Tujuh Belas

1218 Kata
"Malam, Elara." Elara terperanjat. Baru saja ia menguak pintu apartemen, terdengar Angga menyapanya dari dapur. "Hai, malam," balasnya. Pria itu sedang menyiram sepiring salad sayur campur buah dengan mayonaise. Angga masih mengenakan pakaian kerja. Lengan kemeja putihnya digulung sampai ke siku. Elara harus membuang muka, enggan memperhatikan Angga lebih lama. Walaupun tak lagi menghindari Angga, ia harus lebih berhati-hati terhadap kesehatan jantungnya. Elara masih belum kepingin mati muda. "Kamu tahu ndak? Pada tahun 2012, 600.000 orang mati karena perang, 800.000 mati bunuh diri, dan 1.5 juta mati karena diabetes. Artinya, manusia lebih banyak mati karena gula alih-alih bubuk mesiu," celetuk Angga. "Mau salad?" "Nggak, makasih," tolak Elara. Keningnya berkerut. "Kamu lagi latihan pidato buat talkshow?" Angga menunjuk minuman di tangan Elara dengan ujung dagunya. "Kalau kamu tiap hari minum itu, saya jamin sebelum usia empat puluh kamu sudah terkena diabetes kronis." Elara memutar bola matanya. "Nggak usah rese, deh!" "Rese?" Angga mengangkat alis. "Saya ndak rese, cuma mengingatkan. Benar, kan, kamu minum itu tiap hari?" Bagi Angga, banyak sekali minuman kekinian merupakan racun yang membunuh perlahan-lahan. Kadar gulanya tinggi sekali. Sayangnya, hampir setiap pulang bekerja, Elara menenteng minuman tersebut di tangannya. Seharusnya di awal usia tiga puluhan seseorang sudah mulai aware terhadap isu-isu kesehatan, lalu belajar memperbaiki pola hidup serta pola makan. Ia juga menebak Elara malas bergerak. Satu bulan lebih hidup bersama, tak pernah satu kali pun ia melihat Elara berolahraga. Di akhir minggu misalnya, perempuan itu selalu pergi keluar dengan pakaian rapi, mungkin untuk nongkrong atau semacamnya. Pertemuan mereka di arena sepeda dulu hanyalah sebuah anomali. "Kenapa kamu harus repot-repot mengingatkan saya?" "Karena kamu istri saya, El." "Oow!" Elara merasakan hatinya menghangat. "Tenang aja. Nanti kalau saya kena diabetes, saya minum ekstrak biji mahoni. Sembuh deh, tuh!" balasnya meremehkan ucapan Angga. Siapa bilang diabetes tidak bisa disembuhkan? Ia membaca beberapa artikel tentang kesembuhan pasien diabetes di media sosial, berkat obat-obatan herbal yang sudah teruji khasiatnya sekaligus lebih natural. Obat-obatan medis tak selalu bisa diharapkan. "Oh, ya? Yakin sembuh? Atau kamu hanya mendengar selentingan testimoni? Beri saya bukti ilmiah bahwa biji mahoni bisa menyembuhkan diabetes, baru saya bisa percaya," bantah Angga. "Setiap obat-obatan harus melalui tahap uji klinis terlebih dahulu sebelum bisa diklaim menyembuhkan suatu penyakit. Evidence based medicine, bukan evidence based testimonial." "Lagipula saya nggak gendut, kok," bantah Elara keras kepala. "Memangnya diabetes itu harus menunggu gendut dulu? Orang kurus pun banyak yang terkena diabetes." Angga menjelaskan, diabetes tidak bisa disembuhkan. Penderita hanya bisa mengontrol kadar gula darahnya. Setelah seseorang divonis diabetes, seumur hidup orang tersebut harus menjaga pola hidup dan pola makan. Pankreas yang sudah terlanjur rusak tidak bisa diobati, kecuali ada teknologi untuk meregenerasi sel-sel pankreas itu sendiri yang mana sampai saat ini teknologi seperti itu masih belum eksis. Satu-satunya cara adalah transplantasi pankreas yang tingkat kerumitannya tinggi sekali, ditambah risiko yang menyertainya. Belum lagi, diabetes juga menjadi awal mula berbagai penyakit kronis lainnya serta menyebabkan komplikasi. "Jadi, jaga tubuhmu baik-baik. Jaga pola makanmu dan aktif bergerak. Hanya itu salah dua cara yang menunjukkan kamu mencintai tubuhmu sendiri." "Ha?" Elara melongo, kupingnya panas mendengar celotehan Angga. "Ceramahnya panjang amat, Dok? Breathe!" ejeknya. "Sorry, ya, nggak ada duit receh," tukasnya lagi sebelum menggeluyur pergi. Ingin rasanya ia membalikkan ceramah Angga mengingat postur tubuh ayah mertuanya yang tidak proporsional, tetapi Elara tidak tega, sekaligus takut dianggap kurang ajar. Papa Rama baik sekali. Sangat baik. Perhatiannya tak kurang untuk Elara. Tadi siang, pria itu menyempatkan diri menanyakan kabar Elara via telepon di sela-sela kesibukannya. Tutur katanya halus dan santun. Elara jadi iri. Mengapa Angga dan Jani dikaruniai seorang ayah yang baik hati. Angga menghela napas panjang. "El, kamu pegang polis asuransi kesehatan apa saja?" tanyanya setengah berteriak setelah Elara menghilang dari pandangan. Elara balas berteriak. "Ora ngurus!" "Dasar keras kepala!" Angga geleng-geleng kepala. "Besok ikut saya medical check up ke rumah sakit, ya!" "Bodo amat!" Setelah sampai di kamarnya, Elara langsung menutup pintu. Pandangannya tertumbuk pada gelas minuman yang isinya tinggal separuh. Mendadak saja minuman rasa vanila itu tak lagi menarik minatnya. Gini amat nikah sama dokter. Mau makan enak aja nggak boleh! Elara membuang sisa minuman tersebut ke dalam kloset, lalu melempar gelas plastiknya ke dalam tempat sampah. *** Elara tidak tahu, entah pukul berapa ia terbangun. Tenggorokannya kering kerontang, haus sekali. Ia meraba-raba meja kecil di samping tempat tidur dan mendapati tempat minumnya sudah kosong. Tersaruk-saruk ia bangun dan turun ke dapur. Pencahayaan remang-remang tak menghalangi langkah kakinya. Elara meneguk satu gelas air putih lalu mengisi tumblernya hingga penuh. Ketika ia hendak kembali ke kamarnya, ia tersentak. Lampu di ruang tamu tiba-tiba menyala. Sontak ia menoleh dan mendapati Angga di sofa. "Belum tidur, Dok?" sapanya sebelum pergi. "Belum. Kamu ndak bisa tidur?" balas Angga. "Saya cuma ngambil minum." Angga menepuk sofa di sebelahnya, tanda mengajak Elara bergabung bersamanya. "Mau ikut nonton?" "Kamu nonton TV gelap-gelapan?" Elara menyipitkan matanya, masih menyesuaikan diri dengan cahaya yang masuk ke matanya. "Bukannya itu nggak sehat buat mata?" sindirnya. "Ndak seru nonton film horor tapi ruangannya terang benderang." Angga tersenyum kecil. "Nekat amat nonton horor sambil gelap-gelapan?" "Ayo, sini," Angga kembali menepuk sofa di sebelahnya. "Besok weekend, kan?" katanya sembari menekan-nekan tombol remote control dengan tangan kirinya. Elara melirik jam dinding, pukul dua belas malam. Ia memutuskan bergabung bersama Angga. Diempaskannya bokongnya ke sofa. "Saya heran, orang seperti kamu, kok, rasanya nggak level menghabiskan waktu di rumah nonton TV," kata Elara sambil menaikkan kedua kakinya dan duduk bersila. "Kalau dipikir-pikir, baru kali ini lho, saya ketemu direktur yang hidupnya santuy banget kayak kamu." Angga terkekeh. "Memangnya kenapa?" "Saya pikir gaya hidupmu itu jetset, Dok. Party, clubbing, bergaul dengan orang-orang kelas atas atau semacamnya. Masa kamu weekend–nya di rumah, sih?" celoteh Elara tak percaya. Angga tergelak kecil. "Been there, done that." Elara membalas dengan dengusan. "Oh, ya? Kenapa sekarang enggak lagi? Udah tobat?" "Sudah lama sekali, El, sewaktu saya masih di Amerika. Pulang kerja mampir ke bar, minum-minum. Biasalah." "Oow!" Elara berseru kecil. Di balik tampang anak baik-baik ala Angga, ternyata Angga pun pernah nakal. Sekarang ia penasaran ada berapa banyak perempuan yang pernah mengisi hati pria itu sebelum mereka menikah. Apakah sekarang pun masih ada perempuan lain? pikirnya. Drama pernikahan seperti mereka, biasanya bila dituangkan ke dalam sebuah novel ataupun script film, salah satu atau masing-masing dari tokoh utamanya mencintai laki-laki atau perempuan lain. Apakah Angga juga sama? "Saya baru kepikiran, kalau tidak salah kamu pernah bilang nggak suka kerja teamwork, lalu kenapa betah bekerja di Amerika?" "Cuma menimba pengalaman. Saya tahu pada suatu hari saya akan disuruh pulang. Just that." "Ada film apa?" tanya Elara mengalihkan topik pembicaraan. "Ada banyak. Saya kepikiran mau nonton ... " Angga menoleh pada perempuan di sampingnya. Tiba-tiba ia terpana, lalu buru-buru membuang muka. Ia baru sadar, selain mengenakan kaus hitam tipis super kedodoran yang mengekspos bahunya kanannya, Elara juga hanya mengenakan celana kaos pendek berwarna sama yang menampakkan lebih dari separuh paha mulusnya. "... Titanic," seketika ia berubah haluan setelah melihat film lawas itu tiba-tiba muncul di layarnya. Yang lebih membuatnya meremang, Elara juga tidak mengenakan bra! Seketika Angga menyesal mengajak Elara menonton bersama. Ruangan itu mendadak gerah, ditunjukkan oleh pipinya yang memanas. I hate my mind right now, keluhnya. Kehadiran Elara sungguh menggoda iman, membangkitkan insting alami kelelakiannya. Detak jantungnya tak lagi teratur. Namun, ia harus menepati perjanjian kecil tempo hari untuk tidak bersikap kurang ajar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN