Setelah pergi dari acara party Kenaan membawa Nabila ke suatu tempat. Keramaian serta suara bising orang-orang mengobrol, sama sekali tak Kenaan hiraukan. Di sinilah mereka berdua berada, di pasar baru-Jakarta Pusat. Entah alasan apa yang Kenaan punya sampai-sampai dia membawa Nabila ke tempat seperti ini. Sedari tadi, Kenaan hanya diam. Diam-diam tangan Kenaan meraih tangan Nabila lalu menggenggamnya. Nabila refleks menoleh, jantungnya tiba-tiba berdebar-debar.
"Di sini ramai, takut hilang," ucap Kenaan dengan santainya. Sebelah tangannya menggenggam tangan Nabila, sebelahnya lagi masuk ke dalam saku celana. Kenaan menggenggam tangan Nabila seperti sedang bergenggaman tangan bersama anak kecil. Lembut, kecil dan dingin.
Lelucon Kenaan memang gila. Nabila menggerutu dalam hati, bagaimana bisa seorang gadis berumur 20 tahunan hilang di tempat ini? Kalau pun hilang, Nabila bisa pulang sendiri. Biasanya Nabila akan mengomeli dengan ceramah panjang bak seorang ibu mengomeli anaknya, tapi tidak, Nabila hanya diam tak berkomentar sedikit pun.
"Saya minta maaf Nabila ... saya— saya membawamu ke tempat yang salah," kata Kenaan sendu. Suaranya berhasil menghanyutkan Nabila dalam khayalan singkat sebelum lamunannya benar-benar buyar.
Nabila menggeleng pelan. "Kamu gak salah. Saya yang salah, karena saya kamu jadi bentak-bentak mereka."
"Mereka memang pantas dibentak." Kenaan tersenyum miring. "Mereka benar-benar b******n. I am sorry, saya sempat mengaku-ngaku sebagai pacarmu."
Nabila terenyuh, tanpa sadar senyumannya terbentuk. Selama hidupnya ia tidak pernah merasakan kehangatan seperti ini. Semua keburukan yang diceritakan oleh adik sepupunya tiba-tiba hilang. Semuanya tergantikan oleh pikiran positif.
"Saya gak keberatan. Makasih ya, saya kira kamu gak bakal peduli," balas Nabila. "Hm ... saya teh mau tanya. Memangnya suara saya teh kampungan banget ya? Kamu mikir kayak gitu juga gak? Haduh saya ini emang malu-maluin." Nabila menutup wajahnya, ia merasa bodoh.
"Hanya orang bodoh yang ngatain kamu kampungan. Saya pikir kamu itu unik, saya suka kamu ngomong dengan logat Sunda yang begitu kental. Kamu tidak perlu ngubah diri kamu, menurut saya kamu sudah perfect."
Lagi dan lagi, Nabila merasa terharu. Selalu ada kehangatan tiap kalimat yang terlontar dari mulut Kenaan. Kenaan menghentikan langkahnya, membuat Nabila ikut menghentikan langkahnya juga. Nabila menatap Kenaan bingung, ternyata dia sedang menatap ke arah toko baju.
"Masuk dulu yuk," ajak Kenaan menarik lengan Nabila untuk masuk ke dalam toko baju.
"Kamu mau beli sesuatu?"
"Ya."
"Beli apa?"
Kenaan mengambil sebuah jaket berwarna Dull pink dengan bulu-bulu di sekitar tudungnya. Mata Kenaan menyipit, menatap ke arah jaket dan Nabila secara bergantian. Nabila mengernyitkan dahinya bingung. "Menurut kamu jaket ini bagus gak?"
"Kamu? Pink? Kamu mau pake jaket pink?" tanya Nabila dengan nada mengejek.
"Siapa bilang?" tanya Kenaan kakinya melangkah mendekati Nabila. Sangat dekat, dekat sekali sampai embusan nafas Kenaan terdengar sekali di telinga Nabila. Tatapan mata keduanya bertemu, memadukan irama degupan jantungnya. Ketika wajah Kenaan semakin mendekat, mata Nabila refleks menutup.
Kenaan tersenyum tipis, ia memakaikan Nabila jaket yang ia pilihkan tadi. "Berharap saya nyium kamu ya?"
Nabila membuka matanya, mengalihkan tatapannya ke arah lain. Pipinya memerah, betapa malunya ia sekarang. Nabila pikir tadi— Kenaan akan menciumnya. Sungguh, betapa kotornya otak Nabila sekarang.
"Kalau kamu mau, saya bisa menciummu sekarang," canda Kenaan.
"Apaan sih! Saya bukan cewek murahan! Saya cuma— cuma refleks aja tadi," elak Nabila masih tak berani menatap wajah Kenaan.
"Saya cuma bercanda Nabila."
Nabila terdiam, ia menyadari kalau jaket yang dipilih Kenaan masih setia menempel di tubuhnya. "Kamu mau beliin saya jaket ini?"
"Iya. Ini malam, cuacanya pasti akan lebih dingin nanti. Kalau saya berikan jas saya ke kamu, nanti saya juga kedinginan," kata Kenaan.
"Saya gak berharap kok, kamu ngasih jas kamu buat saya atau—beliin saya jaket."
"Saya cuma ngasih hadiah ke kamu. Memangnya kamu gak mau nerima?"
"Tapi kamu ‘kan baru kenal sama saya."
"Memangnya kalau mau ngasih harus kenal lama? Kalau gitu...," ucapnya menggantung," kamu mau jadi teman saya? Sejujurnya, saya sangat takut menyangkut soal pertemanan. Entah kenapa, saya sangat yakin kalau saya bisa berteman baik denganmu."
***
Setelah Nabila menerima ajakan pertemanan Kenaan. Kenaan mengajak Nabila ke salah satu tempat makan bakmi yang terkenal di Jakarta. Tempatnya masih berlokasi di pasar baru. Kenaan menarik lengan Nabila ke kursi kosong. Padahal sudah malam tapi tempat ini masih ramai pembeli.
Nabila duduk dengan perlahan, kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri. "Kamu udah pernah ke sini? Kayaknya kamu hafal banget."
"Pernah ke sini sama Jingga."
Nabila mengangguk-anggukan kepalanya. "Oh ... enak banget ya? Sampe rame gini."
"Menurut saya sih enak, tapi gak tahu menurut kamu kayak gimana. Coba aja nanti," jawab Kenaan sambil membuka layar Handphonenya.
Seketika, keadaan menjadi canggung kembali. Kenaan sekarang sibuk dengan Handphonenya sementara Nabila sibuk menatap sesuatu hal yang tak penting, misalnya sekumpulan keluarga besar sedang asyik menyantap bakmi. Ia menggigit bibir bawahnya, tiba-tiba dadanya bergemuruh. Merasa sedih, sesak dan sakit di satu waktu. Setetes air mata lolos begitu saja, sesegera mungkin, Nabila menghapusnya. Tidak lama, pesanan mereka berdua datang. Kenaan mematikan Handphonenya, menatap ke arah Nabila bingung.
"Kamu sedih?" tanya Kenaan peka melihat situasi dan kondisi Nabila.
Nabila mendongkak lalu tersenyum tipis. "Saya gak papa."
"Sorry tadi saya membalas pesan papah saya dulu. Kamu pasti merasa kesepian," ucap Kenaan merasa bersalah.
Nabila menggelengkan kepalanya cepat. "Bukan! Saya gak masalah soal itu ... Saya teh, cuma sedih aja, gak bisa kumpul-kumpul sama keluarga lagi."
"Memangnya keluarga kamu ke mana?"
"Keluarga saya di Bandung. Saya ke sini cuma liburan, semingguan lagi saya teh pindah lagi ke sana."
"Kamu masih kuliah?" tanya Kenaan sambil menyendokkan sambal ke mangkuknya.
"Iya saya teh, masih kuliah. Baru semester 6. Kalau Kenaan sendiri?"
"Saya sudah bekerja."
"Oh ... saya berarti gak sopan ya manggil Akang teh pake nama. Maaf ya," kata Nabila merasa bersalah.
"Gak Bila. Panggil saya Kenaan aja jangan Akang."
"Tapi Kang," sela Nabila.
"Kenaan Nabila," koreksi Kenaan.
"Eh, yaudah, terserah kamu aja. Kalau gitu saya makan ya?" Kenaan tersenyum lalu mengangguk. "Bismilah."
Keduanya makan dengan hikmat tanpa bersuara sedikit pun. Diam-diam Kenaan menatap Nabila makan. Nabila yang sangat sempurna di matanya, Nabila yang sudah memikat hatinya. Kenaan sedih, karena Nabila sebentar lagi akan pulang ke daerahnya. Sebenarnya rasa apa ini? Kenapa ia sangat marah ketika ada orang mengejek dia? Kenapa ia takut kehilangan? Dan—kenapa perasaan seperti ini timbul di dalam hatinya? Tapi ia bersyukur karena perasan seperti ini didedikasikan untuk orang lain bukan adik tirinya.
"Bolehkan saya mengenalmu lebih jauh Nabila?" gumam Kenaan masih menatap Nabila.
"Ha?" Kaget Nabila menghentikan aktivitas makannya. "Kamu ngomong apa, Ken?"
Kenaan menggeleng. "Enggak. Saya gak ngomong apa-apa kok."
"Oh, yaudah atuh."
"Hm ... Bila?"
"Ya?"
"Kalau kamu saya ajak jalan lagi mau?" tanya Kenaan pelan-pelan, sedetik kemudian berdehem singkat. "Kamu jangan ke geer-an dulu ya. Saya mau ngajak kamu karena saya suka jalan-jalan sama kamu."
"Gimana mau jalan, saya seminggu lagi ‘kan mau pergi."
"Seminggu jalan-jalan sama saya mau?"
"Huh? A-apa?"
"Oke, terima kasih jawabannya."
"Sinting!”