Tiga Belas

3007 Kata
Satu bulan berlalu semenjak pernikahan mereka, hubungan Angga dan Elara bagaikan air dan minyak, saling menghindari satu sama lain. Atau lebih tepatnya, Elara yang menghindari Angga. Angga memaklumi sikap Elara tersebut. Perempuan itu meneriakinya sebagai penipu di malam pernikahan mereka yang membuat Angga terpaksa tidur di sofa ruang tamu, sedangkan Elara di kamar. Nyamannya presidential suite yang mereka tempati terasa tak ada maknanya. Kemarahan Elara dimulai dari status Angga yang ternyata straight, ditambah lagi Angga memaksa mencuri ciuman dari Elara—sesuatu yang tidak ia sesali sama sekali. Angga hanya menyesal hubungan mereka memburuk. Alih-alih berteman seperti harapan awal, melihat dirinya pun Elara tampak tak sudi. Kala perempuan itu pindah ke apartemennya, mereka nyaris tak saling bicara, tak peduli seberapa kerasnya Angga mencoba. Elara hanya pintar berakting di depan keluarga besar mereka. Perempuan itu pergi bekerja ke kantornya di bilangan Jakarta Selatan pukul setengah tujuh pagi tanpa sarapan terlebih dahulu. Sementara Angga pada rentang waktu tersebut baru saja kembali dari rutinitas lari paginya. Ia berangkat ke rumah sakit pukul setengah sembilan karena jaraknya yang tergolong dekat. Malam pun demikian. Tatkala Angga pulang, Elara belum pulang. Tak jarang pula sebaliknya. Bila mereka terpaksa berpapasan, Elara buru-buru masuk kamar dan mengunci pintu. Mungkin takut dilecehkan oleh suaminya sendiri. Tidak ada drama bulan madu. Elara menolak ide itu mentah-mentah beralasan tidak mengambil cuti tambahan dari kantor. Alasannya diperkuat oleh Angga yang mengaku banyak pekerjaan. Alhasil orang tua mereka tak lagi memaksa. Dua hari setelah menikah, keduanya kembali tunggang langgang melakoni drama kehidupan yang tak ada matinya, dan berjanji pada orang tua mereka akan berbulan madu pada suatu hari nanti. Sabtu sore itu Angga baru saja pulang bermain tenis. Memasuki lobby apartemen, ia terkejut melihat ibu mertuanya sedang duduk menunggu di sana. Perempuan itu langsung berdiri menyambut kedatangannya. "Mama?" Angga buru-buru menyalami Mama Nora. "Udah lama? Kenapa ndak ngabarin dulu? Kalau tahu Mama datang, saya bisa pulang lebih cepat," berondong Angga dengan pertanyaan. "Ndak apa-apa. Mama kebetulan lewat, jadi sekalian mampir." Nora tersenyum tipis. "Baru pulang main tenis? Elara mana? Kok, telepon Mama nggak diangkat, ya?" "Tadi keluar, Ma, ada keperluan," sahut Angga. Padahal ia tidak tahu sama sekali di mana keberadaan Elara. Yang ia tahu, kamar istrinya kosong saat ia berangkat tadi. "Ayo, kita ke atas, Ma," ajak Angga. "Siapa tahu El sudah pulang." "Anak itu suka semaunya," gerutu Nora pelan. Di dalam lift mereka saling bertukar kabar. Setelah Angga menikah, baru kali ini mereka bertemu lagi. Biasanya Angga hanya rajin menyapa kedua mertuanya lewat chat ataupun panggilan telepon. Dari Mama Nora Angga tahu bahwa ayah mertuanya kini sedang berada di Flores memantau pengerjaan proyeknya. "Flores itu indah," kata Angga. "Mama ndak ikut Papa sekalian liburan? Kalian bisa berkencan seperti waktu muda dulu. Toh, anak-anak sudah besar." Nora tersenyum kecil. "Capek. Mama juga sudah bosan ke Flores," katanya berbohong. Sudah pasti suaminya membawa Jihan meskipun status keduanya di mata orang lain hanyalah sebagai bos dan sekretaris. Nora tidak lagi memedulikan keduanya. Namun tak membohongi diri bahwa jauh di dalam hatinya terasa sangat sakit. Itulah konsekuensi dari pilihan yang ia buat. "Silakan masuk, Ma." Angga membukakan pintu. "Makasih." Nora berjalan lambat menuju ruang tamu. "Wow, unit kamu keren, ya." Apartemen Angga merupakan tipe loft yang terdiri dari dua lantai. Begitu masuk, mereka disambut oleh kitchen di sebelah kanan, lemari kabinet serta kamar mandi di sebelah kiri. Desain interior unit itu ala Japanese style yang didominasi warna coklat tua serta perabotan beraksen kayu yang homie dan nyaman. Di depan terdapat ruang tamu yang cukup luas, lengkap dengan deretan sofa empuk dan sebuah televisi berukuran besar. Dinding di belakang televisi dilapisi cermin raksasa yang membuat unit itu terkesan lebih lapang. Sementara di lantai duanya terdapat dua buah kamar yang dipisahkan satu buah kamar mandi di tengah-tengahnya. Untuk seorang direktur seperti Angga, unit itu tergolong sederhana. Nora memaklumi, hampir seluruh keluarga Angga tampaknya low profile sekali. "Angga betah tinggal di Jakarta?" "Betah, Ma." "Ngga kepikiran beli rumah saja?" Angga terkekeh. "Sepertinya belum untuk sekarang ini, Ma. Tinggal di apartemen lebih simple. Fasilitasnya lengkap." "Oh, mungkin nanti, ya, bila kalian sudah punya anak." Angga tersenyum. "Mudah-mudahan, Ma. Doakan saja, ya, Ma." "Pasti, Nak. Semoga kalian diberkahi momongan secepatnya." "Amiin," kata Angga mengamini. Baru saja Nora meletakkan tasnya di sofa tamu, tatapannya tertumbuk ke arah balkon. "Wah, kamu suka pelihara tanaman?" Mata Nora berbinar melihat balkon yang tidak menyisakan ruang untuk kursi atau meja, melainkan diisi penuh oleh tanaman hias beraneka rupa. Hampir keseluruhannya adalah tanaman daun yang tidak memerlukan banyak sinar matahari. Potnya seragam berwarna putih aneka ukuran. Nora tahu persis putrinya tidak suka memelihara tanaman. Elara berkata dirinya sudah terlalu sibuk. Nora tidak menyangka Angga memiliki hobi yang sama dengan dirinya. Angga membawakan dua cangkir teh hangat dan meletakkannya di meja tamu. "Suka, Ma, sekadar pengisi waktu. Tapi kayaknya koleksi saya masih kalah jauh dari koleksi Mama," katanya teringat saat datang ke rumah Elara untuk acara lamaran, rumah tersebut memiliki aneka ragam tanaman hias. "Bisa aja kamu." Nora menunjuk ke sebuah tanaman hias milik Angga. "Raphidhopora ini ada yang daunnya varigata, lho." "Betul, Ma. Mama sudah punya?" "Belum, sih. Mama udah lumayan lama nggak main ke nursery." "Dulu saya pernah beli online dari Thailand, tapi gagal lolos dari Balai Karantina Pertanian. Seller-nya ndak melampirkan sertifikat phytosanitary," tutur Angga. "Apa itu?" Kening Nora berkerut. Angga pun menjelaskan salah satu syarat lolosnya tanaman impor dari luar negeri adalah adanya lampiran phytosanitary certificate yang menyatakan tanaman tersebut bebas dari Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina atau sesuai persyaratan di negara tujuan. "Nggak beli online di sini saja?" "Sudah, tapi yang datang malah beda jenis." "Ck! Memang nggak semua seller tanaman itu jujur berjualan. Coba Mama cek dulu di nursery langganan Mama, siapa tahu ada," kata Nora mencari ponselnya di dalam tas. Selang dua menit kemudian, Nora sibuk berbicara di telepon, lalu setelahnya kembali menyeletuk. "Katanya ada, Nak." "Beneran, Ma? Boleh saya minta alamatnya? Kapan sempat nanti saya singgah." "Nggak usah, kamu kan sibuk. Minggu depan Mama mau ke sana, Mama beliin sekalian." "Wah, terima kasih banyak, Ma," sambut Angga dengan raut gembira. "Enaknya punya Mama yang juga hobi merawat tanaman." "Bisa aja kamu." Nora tertawa kecil. "Hmm, kamu dan El ... baik-baik saja, kan?" sambungnya ragu-ragu. Angga mengangguk. "Kenapa Mama bertanya seperti itu?" "Yah, kalian menikah di waktu yang tergolong singkat. Pastinya butuh penyesuaian banget, kan?" Sedikit banyaknya Nora khawatir terhadap Angga. Pria itu memiliki karakter lembut dan santun. Berbeda dengan putrinya yang cenderung keras kepala. "Sejauh ini baik-baik saja, Ma. Terkadang berselisih paham. Tapi yah, ndak ada masalah besar." "Syukurlah. Maaf, ya, Nak Angga. El itu orangnya keras." "Setiap manusia dilahirkan dengan karakter yang berbeda-beda, Ma," sahut Angga diplomatis. "Hmm ... ", Nora terlihat salah tingkah. "Kemarin Papa ... berpesan apa aja sama kamu?" Kening Angga berkerut memutar ingatannya. Kemudian ia ingat ayah mertuanya berbisik agar ia berhati-hati terhadap Elara. "Maksudnya gimana, ya, Ma? Saya ndak paham." "Kamu dan El tidur ... hem, maksud Mama saat kalian tidur, kamu nggak merasa aneh gitu?" "Aneh?" Angga mengerutkan dahi. Tidur bareng saja belum. "Ndak ada yang aneh, Ma." "Oh, syukurlah." Nora mengembuskan napas lega. "Mungkin kebiasaan El sudah berubah. Dia sudah dewasa." "Maksud Mama?" Nora mengibaskan tangannya. "Ah, lupakan saja." Nora kembali mematut-matut koleksi tanaman hias Angga sembari menyesap teh hangat dari cangkirnya. Sementara Angga berdoa dalam hati semoga saja ibu mertuanya tidak menginap. Bisa gawat urusannya kalau wanita itu tahu dirinya tidak tidur sekamar dengan Elara. Mereka akan diberondong dengan pertanyaan. Motif absurd mereka menikah jelas akan ketahuan. Angga mencuri-curi waktu mengirimkan pesan pada Elara. Setidaknya Elara tidak kaget nantinya. Namun, belum sempat pesan itu dibaca oleh Elara, pintu apartemen itu terbuka. Elara muncul membawa cup minuman boba kenikian di tangannya. Kening perempuan itu langsung berkerut melihat keberadaan ibunya. Angga terheran-heran. Mengapa tampaknya Elara tidak senang? "Hai, El. Seru tadi kegiatannya?" sapa Angga berharap Elara bisa membaca kode yang ia berikan. "Oh, iya. Seru banget, Dok." "Kamu ini manggil suami dak-dok, dak-dok. Nggak sopan banget!" sergah Nora mendelikkan mata. "Panggilan kesayangan, Ma," potong Angga menolong Elara sembari merangkul bahu perempuan itu. Elara tampak hendak memberontak, tetapi Angga memperkuat rangkulannya. "Ya, kan, Bu Manager?" "Ehem." Elara mengangguk kaku. "Kamu ke mana saja, El? Ini weekend, lho." "Oh, gathering bareng anak-anak kantor, Ma. Ada VP yang ulang tahun." "Nggak bawa pasangan?" "Enggak, cuma buat karyawan aja." Elara memaksakan senyuman. "Mama sudah lama di sini? Kenapa nggak ngabarin dulu?" "Sudah. Mama nelpon nggak kamu angkat." "Oh!" Elara mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya. "Ponselku silent," katanya menunjukkan ponselnya pada ibunya. "Ya sudah, Mama pamit dulu." "Kok, cepat, Ma?" potong Angga. "Ndak makan malam di sini dulu?" "Nggak usah, Nak. Tadinya cuma mau mampir. Syukurlah kalian sehat." Elara meletakkan tas dan minumannya, berniat mengantar ibunya sampai ke bawah. Namun, baru saja keluar dari pintu, ibunya sudah memberondongnya dengan omelan. "Kamu itu sudah punya suami, harusnya weekend itu kalian habiskan bersama-sama, jangan kelayapan melulu kayak masih gadis. Nanti Angga direbut pelakor, tahu rasa kamu!" "Biarin aja dia direbut pelakor, itu tandanya dia murahan," sahut Elara sekenanya. Nora menghela napas panjang. "Kalian, kan, belum lama saling mengenal. Kalau masing-masing sibuk kerja, kapan kalian punya waktu berkualitas bersama? Kapan kamu bisa punya anak? Umurmu itu sudah tiga puluh, El, Nanti kamu susah hamil." El langsung memasang wajah datar. "Nggak usah sok perhatian juga kali, Ma." "El, Mama bukannya sok perhatian. Tapi—" "Lalu apa? Ngerecokin? Recokin tuh si Tira, anak kesayangan kalian. Aku nggak terbiasa diperhatikan sama Mama. Memangnya selama ini Mama ke mana aja? Kenapa baru sekarang perhatian sama aku? Mama di mana sewaktu aku kelaparan di kosan nggak ada uang buat beli makan? Sibuk menggelar pesta ulang tahun mewah buat anak kesayangan Mama, kan? Kepikiran nggak sama aku? Haram jadah, Ma!" "El?" Nora terbelalak. Syok. Mukanya memucat melihat kilatan amarah di mata Elara. "Satu lagi. Mama pikir tujuanku menikah cuma untuk beranak pinak memuaskan ego Mama karena punya cucu dari aku? Biar Mama bisa pamer pada teman arisan Mama? Bukannya si Tira sudah punya anak? Pamerin tuh si Raka. "Nggak usah sok peduli sama aku. Salah satu alasanku menikah adalah agar kalian nggak lagi ngatur-ngatur hidupku. Memangnya setelah aku punya anak, tuntutan Mama bakalan berhenti? Enggak, kan? Setelah itu Mama menuntutku melahirkan anak lagi? Sampai kapan, Ma? Sampai aku punya tim kesebelasan? Setelah itu apa? Sakit tahu, Ma, dituntut melulu tapi Mama enggak mengakomodir hidupku dengan baik. Privilege banget, ya, jadi orang tua? Gimana kalau aku nanya kapan Mama mati? Sakit nggak?" "El!" bentak Nora ternganga. Hatinya sakit sekali mendengarkan ocehan putrinya. Bola matanya dipenuhi kaca-kaca bening yang hampir tumpah. "I'm done with you, Ma. Get away from my life. Could you?" pungkas Elara lelah. Akumulasi amarah dan ketidakadilan yang Elara tanggung selama bertahun-tahun meledak dalam satu kali sembur. Itu pun belum seluruhnya. Begitu ia membalikkan badan, ia baru sadar pintu itu belum sepenuhnya tertutup. Tidak jauh dari lemari kabinet, Elara melihat Angga mematung. Pria itu menatapnya tak berkedip. Beragam pertanyaan membias di bola matanya. Sial! Sudah pasti Angga mendengarkan pertengkaran Elara dengan ibunya. Kala Angga membuka mulutnya untuk bicara, Elara langsung mendesis, "Jangan ikut campur!" Setelah mengatakan itu, Elara berlari ke kamarnya di lantai dua. Angga bengong sejenak. Bojoku galak tenan. Kesurupan di mana dia? Saat tersadar dari kebingungannya, Angga buru-buru keluar menyusul ibu mertuanya. Sayangnya, perempuan itu sudah menghilang. *** Angga bersantai sambil melanjutkan pekerjaannya di kamar dengan laptop berada di pangkuannya. Ia menoleh sebentar meraih ponselnya yang berdering. "Ya, Mam?" "Kamu di rumah, kan? Mami dan Jani sebentar lagi sampai. Jemput Mami ke bawah." "Hah?" Angga melongo, lalu tergagap. "I–iya, Mam." Setelah sambungan terputus, Angga sontak berlari tunggang langgang ke kamar Elara. "El!" panggilnya sambil mengetuk pintu keras-keras. "El?" ulangnya kala tak ada jawaban. Ia memutar handle, tapi pintu itu terkunci dari dalam. "Apaan?" Elara muncul beberapa detik kemudian dengan hanya membukakan sedikit daun pintunya. Raut wajahnya waspada. "Mami dan Jani mau ke sini." "Hah?" Elara terbelalak, lalu matanya setengah terpicing. "Kamu mau nipu saya lagi, ya, Dok? Nggak mempan!" "Saya serius, El." Angga menunjukkan riwayat panggilan di ponselnya. "Mami sudah hampir sampai." "Terus kenapa? Apa masalahnya?" "Masalahnya kita ndak se kamar. Kamu mau kita ketahuan?" "Ow!" Mulut Elara membentuk huruf o besar. "Duh, gimana dong?" "Kemasi barang-barangmu, pindah ke kamar saya." "Kenapa nggak situ aja yang pindah ke sini? Saya mager, nih," kata Elara pura-pura malas untuk mengisengi Angga. "Masalahnya kamar saya jauh lebih besar, El. Apa Mami ndak curiga kalau kita tidur di kamar sempit?" "Benar juga, sih." Elara mangut-mangut mengusap dagunya. "El, please, hurry up!" "Ini di luar kesepakatan kita, loh," tambah Elara lagi. Ingin rasanya ia tertawa melihat raut panik Airlangga. Rasain lu! Angga sontak berkacak pinggang. Raut wajahnya campuran antara pasrah dan gemas. "Oke, kamu mau apa?" "Surprise me!" "Saya isiin saldo e-wallet kamu, gimana?" "Berapa?" "Satu juta." "Dikit amat?" "Sepuluh juta!" Wow, naiknya sepuluh kali lipat! "Hmm ... not bad, sih" Elara pura-pura berpikir sejenak. "Deal!" Setidaknya ada yang bisa Elara manfaatkan sebagai balasan atas sakit hatinya, bukan? Ponsel Angga berbunyi lagi. "Oh my!" keluhnya. "Buruan!" perintahnya pada Elara. Elara pun bergerak kocar-kacir meraup baju-bajunya yang tergantung di lemari, kemudian masuk ke kamar Angga melewati kamar mandi yang bisa diakses dari kamar mereka masing-masing. Ia melemparnya serampangan ke atas tempat tidur. Angga pun ikut sibuk mengemas koleksi tas serta sepatu Elara. Setelah itu, merapikan seprai yang acak-acakan. Tatkala pandangannya tertuju ke meja rias, Angga pun menyeletuk. "Ini apa, El, banyak amat?" gumamnya mengangkat botol-botol kosmetik yang tidak ia kenali satu persatu dengan tampang terheran-heran. "Itu namanya skin care." Elara merebut botol di tangan Angga dan memasukkannya ke dalam dus kecil. Sisa kosmetik di atas meja pun ia raup dan satukan dalam dus itu. Semoga saja nanti tidak ada botol yang pecah. "Beres." "Kenapa banyak sekali?" Elara memutar bola matanya. "If you can't make it good, make it look good." "But you're already good." Elara melotot. "Situ nggak usah menggombal, bisa?!" "Oke." Angga menatap ke sekelilingnya sambil berpikir, kira-kira apa lagi yang tertinggal dan bisa membuat ibunya curiga. Ponsel di sakunya berbunyi lagi. "Ya, Mi?" "Kamu di mana to?" "Mami sudah sampai?" tanya Angga polos. "Sebentar, aku turun dulu." Angga memberi kode melalui lirikan matanya, dibalas oleh Elara dengan ibu jari terangkat. Elara mengelap keringat di dahinya. Ia berkacak pinggang sebentar. Mimpi apa dirinya hingga malam ini harus tidur se kamar dengan si impostor itu? Ck, nyusahin aja! Setelah dirasa beres, Elara segera turun ke lantai dasar. Selang beberapa menit kemudian, ia mendengar pintu terbuka. Elara langsung berdiri menyambut kedatangan mertuanya. "Kenapa malam banget, Mi?" tegurnya sambil membalas pelukan sang ibu mertua. "Mami dari mana?" "Pas banget baru dari Jogja. Nih, Mami bawain oleh-oleh buat kamu," kata Irene mengulurkan paperbag berisikan makanan yang dibawanya dari Yogyakarta. "Semoga kamu suka, ya." "Terima kasih, Mam." Elara meletakkan oleh-oleh tersebut di atas meja dapur. "Barang-barang Mami mana?" "Di dalam sini, Mbak," celetuk Anjani menunjuk ransel kecil di punggungnya. "Kami cuma dua hari, jadi gak bawa banyak barang. Seperlunya saja." Elara diam-diam membuang napas lega dan saling mencuri lirikan mata dengan Angga. Syukurlah hanya dua hari. Mengingat panasnya ciuman Angga pada malam pernikahan mereka, Elara bergidik ngeri. Bisa-bisa ia diperkosa. Ingatkan dirinya untuk terus terjaga di sepanjang malam nanti. "Mami dan Jani sudah makan?" tanya Angga bersiap dengan ponselnya untuk memesan makanan lewat aplikasi ojol. "Sudah. Ndak usah khawatir, urusan perut itu nomor satu." "Ya sudah, Mami istirahat dulu di kamar," kata Angga melirik jam tangannya. Elara mempersilakan mertua serta adik iparnya ke kamar. Jantungnya berbunyi dag-dig-dug di rongga d**a, semoga saja keduanya tidak curiga. Ia sudah mengganti seprai dan bed cover dengan yang baru agar kamar tersebut benar-benar bersih. Elara meringis mengingat kamar Angga yang kini bak kapal pecah karena barang-barangnya yang menumpuk. *** "Now what?" Angga berkacak pinggang menatap kekacauan singkat di kamarnya. Tumpukan baju-baju serta tas Elara menguasai tempat tidurnya. Aneka rupa sepatu berserakan di lantai kamar. Dua buah dus berisikan pernak-pernik dan beragam skin care mengambil alih meja kerjanya. "Lemarinya mana?" tanya Elara. Ketika Angga menunjuk lemari pakaiannya yang keseluruhannya ditempeli cermin, Elara bergegas ke sana. Ia menepikan pakaian Angga kemudian menyusun pakaiannya. Seketika space yang tersisa menjadi penuh dan pengap. Angga membantu menyusun tas dan sepatu Elara di lantai. Pekerjaannya rapi sekali, sampai-sampai Elara berdecak takjub. Jarang-jarang ia menemui pria serapi Angga. Biasanya kaum adam serimg disebut sebagai makhluk paling jorok dan serampangan. Bahkan Elara tak menemui setitik debu pun di kamar Angga. "Saya tidur di ranjang, kamu di sofa," celetuk Elara segera mengamankan posisinya. "Di sini ndak ada sofa, El. Masa saya tidur di bawah?" "Ya terserah situ. Di lantai, kek, atau di kamar mandi." "Jangan bercanda." "Terus, gimana, dong? Jangan bilang kamu mau tidur sama saya, ya, Dok. Saya gorok lehermu nanti," ancamnya. "Kamu berani?" Angga berjalan perlahan mendekati Elara. Tatapannya tak berkedip terhunus ke mata perempuan itu. Elara mundur teratur. Ia terduduk di pinggiran tempat tidur kala tersudut. Napasnya tertahan melihat sang suami menatapnya intens. "Kamu mendekat, saya teriak!" ancamnya panik. Angga mengangkat alisnya. Sudut bibirnya tertarik ke atas. Lucu. Perempuan itu berani mengancamnya tetapi sorot matanya yang ketakutan tak bisa dia sembunyikan dengan lebih baik. "Kita sama-sama tidur di sana," kata Angga mengambil keputusan, lalu bergerak menyusun sisa bantal di tengah-tengah untuk membatasi mereka. Jam dinding menunjukkan pukul sebelas malam. "Ayo tidur," katanya. Elara membaringkan tubuhnya dengan hati-hati. Ia meraup selimut dan menutupi tubuhnya sampai batas leher. Kedua tangannya berada dalam posisi waspada, menunggu Angga bila tiba-tiba pria itu bertindak agresif. Hingga pukul satu dini hari, tak ada sesuatu pun yang terjadi. Angga masih bersandar ke kepala ranjang dengan bantal di punggungnya sambil menyibukkan diri dengan laptopnya. Elara kian mengantuk. Tanpa sadar matanya terpejam. Lalu, ia terlelap, larut ke alam mimpi. Pukul setengah dua dini hari, Angga menyingkirkan laptopnya. Ia melirik Elara yang tertidur pulas. Bibirnya mengulas senyuman tipis melihat damainya raut wajah perempuan jutek tersebut. "Good night, El," bisiknya. Angga meredupkan lampu tidur, kemudian membaringkan diri. Rasanya baru sebentar Angga tertidur. Tahu-tahu ia terlonjak kala rasa nyeri yang teramat sangat mengentak di selangkangannya. "Ugh–oh!" Angga mengerang sambil meringkuk kesakitan memegangi sela pahanya. "MY BALLS!" *** Happy satnight, genks. ??
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN