"Kamu sudah telpon Jani?" cecar Elara mengiringi langkah Angga ke dapur. Setidaknya ia menghargai usaha Angga mencairkan suasana di antara mereka. "Kok, dia bisa tahu, sih, kita hanya pura-pura?"
Angga tertawa kecil. "Dulu kami sering bilang Jani itu punya indera keenam. Tapi tenang saja, dia ndak akan buka mulut," sahut Angga memastikan. "Kamu lihat sendiri, kan, gimana masa bodohnya Jani?"
"Oke." Elara duduk di kursi makan. "Saya baru tahu, ternyata kamu benar-benar bisa memasak. Saya pikir Mami bohong," katanya teringat cara Angga memainkan pisau di atas talenan.
Angga mengangkat bahu. "Kamu mau dimasakin apa?"
"Adanya apa?"
"Lumayan lengkap, nih. Dua hari yang lalu Syila berbelanja. Ada ayam, daging, telur, udang, cumi—"
"Kamu juga ngasih urusan belanjaan ke Syila?" potong Elara. "Enak, ya, punya asisten."
Angga tertawa kecil. "Kamu mau punya asisten juga? Saya bisa cariin lewat Syila."
Elara terbahak. "Nggak usah, memangnya saya siapa? Kamu bisa bikin sei sapi?"
"Sei sapi yang beneran tentu saja ndak, El. Tapi kalau sei sapi ala-ala, sih, bisa."
Sei sapi merupakan olahan daging khas Nusa Tenggara Timur yang pada proses aslinya dimasak dengan cara diasapi hingga matang. Namun, tentu saja proses tersebut tidak bisa dilakoni di apartemen yang ruangan serta peralatannya serba terbatas itu.
Angga berjongkok mengecek rak tempat menyimpan sayuran. "Daun singkongnya ndak ada, El. Cuma ada pakcoy, lettuce, wortel—"
"Ganti ke pakcoy aja nggak apa-apa, kan?"
"Oke." Angga mengeluarkan bahan-bahan pembuat sei sapi ala-ala yang ia sebut tadi, kemudian mengeluarkan panci presto mungil untuk merebus daging. Ia mencuci daging, memasukkannya ke dalam presto, kemudian menambahkan aneka rempah seperti lengkuas, jahe, sereh, bawang putih geprek, garam, air, daun-daunan, minyak zaitun, serta bumbu-bumbu lainnya. Selanjutnya, ia merebus daging tersebut sampai empuk.
Selagi merebus daging, Angga mempersiapkan bahan-bahan pembuat sambal serta sayurannya. "Kita bikin sambal matah saja ya," katanya pada Elara.
"Oke."
"Oh, ya. Beneran kamu ndak bisa masak?"
"Kenapa memangnya? Masalah buat situ?" Elara memicingkan matanya kesal.
"El," Angga menatap Elara lembut. "Saya cuma bertanya, bukan bermaksud menghakimi kamu. Saya ndak ada masalah dengan perempuan yang ndak bisa memasak. Jadi ndak usah ngegas. Relax. Kamu ndak takut stroke tegang urat saraf melulu?"
Elara sontak menurunkan nada suaranya. "Males."
"Kenapa malas?"
"Gimana nggak malas, Dok? Memasak itu menghabiskan waktu setengah sampai satu jam, tapi ngabisin makanannya cuma lima menit. Habis itu saya harus cuci piring lagi."
Angga terbahak. "Masuk akal juga. Jadi waktu kuliah dulu gimana? Kamu pulang tiap hari? Atau ngekos dan berlangganan katering?" tanyanya teringat Elara menempuh pendidikannya di Depok sana.
"Beli jadi, seadanya aja. Saya ngekos dekat kampus. Saya juga kerja, jadi ndak ada waktu buat masak."
"Kerja? Hebat kamu, kuliah sambil kerja" puji Angga.
"Kalau saya nggak kerja, saya nggak makan."
Kening Angga langsung berkerut. "Maksud kamu?"
Sudah terlanjur, Elara terpaksa buka kartu dan menjawab sambil membuang muka. "Papa cuma ngasih uang buat bayar UKT. Sisanya saya harus cari sendiri. Ya, biaya ngekos, biaya makan, beli baju."
"Kok, bisa?" cecar Angga lagi. Seorang kontraktor besar macam ayah mertuanya tak bisa menguliahkan anaknya dengan baik?
"Papa bilang keuangannya lagi ambruk, beliau ditipu rekan bisnis. Jadi, Papa cuma bisa bayarin UKT saya." Namun masih sanggup melayani permintaan hedon ala Tira.
Angga tak lagi bertanya, takut membuat Elara tidak nyaman. Sebaiknya ia lebih berhati-hati mulai dari sekarang. Bila nanti Elara sudah menerima keberadaannya, ia yakin Elara akan buka mulut.
"Sebenarnya kemarin kamu ke mana? Benar ada VP yang ulang tahun?" Angga menyodorkan seonggok rawit merah di dalam wajan dan meminta tolong pada Elara untuk membuang tampuk buahnya.
Elara menggeleng. "Saya ketemu headhunter, wawancara kerja."
"Kamu mau resign? Atau mau pindah?"
"Enggak juga. Si headhunter ini menghubungi saya di LinkedIn, minta waktu buat ketemu."
"Cocok deal-nya?"
Elara mengangkat bahu. "Masih saya pikirin. Gajinya cuma naik dikit, sih. Perusahaan yang sekarang masih memungkinkan saya untuk mengembangkan skill. Mungkin sebaiknya saya bertahan dulu. Begitu skill saya cukup, saya bakalan cabut kalau ada tawaran yang lebih baik."
Angga nyengir mengejek Elara. "Tipikal jaket kuning banget, ya, suka jadi kutu loncat," sindirnya.
Elara balas tertawa kecil. "Stereotipe, Dok. Selama bekerja, saya baru tiga kali pindah perusahaan. Kalau saya nggak pindah, nggak mungkin sekarang saya duduk di kursi manajer. Kalau ada kesempatan dan jenjang karier yang lebih baik di perusahaan lain, kenapa enggak, ya, kan?"
Beberapa detik kemudian Angga menceritakan sudut pandangnya sebagai pimpinan terkait perekrutan pegawai. Tim HRD di rumah sakit milik keluarganya terkadang menghindari perekrutan kandidat yang berasal dari kampus berstereotipekan kutu loncat.
"Kami juga mengeluarkan effort, biaya dan waktu yang tidak sedikit untuk mengembangkan skill para talent muda ini, katakanlah perawat atau anggota tim divisi administrasi, HRD, dan keuangan. Kami berinvestasi untuk memoles skill mereka dengan mengadakan training, seminar dan segala macam. Eh, begitu ada tawaran yang lebih baik, mereka langsung cabut. Kesel, ndak?"
"Benar, Dok. Let's agree to disagree aja, ini cuma soal perbedaan sudut pandang. Kalau saya berada di sisi pemberi lapangan kerja, pastinya saya juga mangkel," kata Elara membenarkan sudut pandang Angga. "Tapi dari sisi karyawan, kami juga berhak mendapatkan imbalan sesuai dengan skill dan value yang kami punya. Kami juga berhak mengembangkan diri serta menapaki tangga karier sesuai keinginan kami."
"Ternyata untuk hal-hal seperti ini kamu objektif, ya, nggak ngotot," sindir Angga.
Elara terkikik. "Dok, di kantor saya punya tim. Saya juga membawahi beberapa orang anak MT. Kalau saya nggak bisa dengerin pendapat mereka, mana bisa saya jadi leader yang baik?"
Angga mengangguk-angguk. "Jadi di kantor kamu ndak jutek?"
Elara menggeleng. "Enggak. I'm trying to be a professional."
"Kenapa sama saya kamu jutek melulu?" Angga mengerutkan dahinya. Apa Elara berkepribadian ganda?
"Nggak tahu ya, Dok," Elara menyeringai, "ngelihat kamu itu bawaannya kesel melulu. Apa jangan-jangan kamu ketempelan jin ifrit, ya?"
Angga terbahak kecil. "Astaga!"
"Sorry, jokes saya nggak banget, ya?" Elara meringis.
"Ndak masalah, biasa aja." Angga mulai menumis bumbu untuk sayuran.
Elara tersenyum kecil. Entah mengapa percakapan tersebut terasa menyenangkan. Elara yang tadinya ingin menjaga jarak, malah menikmati obrolannya dengan Angga.
"Bisa ndak, lain kali setiap kamu punya urusan di luar kepentingan kantor, kamu mengabari saya?" celetuk Angga lagi sembari memotong-motong sayuran pakcoy yang telah direbusnya selama satu menit.
"Jangan salah paham, saya ndak berharap kamu minta izin pada saya, juga ndak bermaksud ikut campur," tukas Angga buru-buru mengklarifikasi ucapannya. "Cuma kalau misalnya Mami atau Mama tiba-tiba datang seperti kemarin, jawaban kita ndak bentrok."
"Tahu nggak, Dok? Kamu itu terlalu sopan jadi orang," kata Elara. Matanya pedih saat mengiris-iris cabai serta bawang merah. "Irisannya besar-besar begini, nggak apa-apa, ya," tukasnya sungkan.
Angga tergelak kecil melihat pekerjaan Elara. Amatir sekali. "Lalu kamu maunya yang bagaimana? Pria b******k?"
Elara nyengir kecil. "Dulu ngambil gelar MPH di mana, Dok?" tanyanya mengalihkan topik.
"US."
"Oh, ya? Di state mana?"
"Maryland, tepatnya kota Baltimore."
"Universitas apa, ya? Setahu saya Harvard ada di Boston." Elara mengerutkan keningnya. Ia hanya mengenal beberapa universitas kenamaan di Amerika, seperti Harvard, UC Berkeley, Stanford, atau NYU.
"Johns Hopkins University."
"Kenapa nggak ngambil Harvard? Nggak tembus atau gimana?" cecarnya. Orang kaya seperti Angga biasanya lebih beruntung karena faktor privilege yang menyertainya hingga harusnya mampu lolos ke universitas bonafid.
"Bukan. Saya juga masukin aplikasi ke Harvard. Tapi pada saat itu, untuk program public health John Hopkins berada di nomor urut teratas berdasarkan peer assessment score-nya, Harvard di nomor dua. Dengar-dengar sampai hari ini rankingnya masih bertahan sebagai pemuncak. Jadi, begitu saya menerima LoA dari Johns Hopkins, saya ndak mikirin Harvard lagi."
"Oww!" Elara mangut-mangut. Niatnya mengejek Angga yang ia asumsikan mengambil gelar Magister Kesehatan Publik tersebut dari kampus kurang terkenal, terpaksa gigit jari. Rupanya pria itu lulus dari kampus terbaik di bidangnya. Orang ini cacatnya di mana, sih? rutuknya dalam hati.
"Jadi, apa perbedaan paling signifikan antara hidup di Amerika dengan hidup di Indonesia?"
Angga terdiam selama beberapa detik. "Kamu tahu ndak?" Tiba-tiba raut wajahnya berubah sangat serius.
"Ya?" Elara menunggu dengan jantung berdebar.
"Di Amerika itu, untuk membeli segenggam cabai saja, atau sebutir lada," Angga mendekatkan kepalanya kepada Elara, sekaligus merendahkan intonasi suaranya. Tatapannya makin intens melihat Elara juga menantikan jawabannya. Angga kemudian berbisik kecil, "Kita bayarnya pakai dolar, El."
"Semprul!" maki Elara sambil mendelik. Ia sudah serius menyimak kata demi kata, berharap sesuatu yang dramatis keluar dari mulut Angga. Tetapi pria memberikan jawaban out of the box dan nyeleneh, membuat Elara ingin menimpuk kepala Angga dengan panci penggorengan. "Ya iyalah pakai dolar, masa pakai gulden?!" omelnya jengkel.
Angga tertawa terbahak-bahak. "Coba kamu bisa lihat ekspresimu tadi, Elara. Astaga, memangnya apa yang kamu harapkan? Something cruel?"
Elara menahan dongkol dalam hati. Harus ia apakan si Emerald ini? "Sekarang kamu ngerti, kan, kenapa saya itu bawaannya kesel sama kamu?"
"Maaf." Angga nyengir lebar.
Elara mengibaskan tangannya. "Kenapa nggak sekalian ngambil Ph. D? Kamu, kan, punya banyak uang?"
"Hmm, saya punya tiga kata mengenai Ph. D."
"Apa itu?"
"Permanent head damage." Angga tertawa. "Risetnya bikin capek."
"Memang, sih."
"Tadinya sembari kerja, saya sekalian ngumpulin bahan riset buat lanjut ke Ph.D. Ndak tahunya keenakan kerja, risetnya terbengkalai, kemudian Mami nyuruh pulang. So bye. Here I am."
"Sayang banget, ya."
"Saya nggak terlalu ngoyo dalam pencapaian akademis, El. Bisa lulus S2 saja sudah merupakan prestasi besar buat saya. Berbeda dengan Attar. Kalaulah universitas punya program double major untuk gelar dokter spesialis, saya yakin Attar mendaftar paling awal. Dia punya energi besar dalam belajar."
"Nggak ngoyo tapi tetap jadi direktur? Tipikal jaket coklat muda banget, ya?" dengus Elara balas menyindir almamater Angga. "Low profile, humble, tapi juga suka humblebragging."
"Stereotipe." Angga terkekeh kecil kecil.
Tanpa terasa 45 menit telah berlalu. Daging yang tadi direbusnya sudah empuk. Angga menyalinnya ke dalam wadah, kemudian menyiramkan sedikit kuah rebusan ke atas dagingnya, lalu mendinginkannya selama 30 menit ke dalam di kulkas. Tadinya ia hanya ingin memasak menu sederhana yang tidak butuh waktu banyak, tapi demi Elara ia rela menahan lapar sedikit lebih lama.
Sembari menunggu dagingnya dingin, Angga memasukkan bahan-bahan sambal matah ke dalam mangkuk kaca, lalu menyiramnya dengan minyak panas dan mengaduknya sampai tercampur rata.
"Kenapa dulu nggak jadi dokter spesialis aja, sih, Dok? Kayak Papa."
"Capek, El. Jadi koass saja capeknya setengah mampus, apalagi PPDS. Beban kerjanya juga ndak ringan, terlebih untuk spesialisasi mayor. Hidup seperti itu ndak cocok buat saya yang mageran."
Angga juga menceritakan, setelah menyelesaikan internship, ia baru sadar passion–nya bukanlah menjadi dokter. Berbeda dengan Attar yang pusing bila berhadapan dengan manajemen, Angga justru lebih menyukai bidang tersebut.
Ia tidak cocok bekerja dengan tim, tidak cocok tunduk pada senioritas dalam tubuh dunia kedokteran, juga tidak cocok menjadi bawahan. Ia lebih suka memerintah orang lain. Itulah sebabnya ia melanjutkan pendidikannya untuk meraih gelar MARS agar bisa bergabung dalam manajemen rumah sakit. Tepat ketika gelar tersebut sudah berada di tangannya, ia juga menerima LoA–nya dari Johns Hopkins.
Elara menyimak ucapan Angga dengan antusias. Banyak sekali yang diceritakan Angga terkait kultur pendidikan dokter di Indonesia. Beberapa ada yang membuat Elara meringis. Faktor kemanusiaan saja tak cukup menjadi motivasi menempuh pendidikan dokter. Bahkan akhir-akhir ini, nasib dokter apalagi dokter umum tak kalah mirisnya. Mereka harus berpandai-pandai mencari sampingan lain untuk menunjang perekonomian keluarga bila tidak mampu menempuh pendidikan spesialis.
Tiga puluh menit berlalu, Angga mengeluarkan daging dari dalam kulkas. Ia mengiris daging itu dan menaruhnya di dalam wajan penggorengan
"Gimana cara bakarnya? Kamu punya grill?" celetuk Elara.
"Pakai torch saja."
"Wow!" Elara bertepuk tangan kegirangan. Perutnya keroncongan mencium aroma daging yang dibakar dengan penyembur api. "Kayaknya enak."
"Makanan yang dibakar kayak gini ndak boleh sering-sering, ya, El. Zat karsinogennya ndak sehat untuk tubuh," ujar Angga mengingatkan. "Itu sebabnya makanan yang dibakar haram hukumnya bagi pasien penderita kanker."
"Ya, ya, bodo amat!" sahut Elara tak peduli. Ia memenuhi piring dengan nasi dari rice cooker. "Saya lapar."
Hujan di luar belum berhenti. Keduanya mulai makan dengan lahapnya. Elara sampai menambah nasi tiga kali.
"Gimana? Enak?"
Elara menjawab dengan mulut penuh, "Untuk kelas sei sapi ala-ala, ini enak banget, Dok. Saya suka."
Angga tersenyum senang. Melihat selera makan Elara, tak sia-sia rasanya ia memasak sekian lama. "Tambah lagi, El," katanya menyuruh Elara menambah nasi.
"Kenyang, Dok. Kalau begini ceritanya, saya bisa gendut jadi istri kamu. Lain kali bikin lagi, ya."
"Boleh. Tapi lain kali kamu bantuin, jangan cuma bantu ngiris bawang sama cabai saja."
"Siap!" Elara mengangkat jempolnya.
Selesai mencuci piring, Angga mencegat Elara yang hendak kembali ke kamarnya. "Are we friends now?" katanya sambil mengulurkan tangan menawarkan persahabatan. Tatapan matanya hangat dan lembut.
Elara termenung. Ditatapnya Angga sejenak. Ragu. What the hell do you really want, Emerald? batinnya resah.
Ia mengambil keputusan dan balas mengulurkan tangannya. "Friends."
Ketika kulit mereka bersentuhan erat, getaran halus itu pun menyapa relung jiwa Elara malu-malu.
Desiran hangat di darahnya, ia bisa merasakannya. Dan sungguh, ia belum siap untuk itu.
Ah, sial!
***
Note :
Resep sei sapi ala-ala bisa dilihat di Youtube channel Willgoz.