Saat otak ingin berkata tidak dan hati berkata iya,
Maka yang menang adalah otak, karena hati selalu menerima kekalahan
-Nabila Ainun Hikmah
Seorang pria bertuxedo hitam sedang mengamati keramaian kota Jakarta dari ruangannya. Kedua tangannya terlipat di d**a, berdiri angkuh tepat di depan dinding kaca. Helaan nafas kasar berhasil keluar dari hidung dan mulutnya, sesekali berdecak kesal. Nama pria itu Kenaan Ardiwijaya, seorang CEO di perusahaan AI Group. Baru beberapa bulan yang lalu Kenaan mendapatkan gelar sarjana, dan hebatnya Kenaan sudah menjadi CEO di sebuah perusahaan AI Group. Siapa yang tidak mengenal AI Group? Perusahaan besar yang bergerak di bidang pangan. AI Group membuat makanan ringan kemasan, tahan lama dan terjamin kualitasnya. Berbagai jenis dan merek sudah dikeluarkan oleh perusahaan AI Groups. Logo AI Groups tertera di belakang kemasan, sering kali masyarakat tidak tahu menahu siapa pencetus makanan yang mereka makan. Ya tentu saja mereka tidak tahu menahu, yang mereka tahu 'makanannya enak'.
Mengapa Kenaan bisa secepat itu menjadi CEO di perusahaan besar? Jawabannya karena ayah Kenaan pemilik perusahaan tersebut. Alasan simpel dan juga logis. Kenaan mengancam ayahnya. Kalau Kenaan tidak diberikan posisi yang menggiurkan, ia tidak akan pernah mau bekerja. Watak Kenaan keras kepala dan tak terbantahkan, karena itu ayahnya tidak bisa menolak permintaan anak kandung semata wayangnya itu.
Hari-hari Kenaan yang semula abu-abu kini berubah menjadi penuh warna. Semenjak kehadiran ibu dan adik tirinya, hidup Kenaan berubah menjadi lebih menyenangkan. Kenaan selalu memberi semangat dan motivasi pada adiknya. Kasus bullying yang menimpa adiknya, membuat adiknya menginginkan kesempurnaan. Dengan senang hati, Kenaan membantu adiknya. Kenaan bisa memotivasi orang tapi tidak dengan dirinya sendiri. Sikap baik, sopan dan lembut adik tirinya membuat Kenaan sadar dan ingin berubah menjadi lebih baik lagi. Kadang Kenaan bingung, apa ia sudah mencintai adiknya sendiri? Atau hanya sekadar sayang seperti menyayangi antar saudara?
"Kenaan," panggil seseorang membuat Kenaan membuyarkan lamunannya.
Kenaan berbalik, menatap malas pada orang yang baru saja datang ke ruangannya. "Kenapa Pah?"
"Kenapa-kenapa! Kamu tuh niat kerja gak si?!" omel Aditya-ayah Kenaan.
Kenaan berdecak. "Yaudah, Kenaan gak usah kerja aja."
"Ken! Kamu tuh, udah bukan anak kecil lagi! Lama-lama Papa jodohin juga kamu!"
Kenaan memandang sang ayah datar. Ayahnya selalu saja mengancamnya dengan kata sakral itu, sampai telinganya benar-benar muak mendengarnya. Aditya berkacak pinggang, merasa menang dalam perdebatan. Membuat Kenaan bungkam itu mudah, cukup ucapkan saja satu kata sakral itu.
"Kalau jodohnya kayak Jingga gak papa, Pah."
Mata Aditya sontak melotot, memukul lengan Kenaan keras. "Dia adik kamu! Kalau kamu—"
"Kan, Kenaan bilang, kayak Jingga! Bukan Jingga!" potong Kenaan ketus.
Sering memotong ucapan orang adalah hobi Kenaan. Aditya sering kali menasihatinya agar menjaga sopan santun terhadap orang tua atau siapa pun itu. Tapi tak bisa, Kenaan adalah Kenaan yang keras kepala. Berbicara dengan Kenaan sama saja berbicara dengan dinding.
"Ya sudah, Papah ingin mengingatkan! Jangan sesekali mencintai Jingga. Itu adikmu, sayangi dia layaknya kamu menyayangi saudarimu sendiri." Setelah mengatakan hal itu, Aditya pergi dari ruangan Kenaan dengan wajah kesal.
"Kalau hati berkata lain, bagaimana?" tanya Kenaan pada dirinya sendiri. Ia mengedikkan bahunya acuh, mencoba tak peduli.
***
Kenaan menghalangi wajahnya menggunakan telapak tangan, ketika sinar matahari sore menyorot ke arahnya. Sore ini Kenaan ingin menjemput Jingga di rumah mantan pacarnya. Merasa geram karena Jingga masih berhubungan dengan mantan pacar, padahal jelas-jelas dia sudah disakiti berulang kali. Kenaan tidak tega melihat Jingga menangis dan bersedih, rasanya begitu menyakitkan. Ia tidak peduli bagaimana sikap adiknya nanti, yang terpenting sekarang adalah membawa adiknya pulang. Walau ia harus menggunakan cara paksa untuk membawa adiknya pulang, maka ia akan melakukannya.
Setelah Kenaan diberi izin masuk oleh pemilik rumah, barulah Kenaan masuk dan mencari-cari keberadaan adiknya. Pemilik rumah mengatakan kalau Jingga sedang mengobrol di tepi kolam renang. Tanpa basa-basi lebih lama lagi, ia langsung menghampiri Jingga. Nyaris saja suaranya terbuka, berniat memanggil nama adiknya. Tiba-tiba seorang wanita datang menghadang dan menyeretnya, menjauh dari area kolam renang.
"Kamu kakaknya Mentari ‘kan?" Kenaan mengangguk, awalnya Kenaan bingung dengan nama Mentari, tapi sedetik kemudian ia baru ingat nama panjang adiknya yaitu Jingga Mentari. Jarak antara Kenaan dan wanita itu cukup dekat, membuat Kenaan merasa risi.
"Sedikit menjauh dariku bodoh!" Kenaan mendorong wanita itu agar sedikit menjauh darinya.
"Ganteng-ganteng ngomongnya kasar. Jaga atuh lisannya, gak boleh ngata-ngatain orang bodoh. Nanti kamu sendiri yang bodoh!" sakras wanita itu. Terdengar jelas sekali logat Sunda-nya.
Kenaan mengerutkan dahinya. Baru menyadari kebodohan dirinya telah bersikap tidak sopan pada seorang wanita. "Maaf. Saya ke sini mau menjemput adik saya," ucap Kenaan sopan.
"Kamu teh, kenapa kayak gak suka gitu sama Adnan? Keluarga ini udah kenal lama banget sama Mentari sedangkan kamu baru kenal udah ngatur-ngatur." Ya Adnan, nama mantan pacar Jingga adalah Adnan.
"Lama? Tapi hanya sebatas kasihan bukan?" ejek Kenaan. Ini soal adiknya, ia tidak terima jika adiknya terus-menerus disakiti.
"Jaga mulutnya atuh! Kami bukan kasihan sama Mentari. Kami udah anggap dia kayak keluarga kami sendiri. Kamu teh, salah paham!"
Kenaan berdecak kesal. "Minggir! Saya mau menjemput adik saya."
Wanita itu menggeleng keras, merentangkan kedua tangannya menghalangi jalan Kenaan. "Saya mohon sebentar lagi, ya. Adnan teh orangnya baik, dia gak mungkin nyakitin pacarnya. Kamu jangan suka ngatur-ngatur dia, kasian atuh," nasihat wanita itu.
"Gak!" tolak Kenaan ketus.
"Mau makan padang gak, Kang? Di depan? Enak banget tau, makan yuk. Jarang-jarang ada cewek secantik saya ngajak makan kayak gini."
Kenaan mendelik jijik, berpura-pura tak menyetujui argumen wanita itu soal 'cantik'. Sejujurnya, Kenaan mengakui bahwa wanita itu cantik. Wajah tirus, hidung mancung, kulit putih, bodi ramping dan rambut panjang berwarna cokelat bergelombang. Dia benar-benar sempurna di mata Kenaan.
"Cantik," cibir Kenaan, "tapi boleh juga. Malam ini saya ada party di rumah teman. Kau mau ikut? Kalau kau ikut saya gak akan memaksa Jingga pulang."
Kenaan mengajak wanita itu bukan karena Kenaan tertarik dengan wanita itu. Ia sudah bosan diejek oleh teman-temannya karena sampai saat ini, Kenaan masih mendapatkan gelar 'Jomblo sampe tua'. Setidaknya jika ia mengajak wanita ini, mereka tidak terlalu mengejeknya. Anggap saja wanita ini akan menjadi pacarnya nanti.
"Hah?" beo wanita itu tak percaya. Mulutnya sedikit terangkat saking tidak percayanya.
"Kalau enggak juga gak papa." Bukan masalah jika wanita ini menolak, toh kesepakatan ini tidak merugikan pihaknya.
"OKE! Tapi jangan malem-malem ya!" sela wanita itu menyetujui. Kenaan sedikit menarik sudut bibirnya, membentuk senyuman tipis.
"Ya. Bilang ke Jingga kalau saya pulang duluan. Jam 7 saya jemput. Thanks." Setelah mengatakan itu, Kenaan pergi meninggalkan wanita berlogat Sunda itu yang sedang kebingungan.
Kenaan suka melihat kekesalan wanita itu. Rasanya menyejukkan hati ketika mendengar suara dia. Kenaan menggeleng pelan, kenapa ia memikirkan wanita yang baru saja ia temui? Dia biasa saja, tidak menarik dan bukan tipenya. Banyak wanita cantik di luaran sana, tapi kenapa harus wanita ini?
Kenaan mengusap wajahnya gusar. "Ayo Kenaan. Kamu cuma ngajak party, bukan kencan!”