Elara tidak sempat memperhatikan lebih lama, tahu-tahu ia sudah diseret oleh Arby ke belakang. Untuk sementara, Elara pun terbebas dari rasa dengkinya melihat Tira dan Beno serta anak mereka.
Sementara itu, rombongan keluarga Angga disambut baik oleh keluarga besar Elara.
"Kalau tidak salah, dulu kita pernah bertemu sebentar sebelum kamu berangkat ke Amerika," kata Hadi kepada Angga. Perusahaannya sudah beberapa kali dipercaya mengerjakan proyek-proyek besar keluarga Gunardi. "Beberapa tahun yang lalu. Mungkin kamu sudah lupa," tukasnya.
"Oh ya, benar, Om. Saya ingat. Tapi, tampaknya sekarang Om jauh lebih sehat dan gagah dibandingkan dulu," jawab Angga tersenyum lebar.
Pujian singkat itu melambungkan Hadi. "Ah, bisa saja kamu." Ia terkekeh menepuk bahu Angga. Tak terlukiskan rona bahagia di wajahnya, sebentar lagi bermenantukan pria dari keluarga ternama. Meskipun sayangnya, bukan putri sulungnya yang bersanding dengan Angga. "Mari masuk. Ayo Pak Rama, Bu Irene, silakan," katanya mempersilakan rombongan calon besannya masuk ke rumah.
"Terima kasih, Pak Hadi dan Bu Nora. Senang sekali rasanya bisa berkumpul kembali di hari yang berbahagia ini," sambut Irene. Anjani dan anggota keluarga lainnya mengiringi di belakang sembari membawa seserahan.
Setibanya di dalam, kedua keluarga besar itu duduk saling berhadapan di tempat duduk yang telah disediakan. Nora meminta maaf kepada seluruh yang hadir, mengingat keterbatasan waktu, acara tersebut terpaksa digelar sesederhana mungkin.
Tanpa berbasa-basi lebih lama, prosesi lamaran itu pun dimulai. Irene mewakili keluarga besarnya berdiri mengucap kata sambutan.
"Bapak Ibu sekalian. Saya selaku perwakilan dari keluarga Bapak Rama Hadyan Gunardi, datang dengan segenap ketulusan bermaksud melamar putri Bapak dan Ibu tercinta, yaitu Elara Soebagio Matthews untuk menjadi istri dari putra kami, Airlangga Emerald Gunardi. Sekaligus untuk menjadi putri kami, yang akan kami sayangi dan cintai sebagaimana Bapak dan Ibu mencintainya dengan sepenuh hati. Kami sangat berharap kedatangan kami akan diterima dengan lapang d**a dan rasa bahagia," kata Irene mengutarakan maksud dan tujuannya.
Setelah kata sambutan tersebut, Hadi berdiri dan menjawab lamaran dari keluarga Angga. "Terima kasih atas niat baik Bapak dan Ibu telah melamar putri kami. Kami sebagai orang tua menyatakan menerima lamaran Bapak dan Ibu. Namun tentunya, keputusan akhir kami serahkan kepada Elara, karena Elara lah yang akan menjalani pernikahan tersebut nantinya," katanya berdiplomasi.
Tibalah momen di mana Elara bergandengan tangan dengan Arby muncul di hadapan keluarga mereka. Angga melemparkan senyuman, dibalas oleh Elara dengan senyuman kikuk dan canggung.
Tidak lama setelah itu, Angga berdiri mendekati Elara. "Hai, El," sapanya hangat.
"Hai, Dok. You look good," puji Elara tak tahu harus mengatakan apa.
"I am. Jangan naksir, ya," jawab Angga setengah berbisik.
Elara mencebik. "Dih, pede amat!"
Keduanya terpaksa memutus percakapan absurd tersebut kala Irene menyeletuk menyindir anaknya, "Mas Angga, kamu ini mau melamar atau merayu? Sabar to, Nak."
"Maaf, Mam," jawab Angga jenaka. Ia mengalihkan pandangannya dari Elara, kemudian berdeham, "Sekitar tiga minggu yang lalu, saya dan Elara dipertemukan dalam sebuah kencan buta, tepatnya tanggal tiga belas, pukul 19.45. Dan saya masih ingat, dia jutek sekali pada saya."
Terdengar orang-orang tergelak kecil. Elara diam-diam mengerutkan dahi, Angga detail sekali. Pukul 19.45? Benarkah? Dan apakah penting pria itu mengatakan ekspresi jutek Elara malam itu di hadapan para hadirin?
"Orang bilang, terkadang jodoh itu datang melalui cara yang tidak disangka-sangka. Ada yang berpacaran begitu lama, tapi akhirnya kandas jua. Ada yang baru mengenal sebentar, merasa cocok, kemudian memutuskan untuk melanjutkan ke jenjang pernikahan.
"Kepada Om Hadi selaku ayah dan Tante Nora selaku ibu, saya ucapkan terima kasih tak terhingga telah menjaga Elara di sepanjang hidupnya. Selama tiga puluh tahun sang putri hidup di dunia, melimpahinya dengan cinta dan kasih sayang tak bercela. Maka dalam kesempatan ini, saya memohon izin kepada Om dan Tante untuk memindahkan tanggung jawab tersebut kepada saya. Saya ingin menjadikan Elara sebagai pendamping hidup saya juga sebagai putri dari ayah dan ibu saya. Saya berjanji akan menjaganya layaknya seseorang yang paling berharga. Dan alhamdulillah, sebelumnya Om dan Tante telah sudi menerima lamaran dari keluarga saya. Tadinya, bila Om dan Tante menolak, saya berniat membawa Elara kawin lari saja."
"Angga!" tegur Irene melotot tajam pada putranya. "Maaf, Pak Hadi dan Bu Nora, Angga ini terkadang kelewatan," katanya tidak enak hati. Cah iki piye, sih?
"Maaf, Om, Tante, saya cuma bercanda, biar nggak tegang," tukas Angga setelah suasana mencair oleh gelak dan tawa. "Di akhir kata, ... " tatapan Angga tertuju lembut kepada Elara, "saya harus meminta langsung kepada Elara. Bersediakah kamu menjadi istri saya?"
Wow! Elara terkesima.
Bila Angga adalah seorang aktor, dia layak mendapatkan Oscar. Serius.
Lamaran konyol bin pura-pura tersebut anehnya tetap membuat Elara tersentuh. Matanya terpejam sejenak menikmati emosi yang menyembur bersama dengan aliran darahnya, membiaskan rona merah di pipinya. Sembari menyusun jawaban yang tepat, ia sibuk mencari celah di binar mata Angga. Apakah niat pria itu yamg sebenarnya?
Perempuan itu berdeham lembut, kemudian dengan sedikit terbata menjawab, "Terima kasih atas niat Mas Angga dan keluarga yang telah melamar saya. Dengan izin Mama dan Papa, saya bersedia menjadi istri Mas Angga."
Mas? Astaga, gue mual!
***
Setelah prosesi pemasangan cincin—yang entah kenapa pas sekali di jari Elara—dan penyerahan seserahan, acara sederhana itu dilanjutkan dengan mencicipi hidangan serta beramah tamah. Para anggota keluarga besar itu saling berkenalan satu sama lain.
Yang membuat Elara mengepalkan tangannya geram adalah Tira. Perempuan itu berdandan paling cantik, seperti ingin mencuri spotlight. Tira bersikap semanis madu kepada Angga dan keluarganya. Saat menyalami Angga, Tira menempelkan pipinya ke pipi Angga yang membuat perut Elara ingin meledak saking mualnya.
Sedangkan Beno semenjak tadi hanya memasang raut masam sembari menggendong anaknya. Mungkin pria itu sedang terkena diare akut. Tidak mungkin dia cemburu melihat Elara dilamar pria lain. Bukankah dia yang lebih dulu mencampakkan Elara?
Saat mencicipi hidangan, Tante Irene mengajak Elara bercakap-cakap kecil, entah itu mengenai makanan kesukaan serta obrolan-obrolan receh lainnya. Hal itu sangat membantu Elara mengalihkan perhatiannya dari Beno dan Tira.
"Adik saya ini nggak bisa memasak, Tante," celetuk Tira pada Tante Irene. "Bikin telur ceplok aja gosong. Dari pagi sampai malam El sibuk kerja melulu. Saya ragu apa El bisa mengurus suaminya dengan baik."
Suasana mendadak hening. Hadi dan Nora saling berpandangan, tegang. Elara menahan napas. Tangannya terkepal di pangkuannya. Hanya Angga yang memasang raut tanpa beban.
Namun, sambutan Irene sungguh di luar dugaan. Tidak terpancing oleh Tira, ia menjawab. "Ndak apa-apa bila El ndak bisa masak. Toh, zaman sekarang semua serba mudah, bisa langganan katering. Angga juga jago masak, lho. Lagipula, Tante maunya punya menantu, bukan babysitter ataupun pembantu."
Memangnya Angga ndak sanggup bayar ART apa? dengus Irene dalam hati. Dasar norak!
Tira mati kutu. Rona jengkel tak bisa ia sembunyikan di raut wajahnya. Sementara dari ujung meja makan, Nora menghela napas lega.
***
Setelah lepas dari ritual beramah tamah, Angga mendekati Elara, lalu berbisik. "Maaf, El, acara lamaran kita mungkin sangat jauh dari impian kamu. Kamu nggak keberatan, kan?"
"Harusnya saya yang nanya, Dok," Elara balas berbisik. "Keluarga kamu nggak apa-apa dengan acara lamaran ala kadarnya seperti ini? Maksud saya, kenapa harus terburu-buru, sih? Saya nggak mau digunjingin hamil duluan. Astaga, saya nggak ngerti maunya mereka gimana," ocehnya setengah kesal.
"Sekali lagi saya minta maaf. Rupanya Mami ndak mau calon mantunya lepas." Angga nyengir jahil.
Terdengar Arby berdeham lembut memutus insiden bisik-berbisik tersebut.
"Kenalin, Mas," Elara balas berdeham geli. "Ini adik saya, Arby."
"Halo, Arby." Angga menyalami Arby erat. Terasa genggaman tangan Arby meremas tangannya kuat menunjukkan intimidasi. Tatapan Arby tajam sekaligus penasaran. "Senang sekali akhirnya bisa bertemu. Elara banyak bercerita tentang kamu."
"Mbak saya bilang apa? Pasti bilang saya adiknya yang paling nakal, kan?" tebak Arby menguji.
Angga terkekeh menepuk bahu Arby berusaha menjalin keakraban. "Enggak. Elara bilang sangat bangga pada kamu."
"Oh, ya?"
"Andai kita sudah kenal sedari dulu, saya ajak kamu main ke rumah keluarga saya di Jogja. Nggak jauh, kok, dari Lanud Adisutjipto," kata Angga mengingat pendidikan Akademi Angkatan Udara hanya ada di Yogyakarta. "Ngomong-ngomong, sekarang dinas di mana?"
Arby menanggapi dengan anggukan, menghargai cara Angga mencairkan suasana. Binar hangat dan jenaka di mata pria itu membuat urat sarafnya mengendur. "Lanud Iswahjudi, Mas, Madiun."
Elara memutar bola matanya. Begitu genggaman Angga dan Arby terlepas, ia menyikut pinggang Angga dan berbisik, "Jangan bilang kamu ngincar adik saya ya, Dok. Saya tebas lehermu nanti!"
Angga nyengir tertahan. "Nggak baik berprasangka buruk, El. Nanti kamu menyesal."
"And what's goin' on with your accent?" sambung Elara terheran-heran, pria yang biasanya konsisten berlogat Jawa itu kini bicara dengan logat biasa. Begitupun tadi saat acara masih berlangsung.
"Kedengaran Jakarta banget, ya? Kamu lebih suka yang mana?"
"Sama saja." Elara mengangkat bahu.
"Ngomong-ngomong, saya suka denger kamu manggil saya Mas."
"Jangan ngarep!" Elara mendengus kecil. "Hmm, saya permisi ke belakang sebentar."
"Oke."
"Beneran Mbak El suka jutek ke Mas Angga?" tanya Arby mendekati Angga lagi.
Angga mengangguk. "Sudah bawaan orok, ya?"
"Enggak juga. Saya harap Mas Angga bisa sabar atas sikap kakak saya."
"Nggak masalah, namanya juga perempuan. Oh, ya. Apa kebetulan kamu kenal Adinata Pahlevi?"
"Beliau komandan saya, Mas," sambut Arby kaget. "Mas kenal?"
"Beneran? Adi itu teman lama saya. Setelah dia masuk AAU, kami sesekali masih kontak. Sampaikan salam saya buat beliau, ya."
Raut wajah Arby berubah cerah. "Pasti, Mas. Nanti saya sampaikan."
Angga tersenyum lebar. Tidak sia-sia ia menyelidiki Arby. Setidaknya, kini sikap pria itu melunak.
***
"Hai, Angga," sapa Tira mendekati Angga yang sedang sendirian. Arby berbincang dengan keluarga Angga. Sedangkan Elara menghilang entah ke mana.
Angga mengangguk sopan. "Halo, Mbak."
Tira mengibaskan tangannya. "Nggak usah panggil saya Mbak, saya lebih muda dari kamu."
"Maaf, Mbak, rasanya kurang patut."
"Saya nggak nyangka, adik saya bakalan berjodoh dengan laki-laki berkelas seperti kamu," kata Tira iri. "Padahal, dia biasa saja bila dibandingkan dengan saya."
Angga hanya tersenyum. "Saya percaya, setiap bunga menarik kumbang yang berbeda, Mbak."
Tira berbisik lirih, "Kamu tahu, nggak? Dulu rencananya kamu dijodohkan dengan saya," katanya teringat ucapan ayahnya tempo hari.
"Oh, ya?" Angga mengangguk-angguk. "Sayang sekali kalau begitu, kita nggak berjodoh."
"Ya, sayang sekali." Tira tersenyum manis. "Saya heran, bukankah terlalu cepat bila kalian memutuskan untuk menikah?"
"Pencarian kami berakhir saat kami bertemu." Angga yang tak ingin kongkalingkongnya dengan Elara ketahuan, tampaknya harus berimprovisasi untuk memupus kecurigaan Tira. "Kalau Mbak percaya cinta pada pandangan pertama, mungkin itulah yang terjadi antara saya dengan Elara."
"Biar saya beritahu satu rahasia," balas Tira lagi. "El masih belum move on dari mantan pacarnya. Dan perlu juga kamu tahu, dulu hubungan mereka sudah terlalu jauh. Kamu ngerti, kan, maksud saya?" tukasnya tersenyum licik.
"Kita semua punya masa lalu, kan, Mbak? Tapi sayangnya kita tidak hidup untuk lalu itu, melainkan untuk masa depan. Masa lalu biarlah menjadi kenangan saja," sahut Angga.
Pedulikah ia dengan masa lalu Elara? Tidak.
"Kamu nggak punya masalah dengan itu?"
Angga menggeleng. "Sama sekali enggak. Toh, saya pun punya masa lalu yang cukup pahit."
"Apa itu?" selidik Tira, berharap Angga menyibak kisah pribadinya sedikit saja. Setidaknya akan dipergunakannya untuk membuat adiknya oleng.
Angga terpekur memasang raut sedih. "Saya pernah gagal menyelamatkan pasien saya di masa koass dulu. Padahal, beliau pasien favorit saya."
"Oh!" Tira yang tidak menyangka akan jawaban Angga, kini harus mencari strategi lain untuk menjatuhkan adiknya. "Kamu harus banyak bersabar terhadap Elara, dia tipe perempuan keras kepala."
Angga mulai curiga. Ia menebak ada sibling rivalry yang cukup panas antara Elara dengan kakaknya. "Saya rasa setiap orang harus keras kepala mempertahankan hal-hal yang menurut mereka sangat prinsipil, Mbak."
"Termasuk bila dia juga bukan perempuan penurut sama suami?"
"Saya mencari teman hidup, bukan pengikut. Jadi, itu bukanlah masalah besar."
"Dia juga menyulitkan dan menyebalkan." Tira mengepalkan tangannya, kesal Angga selalu membantah setiap ucapannya dengan jawaban netral.
Angga malah terkekeh kecil. "Memangnya perempuan mana, sih, Mbak, yang nggak menyulitkan? Anjani sering membuat saya mangkel. Mami juga sering bikin saya ngelus d**a. Mbak tahu perempuan yang di sana?" Angga menunjuk seorang perempuan manis berambut panjang bergelombang, "Namanya Athalia, sepupu saya. Cerewetnya bukan main, Mbak, kadang-kadang bikin sakit kepala kalau dia sudah merepet. Tapi, rasanya alasan-alasan itu terlalu konyol bila sampai membuat saya berhenti menyayangi mereka, bukan?"
Tira meremas ujung gaunnya. Sialan!
***
Di k********a udah update bab 9, ya, Genks. Silakan mampir bila berkenan. Cari aja username-nya Andrea Doria.
Buat yang udah mampir dari kemarin2, thank you so very much, ya ???