Sorry, kamu pasti kaget ya? Aku cuma mau nyapa kok. Soalnya tadi engga sengaja lewat dan lihat kamu, dan kalau aku engga salah tebak kamu pasti murid baru yang banyak diomongin anak-anak itu," ujar pria itu.
Anyelir hanya terdiam dengan ekspresi kaku. Dia tidak tahu siapa pria itu dan juga tidak mengerti bagaimana harus menanggapi perkataannya barusan.
Karena hening yang canggung terjadi cukup lama, pria di depannya itu akhirnya hanya tertawa sambil menggaruk belakang kepalanya.
"Kayaknya aku beneran bikin kamu kaget ya sampai kamu engga ngomong apa-apa? Kalau gitu aku pergi dulu, semoga nanti kita punya kesempatan buat ngobrol lebih nyaman lagi," katanya.
Lalu ia berjalan menjauh setelah melambaikan tangan dengan gaya akrab kepada Anyelir. Sedangkan Anyelir malah menghela nafas lega setelah kepergian pria itu.
Ia kembali menoleh ke dalam kelas, sedari ia berdiri tadi sudah banyak teman sekelasnya yang datang dan bahkan menyapanya. Itu membuat Anyelir menyadari bahwa tidak seharusnya ia hanya berdiri diam dan sibuk memikirkan apa yang harus dilakukannya terhadap Januari, toh mereka berada di satu kelas sehingga pasti akan berpapasan juga. Anyelir hanya perlu bersikap seakan-akan tidak pernah ada yang terjadi pada mereka.
Dengan mengambil nafas dan menghembuskan nya, Anyelir akhirnya melangkahkan kaki masuk ke dalam kelas. Namun baru beberapa langkah, tubuhnya terdorong sedikit saat seseorang juga memasuki kelas dengan langkah cepat.
Anyelir menoleh, mendapati seorang siswi berambut pendek sebahu yang berjalan masuk dan menghampiri meja Januari yang ada di paling belakang. Orang itu bahkan tidak merasa bersalah karena sudah menyenggol Anyelir dan juga tidak menoleh sedikitpun. Tapi Anyelir tidak ambil pusing, ia juga langsung berjalan ke arah mejanya yang masih kosong. Renata belum datang rupanya.
"Bekal buat kamu!"
Seruan itu membuat Anyelir reflek menoleh ke belakang dan melihat wanita yang tadi menabraknya itu nenyerahkan kotak bekal berwarna hijau ke arah Januari.
"Makasih."
Dan ucapan terimakasih itu diucapkan oleh Januari dengan ekspresi yang datar-datar saja.
Anyelir langsung kembali menoleh ke depan. Di otaknya berputar berbagai asumsi tentang wanita itu dengan Januari. Dia yakin Renata berkata bahwa banyak orang yang menjauhi Januari karena Januari adalah seorang anak pemulung, tapi jika melihat ekspresi yang ditunjukan oleh wanita yang memberikan bekal bagi Januari itu membuat Anyelir menebak kalau perempuan itu pasti punya perasaan khusus untuk untuk Januari.
Kemudian beberapa saat kemudian Anyelir melihat perempuan itu berjalan keluar dari kelas mereka. Hal yang membuat Anyelir kemudian menoleh ke arah Januari karena penasaran dengan apa yang akan dilakukan pria itu setelah wanita yang tadi memberinya bekal itu pergi.
O-ow! Anyelir nyaris berdecak kagum begitu melihat Januari langsung membuka kotak bekal tadi dan melahap isi di dalamnya. Nasi goreng yang terlihat tidak jauh berbeda dengan nasi goreng yang Anyelir dapat dari Vitta tadi, namun Anyelir yakin rasanya nasi goreng miliknya akan lebih enak dari buatan wanita tadi.
Anyelir langsung memalingkan wajah saat tiba-tiba Januari balas menoleh ke arahnya tadi. Tatapan dingin lelaki itu selalu membuat Anyelir merasa seperti rusa yang berhadapan dengan singa, menakutkan.
"Anye! Ternyata lo datang duluan!" seru Renata yang baru saja datang.
Anyelir tersenyum sambil mengangguk.
"Iya, baru aja kok," jawabnya.
Renata kemudian duduk di bangkunya setelah lebih dulu meletakan tas. Teman baru Anyelir itu sempat menoleh juga ke arah Januari sebelum berdecak pelan.
"Dia dapat bekal sarapan lagi," gumamnya.
Anyelir yang mendengar itu, langsung menoleh ke arah Renata dengan kening berkerut.
"Maksud kamu siapa?" tanyanya penasaran.
Renata mengedikkan dagunya ke arah Januari yang masih fokus dengan sarapannya.
"Ari. Itu pasti bekal dari Kak Mega, tiap hari tuh cewek bawain bekal buat Ari. Udah kayak istrinya aja," katanya pelan.
Oh.. Jadi wanita yang tadi di menabraknya itu bernama Mega. Tapi kalau tidak salah dengar, tadi Renata memanggilnya dengan sebutan 'Kak', itu berarti wanita tadi kakak kelas mereka?
"Cewek yang ngasih bekal buat Ari, kakak kelas kita?" tanya Anyelir langsung.
Renata mengangguk dengan pasti.
"Setelah ada kejadian dulu, semua orang jauhin Ari. Kecuali satu orang, dan orang itu adalah Kak Mega. Semua orang tahu kalau Kak Mega suka sama Ari, tapi lo lihat sendiri gimana kepribadian Ari yang kaku kayak es kutub utara itu. Walaupun begitu, Kak Mega hebat banget karena engga pernah nyerah," bisik Renata. Dia tidak ingin mengambil resiko kalau sampai Januari mendengar dia membicarakan pria itu diam-diam.
Dari semua ucapan Renata, ada kalimat yang membuat Anyelir tampak penasaran.
"Kejadian apa?"
Sayangnya, rasa penasaran yang muncul dari ucapan Renata itu tidak ia dapatkan jawabannya karena tidak lama setelahnya seorang guru lelaki memasuki kelas mereka. Guru yang baru Anyelir ketahui bernama Ramdan dan merupakan guru Fisika kelas dua di jurusan IPA.
Maka yang bisa Anyelir lakukan hanya mencuri tatap ke arah Januari yang sudah duduk dengan tenang mendengarkan pelajaran.
|||•••|||