2. Bunga Edelweeis

1453 Kata
Malam pun tiba, sebelum jam 7 Kenaan sudah berada di rumah wanita itu. Kenaan menunggu di ruang tamu, ditemani oleh seorang wanita paruh baya berambut hitam sebahu. Kenaan sangat yakin kalau wanita paruh baya itu adalah orang tua dari wanita yang menghadangnya tadi. Dari wajah, Kenaan sudah bisa menebak-nebak keduanya memang lumayan mirip. Ternyata salah, tebakan Kenaan meleset. Wanita paruh baya itu tantenya. Hal terbodoh yang pernah Kenaan lakukan semasa hidupnya, ia mengatakan 'anak tante' dengan sangat percaya dirinya. Kenaan merasa malu, rasanya ia ingin menghilang saja dari bumi. Tak lama kemudian, wanita berlogat Sunda itu muncul. Dia tersenyum ke arah Kenaan, senyuman manis yang membuat Kenaan salah tingkah. Seketika suasana menjadi hening, suara ketukan high heels menjadi fokus pendengaran. Malam ini, wanita itu tampil dengan sangat memukau. Dress di bawah lutut berwarna biru tua dengan pita berukuran sedang di sisi pinggang. Sepatu high heels berwarna hitam, rambut bergelombang dibiarkan lurus dan tas selempang, benar-benar cocok dipakai oleh wanita itu. Seketika Kenaan terpesona akan kecantikan dia. Wanita itu melangkah bagai seorang model berjalan di red carpet. Kenaan benar-benar dibuat gugup. "Umi ... Bila pergi dulu ya," pamit wanita itu sopan, mencium punggung tangan tantenya. Kenaan mengaruk tengkuknya, mencoba untuk melepaskan rasa gugup. Ia juga mengikuti apa yang wanita itu lakukan, mencium punggung tangan tante dari wanita itu. "Saya izin membawa keponakan Tante, ke luar sebentar. Saya janji, saya akan membawa keponakan Tante pulang dalam keadaan selamat," ucap Kenaan sopan. "Iya, Tante percaya sama kamu. Ya sudah hati-hati ya," balasnya sambil tersenyum. "Kalau gitu, Assalamualaikum," ucap wanita itu keluar dari rumah, diikuti dengan Kenaan. "Waalaikumsalam." *** Suara lagu dari radio mengalun merdu mengiringi perjalanan mereka ke pesta. Malam ini, jalanan kota tidak terlalu ramai. Suara bising knalpot bajaj atau klakson kendaraan, memecah kedamaian kedua insan. Keduanya diam, entah dari Kenaan atau pun wanita berlogat Sunda itu. Di balik diamnya Kenaan, ternyata ia sedang mencari-cari topik pembicaraan. Terdengar suara penyiar radio tengah berbicara dengan asyik. Tak lama, lagu berjudul 'cinta luar biasa' dari Admesh Kamaleng terputar. Terimalah lagu ini, dari orang biasa... Tapi cintaku padamu luar biasa, Aku tak punya bunga, Aku tak punya harta, "Tapi cintaku padamu luar biasa, tulus padamu." Kenaan dan wanita itu saling bertatapan setelah kompak menyanyikan potongan lirik lagu. Kenaan langsung mengalihkan pandangan dan kembali fokus mengemudikan mobilnya. Jantungnya berdegup dengan sangat kencang. Suara merdu dan lembut itu, sudah bisa membuatnya gila. Nabila terdiam, menahan suatu gejolak aneh dalam dirinya. "Kamu teh kenapa ikut-ikutan saya nyanyi?!" ketus wanita itu, matanya berkilat penuh amarah. Kenaan berdecak. "Bukannya kamu yang ikut-ikutan saya?" Wanita itu diam, tak menggubris ucapan Kenaan. Dia mengalihkan tatapannya ke jendela mobil, memandang jalanan dari samping. "Nama kamu siapa?" tanya Kenaan penasaran. "Gak punya nama!" sahutnya ketus. "Oh, mau saya kasi nama?" Wanita itu diam, tak berniat untuk menyahut. "Edelweeis?" "Bunga?" Kenaan mengangguk. "Kenapa harus Edelweeis? Kenaan mengedikkan bahunya acuh. "Gak tau." "Karena cantik dan langka ‘kan? Akhirnya kamu teh mau ngaku juga," tebaknya dengan sangat percaya diri. "Sebutin nama kamu! Kalau gak saya akan panggil kamu Edelweeis!" "Gak papa saya dipanggil Edelweeis." "Oke, saya panggil kamu Bila." Wanita itu mendengus kesal. "Kalau kamu tahu nama saya, kenapa pake nanya?" "Jadi nama kamu Bila?" "Iya. Nama saya teh, Nabila Ainun Hikmah. Kamu bisa panggil saya Nabila atau Bila," jelasnya memperkenalkan diri. "Kalau kamu? Ken—Ken apa tuh saya lupa. Si Mentari pernah kasi tahu saya." "Kenaan Ardiwijaya. Panggil saja saya Kenaan." "Oh Kenaan. Galak ya sama Mentari?" "Siapa bilang?!” "Menurut saya sendiri sih. Abisnya teh, kamu ngekang Mentari banget. Ini gak boleh, itu gak boleh, terus sinis banget sama adek sepupu saya. Kamu teh ada dendam sama Adnan?" cerocos Nabila tiada henti. Kenaan terdiam sejenak, ia baru menyadari kalau Nabila adalah kakak sepupu pacar adiknya. Ia menghela nafasnya panjang, melirik Nabila sekilas. "Adik kamu udah nyakitin adik saya! Saya sebagai kakak gak terima dong. Coba balikin posisinya, gimana? Kamu bakal kayak saya ‘kan?" "Saya bakal diam, ngebiarin adik saya nyelesaiin masalahnya." "Itu artinya kamu gak sayang sama adik kamu!" sakras Kenaan. "Saya sayang kok! Karena itu, saya biarin nyelesaiin masalah dia sendiri," balas Nabila sinis, "gak kayak situ, yang suka ikut campur masalah orang." "Kamu nyindir saya!" "Kalau iya kenapa?!" Kenaan diam menenangkan keadaan. Jika ia kembali menyahut, suasana akan kembali runyam dan berisik. Ia tidak suka keributan. Nabila ikut terdiam, pandangannya tertuju ke depan. Nabila sesekali melirik ke arah Kenaan, dia benar-benar terlihat menyeramkan sekarang. Diam dan dingin, suasana mencengkam tanpa pembicaraan atau pun suara dari radio. Nabila berharap dalam hati, semoga mereka cepat sampai di tempat tujuan. *** Setelah sampai di tempat pesta, Kenaan dan Nabila turun dari mobilnya. Sejak pertengkaran beberapa menit yang lalu sampai detik ini, Kenaan masih diam. Nabila melirik Kenaan, ia merasa tak nyaman berada di tempat asing. Pesta ini berlokasi di rumah bukan hotel atau bar, tapi—ia merasa sangat asing sekali berada di tempat ini. Nabila menggosok-gosok telapak tangannya, mengurangi rasa gugup yang sedari tadi menyerangnya. Ia menggigit bibir bawahnya pelan. Merapalkan keyakinan di dalam hati bahwa ia akan pulang dalam keadaan baik-baik saja. Beberapa orang menyambut kedatangan Kenaan dengan pelukan dan bertos ria. Sepertinya mereka sahabat dekat Kenaan, buktinya Kenaan tampak bersemangat setelah melihat mereka semua. Nabila diam, berpikir apa yang harus ia lakukan. Entah kenapa ia berharap kalau Kenaan akan mengenalkannya pada teman-temannya tapi tunggu! Memangnya siapa dirinya? "Wow Kenaan! Dia siapa?" tanya seorang lelaki sebaya dengan Kenaan memandang Nabila kagum. Baru saja Kenaan ingin menjawab, seseorang menarik Kenaan menjauh dari Nabila. Sungguh, keadaan seperti ini adalah keadaan yang paling Nabila benci. Nabila benar-benar mengutuk Kenaan, bisa-bisanya dia mengajak dirinya ke tempat asing seperti ini. Ia melirik ke arah Kenaan sebentar, dia sedang asyik minum alkohol bersama teman-temannya. Brengsek! Satu kata untuk Kenaan. Puluhan makian tersimpan dalam hatinya. Tak berani untuk mengeluarkan makian tersebut karena, keluarganya mengajarkan untuk tidak berbicara kasar kepada siapa pun. Ia menggigit bibir bawahnya pelan, memberanikan diri menatap teman-teman Kenaan yang menatapnya penuh nafsu. Mereka juga menampakkan adegan mesra dengan kekasihnya. Refleks matanya menutup, melihat hal menjijikkan. "Nama kamu siapa?" Nabila tersenyum kikuk. "Perkenalkan nama saya teh Nabila Ainun Hikmah, kalian bisa panggil saya Nabila," ujar Nabila memperkenalkan diri. Tidak lupa dengan logat khas Sunda yang amat sangat terdengar dan kental. Mereka terdiam, sedetik kemudian mereka tertawa terbahak-bahak. Kening Nabila berkerut, hatinya bertanya-tanya 'apa ada yang lucu?' Sampai membuat mereka tertawa seperti itu. "Kalian kenapa tertawa ya? Saya kenapa?" tanya Nabila bingung. Mereka diam, menghentikan tawanya. Mereka saling bertatapan lalu kembali tertawa. "Cantik si, tapi—kampungan hahahaha." "Siapanya Kenaan? Kayaknya Kenaan gak punya sodara kampungan kayak gini deh." "Ndre, coba contohin gimana cara ngomong dia?" Nabila terdiam, menatap datar mereka. Hinaan serta candaan mereka terdengar sangat jelas di telinganya. Dari pihak satu ke pihak lainnya, tertawa terbahak-bahak sampai mereka lelah. Nabila hanya bisa diam menyaksikan penghinaan. Bolehkah ia pergi sekarang juga? Bolehkah ia menghilang saat ini juga. "Kenaan mungut di mana ya, hahaha. Dulu bokapnya mungut orang sekarang anaknya pula, emang—" "Dia pacar gue," potong seseorang membuat semua tatapan tertuju pada orang itu termasuk Nabila. Dia Kenaan, dia merangkul Nabila dan menarik Nabila agar ia mendekat. "Gue baru tahu, mulut kalian sebusuk ini. Mulut sampah! Sini cepet! Kalian hina keluarga gue! Kalian hina pacar gue!" Semuanya bungkam. Kenaan tertawa sinis, ia melangkah ke salah satu temannya. "Ini beneran gak ada yang mau ngomong? Padahal tadi gencar banget ngehina pacar gue. "Zico! Ngomong!" bentak Kenaan mendorong bahu Zico. d**a Kenaan naik turun, kedua tangannya mengepal. "Kalian pikir! Setelah gue dapet keluarga baru, gue akan jinak? Dan gak akan bisa kayak dulu lagi huh?" Kenaan menggelengkan kepalanya pelan kemudian berdecak. "Salah Bro, gue akan jauh lebih liar saat kalian berani-berani ngehina keluarga dan pacar gue." "Maaf K-Ken. Gue bener-bener gak bermaksud. Gue cuma bercanda tadi," jelas Zico ketakutan. Nabila menelan saliva kasarnya. Kenaan benar-benar emosi sekarang. Nabila ketakutan, tangannya sedikit bergetar. Entah ia harus senang atau bagaimana sekarang, melihat Kenaan marah membuatnya syok. "Sekarang gue minta lo bercanda di depan gue! Sekarang! Kalian semua!" pinta Kenaan dingin. Semuanya diam, tak berani berbicara. "Payah! Pengecut! b******n! Sekarang juga kalian minta maaf atau— siapkan hati dan mental kalian untuk mendapatkan hadiah besar dari gue." Karena ancaman dari Kenaan, secara bergantian mereka semua meminta maaf pada Nabila. Nabila bingung, sebenarnya Kenaan itu siapa? Kenapa teman-teman dia takut pada Kenaan? Masih dalam keadaan syok, tiba-tiba Kenaan menariknya ke dalam pelukan hangat Kenaan. Mencium keningnya lama lalu mengusap rambutnya. Salahkan saja hati Nabila yang tak bisa menolak perlakuan hangat Kenaan malam ini. Kenaan peduli, dia baik—jauh dari apa yang Nabila bayangkan tadi. "I am sorry, Edelweeis. Saya akan mengganti malam ini dengan malam kebahagiaan," bisik Kenaan tepat di telinga Nabila.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN