"Hey, Doc, your staff is going viral!"
"Maksudmu, Na?"
"Saya kirim link videonya, ya."
"Oke, terima kasih." Angga menutup telepon. "Pagi, Syila," sapanya ramah pada Syila yang sudah duduk manis di kursinya.
"Pagi, Pak."
Setelah sampai di ruangannya, Angga segera mengusap ponselnya, membuka pesan berisikan tautan sebuah halaman media sosial yang dikirimkan Dena, kenalannya di stasiun TV swasta.
Angga berdecak kecil menonton video tersebut. Tiga orang perempuan berseragam nakes berjoget-joget nyeleneh sambil mempertontonkan ringisan kesakitan pasien di brangkar di samping mereka secara terang-terangan. Kegusarannya makin menjadi-jadi setelah membaca celotehan netizen yang disematkan di kolom komentar. Bukan puluhan lagi, melainkan ratusan. Bukan tidak mungkin setelah siang nanti angka tersebut naik jadi ribuan. Dari seragam dan atribut yang dikenakan pengunggah video, Angga bisa memastikan mereka adalah para pegawai yang bekerja di rumah sakitnya.
"Astaga, ini masih pagi," keluh Angga sebelum meminta Syila datang ke ruangannya. "Panggil kepala komite etik dan kepala keperawatan. Sekarang!" perintahnya setelah Syila datang.
Setelah itu, ia meminta Syila membantunya mengunduh video itu ke ponselnya, sekaligus menyimpan beberapa tangkapan layar komentar untuk mengamankan barang bukti.
Tidak sampai sepuluh menit kemudian, dua orang pria datang berbarengan menemui Angga. Ia menyilakan keduanya duduk. "Anda berdua sedang sibuk? Saya butuh bantuan."
Kepala keperawatan menjawab, "Ada yang bisa saya bantu, Dok?"
"Mohon maaf saya mengganggu waktu Anda berdua," mulai Angga sebelum menuju inti pembahasan. "Sudah ada yang melihat ini?" Ia menyodorkan ponselnya kepada kedua bawahannya tersebut. "Apakah artis dadakan ini berasal dari rumah sakit kita?"
"Dari seragamnya benar, mereka pegawai kita, Dok," kata kepala bagian keperawatan memastikan setelah melihat video di ponsel Angga. "Sepertinya baru diunggah tadi malam," tukasnya.
"Anda kenal secara pribadi dengan mereka?"
"Tidak, Dok."
"Ada kode etik yang dilanggar?"
Pria itu mengangguk. "Video ini mengekspos privasi pasien," terangnya menyebutkan pelanggaran terhadap salah satu kode etik yaitu perlindungan terhadap privasi dan kerahasiaan pasien selama menjalani perawatan medis.
"Saya akan kirimkan salinan video ini ke ponsel Anda. Silakan koordinasikan dengan para jajaran Anda, cari identitas ketiganya, lalu bereskan. Cari tahu juga apakah pasien yang terekspos di video tersebut menyetujui tindakan nakes kita atau tidak. Bila terbukti mereka melanggar kode etik, hari ini juga minta divisi kepegawaian untuk melayangkan surat pemberhentian," tegas Angga tanpa basa-basi.
"Baik, Dok."
"Terima kasih." Angga menatap kepala komite etik lalu meminta pria itu mengumpulkan jajarannya untuk menggelar meeting membahas fenomena meresahkan para generasi muda di media sosial belakangan ini. "Tolong ingatkan lagi kepada para pegawai terutama nakes tentang kode etik profesi masing-masing, Dok. Jaga privasi dan kerahasiaan pasien. Saya tidak mengurusi media sosial para pegawai saya. Mereka mau joget nyeleneh, mau salto, mau kayang sekalipun di depan kamera saya tidak peduli. Tapi tolong berhati-hatilah bila memakai atribut apa pun dari rumah sakit kita yang nantinya akan mempertaruhkan kredibilitas kita. Nama baik serta reputasi kita tergantung dari seberapa baik pelayanan kita kepada masyarakat."
"Baik, Dok. Segera ditindaklanjuti," ujar pria itu.
"Satu lagi, tolong persiapkan diri untuk melakukan klarifikasi ke media bila diperlukan. Siapkan juga tim hukum bila pasien yang terekspos di video tersebut melayangkan tuntutan."
Setelah masalah yang mengganggu pagi itu beres, Angga kembali meminta Syila datang ke ruangannya. "Apa jadwal saya hari ini?"
"Pukul sepuluh nanti ada meeting dengan para direktur rumah sakit se–Jabodetabek di Ibis Hotel, Pak."
"Bahan-bahannya sudah siap?"
"Sudah, Pak." Syila mengusap komputer tabletnya. "Barusan kepala bagian farmasi minta bertemu dengan Bapak."
"Masih ada waktu, kan?" Angga melirik jam tangannya, lalu meminta Syila mempersilakan kepala bagian farmasi menghadap kepadanya sebelum ia berangkat ke lokasi meeting.
Beberapa detik sebelum yang bersangkutan datang menghadap Angga, Syila kembali mengetuk pintu untuk memberikan laporan terbaru. "Videonya sudah dihapus para pelaku, Pak. Identitas mereka juga sudah dikantongi. Ketiganya masih dalam masa probation," ringisnya. "Satu lagi, Pak, mereka membuat video tanpa consent pasien."
"Ck-ck-ck!" Angga geleng-geleng kepala, kemudian mengibaskan jemari di lehernya.
Syila langsung paham. "Di–copy, Pak!" tandasnya sebelum keluar dari ruangan Angga untuk kemudian menghubungi bagian kepegawaian.
***
"Ini laporan yang lo minta kemarin, El."
"Thanks, Feb," sambut Elara kemudian membolak-balik laporan audit pajak tersebut sepintas lalu. Ia melirik jam tangannya, jam istirahat siang sebentar lagi menjelang. "Lo makan siang di mana? Mau bareng?" ajaknya pada Febi, rekan kerjanya.
"Oke." Febi menyambut dengan dengan senang hati.
Keduanya buru-buru turun ke lantai tiga gedung tersebut dan menyambangi sebuah restoran. Elara memesan bistik ayam sebagai menu makan siangnya.
"Lo udah dengar gosip terbaru belum?" Febi menyesap minumannya.
"Apaan?" sambut Elara tak acuh. Gosip adalah bagian tak terpisahkan dari keseharian kantor. Elara tidak terlalu mengikuti, enggan terlibat terlalu jauh dalam hal-hal yang tidak akan menambah produktivitasnya.
"Anak-anak bergosip lo bakalan hengkang dari perusahaan," celetuk Febi memulai percakapan.
"Hah?" Elara melongo. "Info dari mana, tuh?"
"Biasalah. Si Ruben."
"Dia lagi? Nggak ada bosan-bosannya itu anak," Elara mendengus. "Punya dendam kesumat apa, sih, dia sama gue?"
Sudah lama terdengar selentingan kabar bahwa Ruben berambisi mengincar posisi Elara. Bukan hanya itu, Ruben juga digadang-gadang akan menggantikan posisi Elara nantinya. Namun hal itu baru akan terealisasi karena dua hal. Satu, Elara resign atau pindah ke perusahaan lain. Dua, Elara naik jabatan. Dan kedua opsi tersebut takkan terjadi dalam waktu dekat. Elara sudah menghubungi headhunter yang mewawancarainya tempo hari dan menyatakan penolakan.
"Gosipnya, lo dapat tawaran dari Big Four company."
Elara terbahak kecil. "Gue udah nggak cocok kerja di Big Four, Feb. Itu mah buat anak-anak muda yang tulangnya masih kuat. Gue udah gaek, capek. Pernah magang tiga bulan di sana aja gue udah babak belur, tiap hari kerja lembur melulu," akunya menceritakan beban kerja selama menjalani internship di salah satu kantor akuntan publik ternama berskala internasional.
"Lagian gue udah nikah. Gue butuh work-life-balance biar rumah tangga gue nggak ngaco," tambahnya.
Ia tidak tahu akan seperti apa rumah tangganya bersama Angga ke depannya. Lucunya, meski sama-sama menjebakkan diri dalam pernikahan tanpa saling mengenal satu sama lain, interaksi mereka makin hari makin intens. Jangan salah paham, mereka hanya berteman, bukan terlibat sesuatu yang romantis. Angga mendekatkan diri sekaligus menjaga jarak aman. Elara pun begitu, takut salah mengartikan sikap Angga. Ia berhati-hati agar tak terjebak perasaan, padahal Angga hanya menganggap kebaikan hatinya sebagai bagian dari kemanusiaan.
Untuk saat ini, pernikahan tak lagi menjadi beban, melainkan sebuah relasi yang menyenangkan. Ada saja yang mereka bicarakan serta tertawakan bersama menjelang berangkat ke peraduan. Dengan catatan Angga atau Elara tidak sibuk lembur dengan pekerjaan.
Hidup mereka bergerak cepat dari weekend ke weekend. Pada setiap akhir minggu selalu ada cerita baru. Elara tak lagi membiarkan Angga sibuk sendiri membersihkan rumah. Ia juga turun tangan, sekadar menyapu atau membersihkan debu. Angga juga rajin mengajak Elara berlari-lari pagi di arena sekelilling apartemen. Namun ending-nya selalu sama. Baru sebentar berlari, Elara sudah terjebak di gerobak bubur ayam Pak Warno, bubur ayam paling enak di seantero Jakarta Timur.
***
"KYAAA!" Elara buru-buru menutup mata dengan telapak tangan, lalu bergegas keluar dari kamar mandi. "Lain kali pintunya dikunci dari dalam dong!" tegasnya jengkel. Ia bersandar di balik pintu kaca buram tersebut sambil menepuk-nepuk dadanya yang bergemuruh.
Salah satu resiko kamar mereka terhubung ke satu kamar mandi yang sama, mereka harus memakai kamar mandi secara bergantian. Bila Elara sedang mandi, ia akan mengunci akses ke kamar Angga dari dalam.
Pipinya bersemu. Saat masuk tadi, Angga sedang menggosok gigi, hanya mengenakan boxer hitam pendek untuk menutupi organ intimnya. Bentuk tubuh pria itu membuat darahnya berdesir. Jangkung dan seksi. Bokongnya ... ah, sial!
"Kamu ngintip, El? Masuk saja, ndak usah malu!" teriak Angga dari dalam.
Lamunan Elara terputus.
"Siapa yang ngintip? Dasar c***l!" makinya segera menjauh. Terdengar Angga tertawa lepas dari dalam sana. Elara semakin keki.
***