Jumat malam, Angga mengajak Attar dan Costa berkumpul di apartemennya setelah mereka mengisi perut di sebuah restoran. Dalam rencananya, Angga ingin bermain Grand Turismo terbaru dengan salah satu di antara mereka. Boys will be boys. Ia masih menggemari aneka permainan PlayStation yang digandrunginya sejak remaja.
"Orang gila mana yang nekat ngajak nikah perempuan yang baru dia temui satu kali tanpa background check?" sembur Attar setelah pintu di belakangnya tertutup.
Setelah mendengarkan cerita Angga tempo hari di telepon, sungguh Attar tidak mengerti. Bisa-bisanya Angga nekat mengajak perempuan itu—Angga bilang namanya Elara—ke pelaminan. Pertemuan pertama mereka di arena bersepeda kurang mengenakkan. Masih lekat di kepala Attar raut jutek Elara yang tidak mau disalahkan atas tindakannya yang berbelok sembarangan, malah masih sempat meneriakkan sumpah serapah yang membuat kuping Attar kepanasan.
Apakah sepupunya berpikir pernikahan sebercanda itu? Apakah nasib Angga sengenes itu dalam mencari belahan jiwanya? Tiba-tiba saja Attar merasa kasihan kepada Angga. Santer terdengar kabar dari adiknya, nasib Angga semakin apes setelah berkenalan dengan Tante Niken. Namun demikian, akal sehatnya masih tak bisa menerima. Kok, bisa?
Angga membuka dua kancing teratas kemejanya. "Ngomel melulu," katanya tenang, tidak terpengaruh dengan omelan Attar.
"Gimana nggak ngomel? Tindakan Mas itu nggak masuk akal. Logika Mas lagi salto, ya? Malu sama gelar, Mas. Jauh-jauh kuliah ke Amerika ngapain aja? Nitip absen?" omel Attar lagi.
"Life is simple, Attaruna. You make choices and you don't look back," kata Angga mengutip perkataan Han Lue dalam film Tokyo Drift. Terkait omelan adik sepupunya itu, ia memilih tidak ambil pusing.
"Tapi seenggaknya, sebelum ngajakin dia nikah, Mas cek dulu nomornya di Get Contact, siapa tahu dia pernah open BO."
"Astaga!" Costa mendelik memperingatkan Attar. Costa memang tidak menyetujui tindakan Angga yang menurutnya gegabah, namun ia tidak sefrontal Attar dalam menyampaikan keberatannya. Sikap tenang dan aura Angga membuatnya sungkan.
"Who knows, kan, Mas? Masuk akal, nggak?" Attar berbalik menatap Costa. "Siapa tahu juga dia buronan debt collector."
"Dia ndak punya hutang." Angga mengusap ponselnya, diam-diam membuka aplikasi Get Contact. Beberapa detik kemudian, ia menyeletuk, "Aman, Dek. Elara ndak pernah open BO," ucapnya dengan polosnya.
Attar merebut ponsel Angga, membaca tag yang disematkan satu persatu. Dari tag yang tanpa sengaja menunjukkan kredensial seseorang tersebut, ia bisa tahu pekerjaan Elara berkutat di bagian keuangan. Tidak ada yang aneh. Namun, semakin ia menggulir ke bawah, ia menemukan sesuatu.
"My Honey? Mas beri nama kontaknya kayak gini?" cecar Attar.
Angga menggeleng.
"Mungkin mantannya," celetuk Costa
"Bisa jadi," timpal Angga tak acuh. "Kalau kamu ndak suka Elara, ya, lusa kamu ndak usah ikut, Dek," kata Angga teringat jadwal keluarganya di hari minggu yang hendak bersilaturrahmi ke rumah orang tua Elara.
Bila merunut silsilah dalam kekerabatan Jawa, seharusnya Angga memanggil Attar dengan sebutan Mas, meskipun dirinya yang terlahir lebih dahulu. Namun, berhubung Attar lahir dan besar di Jakarta, panggilan kekerabatan tersebut seakan-akan tergerus zaman yang kian berubah. Sewaktu kecil Angga pernah disuruh ayahnya memanggil Attar dengan sebutan Mas, tetapi akal sehatnya tak bisa menerima. Mengapa ia harus memanggil Mas kepada bayi yang baru saja nongol ke dunia?
"Siapa juga yang mau ikut? Om Rama bilang cuma kalian yang ke sana," Attar mendengus. "Lagian besok pagi aku ke Surabaya. Udah dua bulan nggak ketemu Retha."
Giliran Angga yang mencebik mengejek nasib Attar yang berhubungan jarak jauh dengan pacarnya, Aretha.
"Ya, baguslah kalau kamu ndak mau ikut," gumam Angga saat tersadar kehadiran Attar nanti bisa mengacaukan rencananya. Mengajak Attar kongkalingkong pun terlalu riskan. Anak itu tidak akan mau bekerjasama kalau tidak jelas logikanya dan apa keuntungannya.
"Tapi Attar benar lho, Mas. Kok, bisa-bisanya, sih, satu kali ketemu langsung ngajak nikah?" timpal Costa terheran-heran.
Angga mengangkat bahu, merasa tak punya kewajiban menjelaskan apa pun pada Costa dan Attar. "Ndak tahu, saya merasa cocok aja."
"Mas kayak nggak tahu aja gimana ribetnya berurusan sama perempuan. Apalagi Mas belum kenal karakternya malah main nikah aja." Attar geleng-geleng kepala, lalu melanjutkan, "Rara Kumar bilang—"
"Rara Kumar itu siapa?" potong Costa.
"Komedian asal Singapura, Retha suka nonton dia di Youtube. Kumar bilang, women are like dolls. If you're lucky, you get barbie doll. If you're unlucky, you get Annabelle. Jadi, dia di kategori mana, Mas? Barbie doll atau Annabelle?" kata Attar melirik Angga.
Bukannya menjawab, tawa Angga malah menyembur hebat. "Lucu tenan kowe, Dek," ucapnya di sela tawa, sembari memegangi perutnya.
Costa ikut tertawa terbahak-bahak.
"Lagipula, tadi Mas bilang adiknya Mbak Elara ini—eh dia lebih tua dari aku, kan?"
"Hmm."
"Adiknya pilot pesawat tempur. Kalau Mas berani macam-macam sama kakaknya, habislah Mas dikasih bom Napalm sama adiknya."
"Iya kalau Mas aja yang dibom. Ini bakalan satu kota yang kena," timpal Costa menakut-nakuti. "Anak saya masih kecil-kecil, Mas."
"Aku juga belum nikah, Mas."
Namun, Angga malah dengan polosnya mempertanyakan status senjata kimia yang pernah dipakai dalam perang Vietnam tersebut. "Bukannya penggunaan bom Napalm udah dilarang, ya?"
"Yo ndak tahu, kok, tanya aku?" Attar mendelik sengit.
"Satu lagi," kata Costa. "Setelah nikah itu, nungguin perempuan kelar dandan aja bisa sambil nyelesain tesis, Mas."
"Mbuhlah, Mas," sahut Angga. "Jalani aja."
"Malam Jum'at dia suka pura-pura tidur."
Angga terbahak. "Ya, bangunin dong."
"Mana tega?"
Angga mengeluarkan stick PS dari dalam laci penyimpanan dan memberikan salah satunya kepada kepada Costa. "Main, yuk," katanya. "Oh, ya, nanti di hari pernikahan saya, kita ngeband bareng, mau ndak? Mas Costa bisa main gitar. Kamu juga bisa main drum kan, Dek?"
"Boleh," kata Attar menyetujui. Bertepatan dengan itu, ponselnya yang tergeletak di atas meja berbunyi. Tanpa ba-bi-bu, ia langsung menyambar benda tersebut dan mengusapnya. "Malam, Sayang," sapanya mesra, kemudian beringsut menjauhi Costa dan Angga.
Angga dan Costa saling berpandangan melihat tingkah bucin Attar. Pria yang terbiasa segala kebutuhannya dipenuhi pembantu itu bahkan sudah pandai memasang seprainya sendiri. Berkat ajaran dari pacarnya, Aretha, yang kini bekerja sebagai pegawai housekeeping di hotel milik almarhum ayahnya. Kalau dipikir-pikir, kasihan sekali gadis itu.
***
"Arby!" Baru saja Elara keluar dari mobilnya, ia sudah menjerit kegirangan memanggil sang adik yang menyambutnya di teras rumah dengan tangan terentang. Sudah enam bulan lamanya mereka tidak bertemu.
"Pelan-pelan, Mbak. Nanti jatuh!" Tergopoh-gopoh Arby menyusul sang kakak, takut kaki perempuan itu tersandung saking bersemangatnya.
"Mbak kangen banget sama kamu!" ucap Elara histeris menubruk Arby.
Arby membalas pelukan kakaknya erat-erat. "Aku juga kangen, Mbak."
"Ya ampun, adiknya Mbak makin gagah aja," Elara meninju lembut tonjolan otot di pangkal lengan Arby. Tubuh Arby tegap menjulang. Rambutnya dipotong cepak. Kulitnya yang dulu kuning langsat kini terlihat lebih gelap dipanggang sinar matahari. "Udah punya pacar belum? Kok, kamu nggak pernah cerita, ya? Masa ganteng begini nggak ada yang naksir, sih?" tukasnya menggoda.
"Lagi kosong, Mbak. Cariin, dong," Arby terkekeh. "Mbak juga cantik. Aura bahagianya kerasa banget. Duh, yang mau tunangan," ledeknya. "Mbak juga nggak pernah cerita kalau kencan butanya sukses."
"Tunangan?" Kening Elara langsung berkerut.
Arby mengangguk. "Mama bilang, Mbak tunangan hari ini."
"Ck!" Elara mengibaskan tangannya. "Enggak, By. Cuma silaturahmi antar keluarga aja, bukan tunangan."
"Tunangan, Mbak," kata Arby berkeras. "Kalau cuma silaturahmi, ngapain aku repot-repot pulang dari Madiun?"
"Lho?" Elara tertegun. Ia memperhatikan dekorasi rumahnya, memang terlihat berbeda. Bunga-bunga tertata cantik. Perabotan di dalam rumah pun tersusun rapi. "Serius?"
"Serius, Mbak. Ma!" panggil Arby.
Beberapa detik kemudian, sang ibu muncul di hadapan kedua anaknya. "Ada apa teriak-teriak?"
Elara menatap ibunya intens. "Arby bilang ...."
Nora tersenyum. "Pertemuan keluarga sudah diadakan dua hari yang lalu. Papamu dan keluarga Angga sudah sepakat, hari ini kalian akan bertunangan. Pernikahan rencananya digelar bulan depan. Kok, kamu nggak bilang-bilang, sih, kalau kamu memutuskan bersama Angga? Papa sampai malu besar sama Alex ketika terpaksa bilang kamu sudah punya calon," cerocos Nora.
"Ya, nggak bisa gitu, dong! Kenapa, sih, kalian seenaknya aja ngatur-ngatur tanpa diskusi dulu sama aku?" protes Elara murka akan kebiasaan orang tuanya yang otoriter. Tolonglah, dirinya tidak mempersiapkan apa pun. Tangannya merogoh ke dalam tas mencari ponselnya, namun sang ibu menahannya.
"Sana, dandan dulu yang cantik. MUA-nya udah nungguin di kamar. Pakaianmu juga sudah siap. Berat badanmu nggak nambah, kan?" kata Nora mematut tubuh putrinya. "Ayo!"
Bagai kerbau dicucuk hidungnya, Elara tersaruk-saruk berjalan sambil mengomel. Tahu-tahu ia sudah terperosok ke dalam kamarnya. Dua orang perempuan menunggu di sana, lengkap dengan peralatan make up mereka.
Elara berkacak pinggang, masih tidak habis pikir, bagaimana mungkin ia dikelabui semua orang. Ia meraih ponselnya kemudian menelepon ke nomor Angga.
"Halo?"
"Kamu bilang hari ini keluarga kita cuma bersilaturahmi, kan?" cecar Elara sengit.
"Ya, ini saya sudah mau berangkat. Kenapa?"
"Lalu kenapa di sini pada sibuk menggelar acara pertunangan?"
"Hah?"
"Jangan bilang kamu nggak tahu, ya, Dok!"
"Saya ndak tahu apa-apa, El. Tunangan gimana? Bentar, saya tanya Mami dulu. Mam ...!"
Elara menggerutu panjang pendek.
"Mbak, sebaiknya mandi dulu," kata salah seorang MUA menghampiri Elara.
"Saya sudah mandi."
"Mau dirias sekarang?"
"Sebentar, ya, Mbak." Elara mengangkat ponselnya kembali ke telinga. "Gimana, Dok?"
"Maaf, El. Sepertinya acara kita memang dipercepat. Ndak apa-apa, ya? Mami dan orang tua kamu udah keburu nyuri start. Sorry, El, saya juga ndak tahu. Ya Tuhan!"
Elara memutuskan panggilan dengan kesal. Tatapannya tertumbuk pada gaun mewah berwarna nude yang dihiasi payet-payet cantik di atas tempat tidur. Amarahnya perlahan surut.
"Mbak suka gaunnya?"
Elara terperanjat melihat Arby muncul di belakangnya. "Eh, By? Cantik. Ini siapa yang ... beliin?" El mengelus gaun itu ragu-ragu. "Kamu?" tebaknya.
Arby mengangguk salah tingkah. "Moga-moga muat, ya, Mbak."
Kakaknya tidak perlu tahu, bahwa untuk acara pertunangan dadakan itu, tadinya ibu dan ayahnya ingin Elara memakai kebaya yang digunakan Tira saat lamaran. Alasannya, mereka tidak sempat mencarikan gaun untuk Elara.
Dengan kesal ia bergegas pergi ke butik dan memilih sebuah gaun tanpa pikir panjang karena waktunya sangat terbatas. Takkan sudi ia membiarkan sang kakak memakai kebaya Tira. Itu sama saja melecehkan harga diri kakaknya. Untung saja ia sudah sampai di rumah sebelum kakaknya datang. Arby bergegas menyingkirkan kebaya Tira ke dalam kantong plastik dan melemparnya ke gudang.
"By, seharusnya kamu nggak usah repot-repot. Mbak tahu ini mahal, dan ... " Sejenak rasa kecewa merasuk ke dalam d**a Elara. Bukannya tidak berterima kasih atas gaun pemberian Arby, malah ia sangat menyukainya. Tetapi mengapa harus Arby? Mengapa bukan ayahnya atau ibunya? Atau, bila acara pertunangannya tidak dibuat dadakan seperti ini, ia tidak akan keberatan menyiapkan gaunnya sendiri.
Statusnya sebagai anak yang menerima kasih sayang berbeda kembali membuat dadanya sesak.
"Nggak usah hitung-hitungan kenapa, Mbak?" sungut Arby. "Apa pun buatmu, Mbak, apa pun. Aku nggak akan pernah keberatan. Lagipula, Mbak juga nggak keberatan ngasih segalanya buat aku. Kalau dipikir-pikir, kita ini kayak anak yatim piatu, ya," kekehnya pahit.
Elara ikut tertawa getir. "By ...."
"Ya, Mbak?"
"Mereka nggak datang, kan?"
"Kenapa?"
Elara mengangkat bahu. Tenggorokannya mendadak tersumbat.
"Mbak, kalaupun mereka datang, anggap aja mereka nggak ada," kata Arby menangkup pipi kakaknya dengan kedua telapak tangannya. "Please, let it go. Aku yakin kebahagiaan Mbak ada di depan. Memang aku belum bertemu langsung dengan Mas Angga. Tapi dari bibit, bebet, dan bobot yang diceritakan Mama, aku percaya dia pria baik-baik. Semalam aku juga cari-cari info tentang dia di internet. Clean, bersih dari skandal."
Elara tersenyum miris. Bahkan dirinya sendiri tidak berminat mengetahui lebih jauh tentang Angga, malah adiknya yang melakukan itu.
"Sudah, ya. Mbak jangan khawatir, masih ada aku yang bakal jagain Mbak sampai akhir hayat. Kalau si Angga ini macam-macam, aku remukin tulangnya."
"Astaga, By, kamu sukses bikin Mbak mewek." Elara mengusap matanya dengan tisu yang disambarnya dari atas meja rias. "Makasih, By. Makasih," ucapnya sambil memeluk Arby sekali lagi.
"Sudah sana, Mbak dandan yang cantik. Aku tinggal, ya."
"Ya."
***
Elara mematut penampilannya di cermin. Gaun mewah yang diperuntukkan untuknya melekat pas di tubuhnya. Riasan natural membuat wajahnya terlihat lebih cantik dari biasanya.
Ia tersenyum tipis. Sepasang anting cantik yang dipinjamkan ibunya turut menghiasi kupingnya. Kalau dipikir-pikir lucu juga. Meski punya keluarga yang status sosial dan finansial sangat berkecukupan, tetap membuat Elara bagaikan upik abu di rumahnya sendiri.
"Mbak, ayo turun." Arby memberikan lengannya untuk digandeng kakaknya. "Mereka sebentar lagi datang. Kita tunggu di bawah, ya."
Elara menggandeng lengan Arby. Bunyi tumit sepatunya berdetak samar di lantai granit. Entah kenapa ia merasa gugup. Padahal, ini hanyalah pertunangan pura-pura.
"Santai, Mbak," bisik Arby geli. "Ini nanti tanganku kebas lho."
Elara mendelik.
Tiba terdengar suara mobil memasuki halaman, ia mengangkat kepalanya. Ayah dan ibunya yang sedari tadi berada di luar bergegas menyambut keluarga Angga.
Sesaat ia sempat pangling melihat Angga keluar dari kendaraannya bersama orang tuanya. Pria itu mengenakan batik, rapi dan gagah. Begitu pun dengan Om Rama. Sedangkan Tante Irene mengenakan kebaya yang warnanya sama dengan gaun yang dikenakan Elara. Wanita itu cantik sekali.
Jantung Elara berdegup semakin kencang. Senyumannya terbit.
Namun, sesaat kemudian senyuman Elara lenyap. Tidak jauh di belakang Angga, muncul Tira beserta suami dan anaknya keluar dari mobilnya.
"Tadinya kami ingin menjodohkan dia dengan Tira."
Mendadak saja Elara merasa riasan di wajahnya serta gaun mewah pemberian Arby menjadi tak berguna. Berada di bawah atap yang sama dengan si sulung Tira selalu sukses membuatnya terbanting.
Dari jarak yang tidak begitu jauh, Beno menatap Elara tak berkedip. Rahangnya tampak mengeras, bibirnya nyaris membentuk garis lurus. Sementara Tira menyunggingkan senyuman sinis sekaligus angkuh.