BAB 3

4298 Kata
Gue mendapat telepon pagi-pagi bukan untuk pergi ke kantor, melainkan ke apartemen bos. Gue nggak mengerti apa mau bos yang suka seenaknya itu. Gue hanya menurut saja. Toh, selama kerja sebulan sama dia gaji pokok terbukti nyata dan fee untuk tugas luarnya lumayan banget meskipun gue harus megang-megang dalamannya setiap dia mau tugas luar. Untung saja gue nggak disuruh mencuci baju-bajunya dan merapikan apartemennya karena dia nyewa jasa layanan kamar dan juga laundry. Kalau ya, job gue tidak hanya asisten pribadi, namun asisten rumah tangga juga. Apartemennya terasa sangat sepi, seperti tidak berpenghuni. Lampu masih menyala terang, padahal matahari sudah lumayan tinggi. Gue pun mematikan lampu-lampu yang ada dan mengecek kamar bos. Satu-satunya tempat yang paling memungkinkan untuk menemukannya, dan benar saja, gue melihat bos masih tidur di kasurnya, bergulung dalam selimut kayak kepompong. Gue menyingkap selimutnya dan menepuk pundaknya pelan untuk membangunkan, tapi gue merasa suhu badannya lumayan panas, jadi gue menaruh punggung tangan gue di dahi bos. Bos mulai membuka matanya dan gue langsung menyingkirkan dengan pelan tangan gue dari dahinya. "Saya sudah di sini Bos," kata gue dengan kikuk. "Saya nggak ke kantor hari ini," timpal bos. Ya terus? Kenapa gue dipanggil ke sini? Kerjaan gue di kantor kan banyak. "Kamu hari ini kerja di sini. Urusan yang di kantor ditunda dulu. Bantu saya mempersiapkan bahan presentasi besok. Ambil laptop saya," titahnya dengan suara parau. Gue pun menurut dan mengambil laptop yang ada di mejanya. Bos mulai bangun dan menyandarkan badannya di kepala ranjang dengan susah payah. Kayaknya sakit beneran ini orang, tapi masih mau kerja aja. Gue pun memberikan laptopnya yang langsung dia terima. "Ada lagi yang bisa saya bantu Bos?" "Duduk di sana sampai saya suruh lagi nanti," ucap bos sambil menunjuk kursi yang ada di kamarnya. Gue pun mengikuti perintahnya untuk duduk di sana. Waktu terus berlalu dan bos masih sibuk dengan laptopnya. Kerjaan gue hari ini cuma ngeliatin dia seharian aja apa? Bingung gue mau ngapain karena dia tidak menyuruh apa pun. Suasana ini mengingatkan gue akan proses interview dulu. Pantas saja cara mencari asistennya begitu, orang kerjaannya kurang lebih seperti itu. "Kamu boleh buka blazer kamu, ini bukan di kantor," kata bos tiba-tiba. Sepertinya dia mulai menyadari gelagat gue yang kebingungan. Gue cuma menganggukan kepala dan membuka blazer, hingga gue hanya mengenakan kemeja dan rok span di atas lutut. Gue masih terdiam dan duduk di tempat untuk melihat bos yang masih serius dengan laptopnya sampai dia mulai terlihat gelisah. Tidak lama, bos menaruh laptopnya di meja nakas dan kembali tiduran di kasurnya. Gue pun berdiri untuk menghampirinya. "Apa udah selesai Bos?" Bos tidak menjawab, dan malah meringis. Gue pun mengecek suhu tubuhnya yang ternyata semakin tinggi dari sebelumnya. "Bos, Bos sakit?" Dia masih terdiam. Dasa kepala batu! Kalau sakit ya bilang. Ini malah maksa kerja. Gue pun mencari handuk kecil di dalam kamar mandi untuk mengompres dahinya. Setelah selesai mengompres, gue pamit ke dia untuk membelikan obat. Setelah membeli beberapa bahan makanan, gue pergi ke apotek terdekat untuk membeli obat, gue menggunakan dapur apartemen bos untuk memasak bubur. Selama sebulan bareng si bos, gue tau dia rewel dan pemilih soal makanan. Gue nggak mungkin membelikan dia bubur pinggir jalan, yang ada gue dipecat. Dengan menggunakan bahan sederhana seperti d**a ayam, wortel dan juga kacang polong, akhirnya bubur itu jadi. Bos masih terbaring lemah di kasurnya. Gue mengambil kompresannya dan membangunkan si bos untuk makan dan meminum obatnya. Bos masih terlihat lemas, pandangannya pun tidak fokus. "Bos? Bos bisa makan sendiri?" tanya gue sambil menaruh nampan di atas meja nakas. Dia hanya menjawab dengan gumaman tidak jelas, wajahnya mengernyit seperti menahan rasa sakit. Pada akhirnya gue memutuskan untuk menyuapinya sedikit demi sedikit. Setelah selesai makan dan minum. Gue pun memberikan obat yang sudah gue beli. Bos menyipitkan matanya dan berkata, "saya nggak bisa minum obat," Anjir lah! Udah gede gitu kelakuan playboy masa nggak bisa minum obat sih?! "Terus biasanya gimana? Emang Bos nggak pernah sakit sebelumnya?" "Digerus," jawabnya dengan sedikit salah tingkah. Gue antara kesel sama mau ketawa mendengar jawabannya. Pada akhirnya gue tetap menggerus obatnya dan menyuapi dia lagi untuk minum obat. Kayak bayi aja! "Bos istirahat aja, saya akan reschedule jadwal untuk hari ini dan besok," usul gue yang dia iyakan. "Cuma hari ini sama besok aja. Lusa jangan." "Makanya sehat dulu Bos," kata gue yang dia jawab dengan anggukan. Setelah beberapa saat dia mulai memejamkan matanya dan napasnya mulai teratur, sepertinya tertidur. Karena bingung harus melakukan apa akhirnya gue membereskan segala yang bisa dibereskan di apartemen bos, meski tidak banyak. Bos sangat rapi dan tertata, barang-barangnya saja diurutkan sesuai tempat dan warna. Setelah selesai membereskan, gue kembali lagi ke kamar bos, ternyata dia masih tidur. Gue pun duduk lagi di tempat yang bos suruh tadi sampai perlahan gue mulai mengantuk. Gue mengerjapkan mata, sepertinya gue ketiduran. Tapi kini gue sudah berada di kasur yang membuat mata langsung melotot. Gue langsung bangun terduduk, kepala gue pusing karena pergerakan yang tiba-tiba. Ini masih di kamar bos, tapi gue sudah ada di ranjang, dan gue tidak menemukan bos gue di mana pun di ruangan ini. Hal yang pertamakali gue lakukan adalah mengecek pakaian gue yang syukurnya masih lengkap. Tidak lama gue mendengar pintu kamar mandi terbuka dan menampilkan bos yang handukan doang. Sialan! Kenapa dia hobi banget handukan di depan gue sih? "Nyenyak tidurnya?" tanya bos dengan nada yang tidak bisa dibilang baik. Waduh. Dipecat gak nih gue? Mati gue mati... Gue bingung mau jawab apa. Pada akhirnya gue hanya tersenyum dan garuk-garuk kepala kayak orang b**o. Jujur gue tertidur dengan nyenyak tadi. Soalnya gue sampai tidak sadar si bos memindahkan gue ke kasur. Eh, tapi tunggu. Gue kan kadang suka jalan kalau lagi tidur. Belum tentu si bos yang pindahin. Gue cuma menggelengkan kepala. Semoga gue nggak ngelakuin yang aneh-aneh pas gue tidur. "Kamu selain cepet tidur, kalau baru bangun lola ya?" ucap bos setengah menyindir. Sakit hati gue, tapi mau gimana, senyumin aja. Untung dia yang gaji gue. Kalau enggak udah gue maki-maki. Gue bangun dan merapikan kasur sampai suara bos menginterupsi. "Sudah waktunya makan siang, saya sudah pesan makanan. Kita makan." Gue pun menganggukan kepala kaku. Muka gue pasti masih cetakan bantal banget karena baru bangun tidur. Nanti gue akan cuci muka di wastafel depan. Bos jalan ke luar kamar, dan gue hanya mengekorinya. "Bos?" panggil gue yang membuat langkahnya terhenti. Untung jaraknya jauh, jadi gue masih bisa mengerem dan tidak menubruk dia. "Apa lagi?" tanyanya ketus. "Bos nggak mau pake baju dulu?" tanya gue gugup. Orang gila! ngajak makan tapi lonya setengah telanjang. Kalau itu handuk tiba-tiba jatoh kan bahaya! "Kamu keberatan?" Sangat bos... sangat... "E-enggak bos, saya sih ABS aja." "ABS?" tanya Bos heran dengan dahi yang berkerut, hal itu membuat umurnya terlihat bertambah lima tahun lebih tua. "Asal Bos Senang," jawab gue. Gue kayaknya salah ngomong, soalnya bos melihat gue dengan tatapan setajam pisau. Mau pulang rasanya, tapi jam kerja gue baru berakhir empat jam lagi. "Kamu lembur malem ini," ucap bos tiba-tiba yang membuat gue membelalak. Asal bos senang sih, tapi nggak gini juga kali! Belum sempat gue mengeluarkan protesan, bos sudah pergi melangkahkan kakinya meninggalkan gue yang masih syok karena disuruh lembur secara mendadak. Akhirnya gue makan di meja makan sama dia dengan keadaan dia yang masih handukan. Sebisa mungkin gue menghindari untuk melihat badannya yang tercetak sempurna. Ini nih yang namanya diliat dosa dan nggak diliat sayang.... "Kamu kalau tidur jangan ngeluarin suara aneh," kata bos yang bikin kunyahan gue terhenti. "Saya? Ngeluarin suara apa Bos?" tanya gue kaget. Jangan jangan gue ngorok lagi?! Kan tengsin! "Sudah dua kali saya tidur sama kamu, dan kamu selalu ngeluarin suara kayak gitu." Please pemilihan katanya jangan ambigu Bos. Kalau ada orang yang denger pasti salah paham ini. Jodoh gue makin jauh aja ntar! "Suara kayak apa Bos?" Bos terdiam sebelum kembali menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. Sedangkan gue masih menatapnya dengan penuh harap untuk menunggu jawaban. "Saya akan rekam lain kali," jawab dia pada akhirnya. No more bos! Nggak ada lagi lain kali untuk tidur sekamar. Gue akan merekam suara gue sendiri saat tidur malam ini. Tapi kalau yang kedengeran bukan suara gue gimana?! "Nggak bisa bos contohin, Bos?" tanya gue penasaran. Bos melihat ke arah gue sekilas. "Saya nggak bisa." Suara apa yang gue keluarkan ya ampun. Jangan-jangan beneran gue ngorok?! "Maaf ya bos kalau saya ngorok," ucap gue tidak enak. Bos mengeluarkan senyum separuhnya yang membuat semua cewek di luar sana histeris. Kalau gue hanya bisa histeris dalem hati karena masih sayang gaji. "Bukan ngorok, suara kamu bikin saya pusing." Ya ampun! ini gue bikin suara segede apa sampe bikin bos gue pusing sih? "Sekali lagi maaf ya, Bos." Kemudian bos menaruh piring bekas dia makan di depan gue. "Kamu cuci," titahnya singkat. Sialan. Biaya tambahan nih seharusnya! Ini kan nggak ada di kontrak kerja! Meskipun di dalam hati ngedumel, tapi gue hanya manggut saja menuruti perintah bos. "Oh iya bos, bos belum minum obat," ucap gue mengingatkan. "Kamu gerus dulu, nanti baru saya minum." Bayi gede ini mah, kelakuan sama umur nggak singkron. Setelah selesai mencuci piring gue masuk lagi ke kamar bos. Ia sudah memakai celana training dan kaos polos yang mencetak d**a bidangnya dengan jelas. Aduh ujian banget punya bos kayak gini. Gue pun mulai menggerus obatnya dan memberikan sendoknya ke dia setelah selesai menggerus, tapi dia tidak mau menerima sendok yang gue kasih. Gue berdecak. "Bos, kalau mau sembuh diminum.” Sekarang gue kayak lagi merayu anak kecil. Jelas-jelas dia udah dewasa dan tau hal yang dilakukan untuk sembuh ya dengan meminum obat. Bos menyeritkan alisnya saat melihat sendok yang berisi obat di tangan gue. Akhirnya gue memberanikan diri untuk memajukan tangan gue ke arah mulutnya, tapi dia malah nahan tangan gue sehingga obat itu berhenti tepat di depan mulutnya. "Saya nggak suka obat," "Bos tadi aja bisa masa sekarang enggak sih!" protes gue dengan sebal. Oke, gue jadi membentak dia. Tapi bukannya marah, kini wajahnya malah kayak anak kecil yang sedang memelas. Saat bos mulai menurunkan tangannya yang ada di tangan gue, gue langsung memencet hidungnya yang membuat dia mangap. Tanpa pikir panjang gue langsung memasukan obat ke mulutnya. Setelah selesai, gue langsung memberi segelas air putih ke si bos yang masih memeletkan lidahnya karena rasa pahit yang cukup menyiksa. "Minum obat aja kok susah," gumam gue dengan sedikit kesal. "Rasanya pahit!" protesnya sambil menggapai gelas yang berisi air di tangan gue. "Kalau manis permen namanya Bos, bukan obat." "Kamu mau ngerasain pahitnya? Sini!" sahutnya dengan kesal. Badan gue ditarik tiba-tiba olehnya sehingga gue terbaring di kasurnya dengan posisi bos di atas tubuh gue. Setelahnya gue bisa melihat dia mendekatkan wajah yang membuat gue panik dan spontan memejamkan mata. Gue bisa merasakan tangan bos memegang rahang gue, dan sebuah benda masuk ke dalam mulut gue. Rasanya dingin... dan pahit. Ini sih sendok yang dia pake tadi! Sial rasa obatnya memang jadi lebih pahit gara-gara digerus! Gue pun membuka mata dan melihat wajah bos yang lagi memamerkan seringainya. Dilihat dari bawah seperti ini entah mengapa dia terlihat jadi jauh lebih seksi dan ganteng. "Pahit kan?" Suara bos membuyarkan lamunan gue. Gue menggelengkan kepala gue untuk menjaga gengsi. Tapi ternyata rasa pahitnya begitu menusuk di kerongkongan yang membuat gue terbatuk. Bos mulai beranjak dari atas gue dan mengambilkan gue segelas air putih yang gue terima tanpa pikir panjang. "Karena kamu sudah membantu saya, kamu saya ampuni, lain kali kalau kamu bertingkah kayak gitu lagi saya nggak akan segan untuk mutus kontrak kerja kamu. Ngerti?" "Ngerti bos," jawab gue diselingi oleh batuk. "Sekarang kamu koreksi kerjaaan yang ada di laptop saya, buat kesimpulan secara garis besarnya dan buat catetannya untuk saya," tukasnya sambil beranjak dari atas kasur dan mengambil remote televisi di atas meja yang cukup jauh dari jangkauannya. Gue hanya menganggukan kepala dan mengambil laptop bos tanpa banyak tanya lagi. Gue mendudukan diri di kursi tempat gue tidur sebelumnya, dan mulai mengerjakan tugas. Gue merasa tidak nyaman dengan posisi sedikit menunduk dengan laptop di pangkuan gue. Beberapakali gue mengubah posisi dengan gelisah, hal itu membuat bos yang lagi nonton TV mendengus kesal. Posisi gue persis di samping TV, jadi si bos pasti bisa melihat semua pergerakan gue yang tidak bisa diam sejak tadi. "Kamu ganggu pandangan saya," ucapnya ketus. Ya terus?! Gue harus ngerjain di mana?! "Saya akan ngerjain di luar Bos," ucap gue pada akhirnya sambil beranjak. "Siapa yang menjamin kamu nggak tidur lagi di luar?" Ucapan bos membuat langkah gue terhenti. "Saya, Bos." "Saya nggak yakin," "Tapi saya yakin!" Sebulan bekerja dengannya membuat gue lebih berani untuk menjawab kata-katanya. Contohnya seperti saat ini. "Tapi saya nggak mengijinkan kamu untuk ninggalin kamar ini, selangkah pun," ucapnya penuh penekanan di akhir kalimat. Damn... Bos kemudian mengeluarkan sebuah meja kecil dari dalam lemarinya dan mengambil laptop di tangan gue. "Kerjain di sini, biar saya bisa ngawasin kamu," ucapnya seraya mengarahkan wajahnya ke ranjang. Nggak dikasur juga dong bos, saya tidur lagi yang ada nanti! "Kenapa? Nggak mau? Yaudah kalau nggak mau saya bisa ca—" "Mau kok Bos!" potong gue sambil naik ke ranjangnya. Dasar tukang ngancem! Gue pun langsung mengambil meja dan laptop yang ada di tangan bos untuk meneruskan perkerjaan yang tertunda. Gue masih fokus mengerjakan pekerjaan sampai bos menyetel film bergenre horor yang sudah pernah gue tonton. Semua tetap tenang selama beberapa saat, sesekali gue mencuri pandang untuk melihat filmnya. Melihat bos sedikit tersentak saat adegan hantu muncul yang membuat gue tertawa dalam hati. Playboy, takut minum obat, takut film horor. Besok apalagi coba aib dia yang bakal gue temuin? "Bos?" tegur gue yang bikin bos kaget setengah mati. "Kamu jangan ngagetin saya dong!" omel bos. Padahal gue negur dengan nada yang cukup halus. Emang pada dasarnya dia yang parnoan dan penakut. "Saya manggil Bos pelan kok," ucap gue melakukan pembelaan. "Ada apa?" tanya dia dengan sedikit kesal. Sepertinya dia kesal karena gue sudah tau soal aibnya. "Sudah saya koreksi Bos, semua udah bener nggak ada yang typo dan saya udah ngerangkum." "Taruh aja di sana. Nanti saya cek," timpal bos sambil menunjuk meja di sebelah televisi dekat tempat duduk gue tadi. Setelah menaruh laptop dan meja kecilnya, gue mulai bergabung dengan bos untuk menonton film. Ia masih saja kaget saat setannya muncul, hal itu membuat gue mendengus geli. "Kenapa kamu ketawa?!" tegur bos dengan kesal. "Saya nggak nyangka aja bos ternyata penakut juga," ucap gue sambil menahan tawa. "Saya nggak takut, cuma kaget," koreksi si bos. Ya... asal bos senang saja lah... bos juga selalu benar. "Kamu udah nonton film ini?" tanyanya yang gue angguki. "Pantes, kamu nggak takut." "Saya udah tau bagian-bagian ngagetin-nya Bos," jawab gue dengan penekanan pada kata ‘ngagetin’. "Kalau gitu kasih tau saya kalau ada adegan ngagetin yang kamu maksud," timpal si bos. Gue cuma diam sebagai tanda mengiyakan. Waktu berlalu dan film terus berlanjut sampai ke adegan menyeramkan berikutnya. "Bos nggak boleh ngedip abis ini karena ada cewe seksi yang bakal keluar," ucap gue bermaksud mengerjai. Ia mulai menatap layar televisi dengan lebih antusias. Dasar playboy, dengar kata cewek seksi dia langsung nahan senyum gitu! Tidak lama kemudian adegan yang gue maksud muncul, dan bos kaget setengah mati, hal itu membuat gue terbahak, gue bahkan sampai memegang perut saking gelinya. "Kamu tuh ya!" bentaknya dengan muka merah menahan kesal juga malu. Gue masih sibuk menahan tawa yang buat muka dia kelihatan semakin keki. "Kamu harus tanggung jawab untuk nginep malem ini di sini, karena saya nggak akan bisa tidur nanti." Tawa gue hilang sudah, dan si bos memamerkan seringainya. Apa-apaan? Setelah lembur, dia nyuruh gue nginep? Ini dia mau bales dendam?! "Saya beliin obat tidur mau Bos?" *** Pada akhirnya gue menginap di apartemen bos. Jangan tanya kenapa, karena bos hanya memberikan gue dua pilihan, antara menginap di sini atau dia menginap di rumah gue, jelas saja gue lebih milih menginap di sini. Bagaimana reaksi bokap nyokap jika dia menginap di rumah gue? Jika gue menginap di apartemen bos, setidaknya gue bisa bilang ke mereka kalau gue lembur dan kemalaman, jadi nginap di tempat teman. Tidak sepenuhnya berbohong kan? Toh, bos memang menyuruh gue untuk lembur, dan ini sudah jam sebelas malam. "Kenapa kamu bohong sama orangtua kamu?" tanya bos begitu gue selesai izin sama bokap. "Di mata saya, Bos emang atasan saya, tapi di mata ayah saya, Bos tetap seorang laki-laki. Kalau ayah saya tau saya nginep berdua doang sama seorang laki-laki ya kemungkinannya cuma dua." "Apa?" "Yang pertama dinikahin, yang kedua dikulitin." "Kamu?" tanya bos gue. "Ya Bos lah! Masa saya," jawab gue kesel. "Yang bikin saya jadi kaget kan tadi kamu, jadi kamu di sini sebagai bentuk pertanggungjawaban." Takut bos bukan kaget... koreksi gue dalam hati. Lagian dimana-mana cowok yang tanggung jawab, ini masa cewek... "Bos, ranjangnya cuma ada satu, saya pinjem bantal. Saya tidur di depan nanti," ucap gue mencoba mengabaikan omongannya soal pertanggungjawaban. Gue menyesal sudah meledeknya tadi. Seharusnya gue bisa mengontrol mulut saat tau kalau si bos ini benar-benar penakut. "Di depan banyak nyamuk, kamu nggak akan bisa tidur." Buset dah... keliatannya doang ini tempat mahal, masa tetep ada nyamuknya? "Terus di mana, Bos?" Bukannya menjawab pertanyaan gue, si bos malah masuk ke dalam walk in closet miliknya, lalu mengeluarkan kasur lipat dan sebuah baju panjang milik dia. "Nih kamu pake, nanti kamu tidur di atas," titah bos sambil melempar bajunya ke gue. Pengertian juga ternyata dia, gue udah gerah banget pake baju kerja dari pagi tadi. "Biar saya yang di bawah Bos, nggak enak, kan bos atasan saya." "Ikuti apa kata saya dari pada kamu nyesel nantinya," tukas bos yang membuat gue menghela napas. Nyesel apa nih? Nyesel jadi nggak tidur di atas dan bisa tidur nyenyak?Ambigu banget. Akhirnya gue memilih masuk ke kamar mandi untuk mengganti baju daripada melanjutkan perdebatan tidak penting ini. Sebelumnya kami juga berdebat soal minum obat, tapi setelah gue iming-imingi dengan permen, masalah pun selesai. Habis minum obat dia jadinya memakan permen, dan itu terbukti efektif dibandingkan dengan memencet hidungnya. Gue jadi tidak diancam diputus kontrak. Dasar bayi! Gue pun keluar dari kamar mandi dan melihat bos sudah berbering di kasur lipatnya. "Malem Bos," ucap gue yang dijawab gumaman singkat sama dia. Baru tadi pagi gue bilang ‘no more tidur sekamar lagi’, sekarang gue tidur bareng lagi sama dia. Kayaknya selama bekerja dengannya gue tidak akan konsisten dengan ucapan gue. "Bos, kalau suara aneh saya keluar, nanti rekamin ya," pinta gue setelah membaringkan diri di kasur. "Kalau sempet," jawab bos gue. Kenapa harus nggak sempet? Setelahnya gue mematikan lampu hingga suasana ruangan kini menjadi temaram. Melihat bos yang masih terjaga membuat bibir gue gatal untuk berucap. "Saya nggak tau kalau Bos ternyata sepenakut itu." "Gak takut, cuma kaget," koreksi bos gue. Ngeles aja terus bos sampe bulan berubah warna jadi merah! Suasana hening dan gue belum bisa memejamkan mata. Si bos yang ada di kasur lipat masih asik memainkan ponselnya. Sesekali ia menolak panggilan nomor yang tidak dikenal. Sepertinya bos memiliki jam malam di mana para perempuan yang sudah dicampakannya sibuk menghubunginya. Karena gue bosan, akhirnya gue memilih untuk mengisengi bos. "Kalau saya cerita serem sekarang bos takut nggak? Bos kan sendirian tuh di bawah, kalau ada sesuatu dari kolong ranjang dengan rambut panjang gimana?" Bos langsung melempar ponselnya dan berlari ke arah kasur, lalu dia ngambil tempat di sebelah gue dan menutupi badannya dengan selimut. Aduh, aturan gue rekam tuh tadi! Kalau orang sekantor tau pasti seru. Seenggaknya gue ada pegangan kalau bos gue ngancem mau pecat gue lagi. "Kamu asisten paling kurang ajar yang saya dapetin," umpat bos gue dari balik selimut. "Makasih untuk pujiannya bos," jawab gue mencoba untuk bercanda. Gue bangun dari ranjang dan beranjak untuk pindah ke kasur lipat yang bos tinggalkan. Tapi tangan bos sudah lebih dulu menahan tangan gue. "Tidur di sini," titahnya. "Wah Bos, ini nggak ada di dalam kontrak kerja," balas gue. "Saya nggak tau apa yang kamu lakukan nanti malem, kamu bisa-bisa ngubah diri kamu jadi setan buat nakut-nakutin saya." "Jadi bos beneran takut?" sindir gue dengan senyum penuh kemenangan. Nggak cuma lo yang bisa ngancem mulai sekarang! "Saya emang takut sama hal-hal kayak gitu tapi seharusnya kamu lebih takut sama saya. Ngerti?!" ancam bos sambil menarik tubuh gue sehingga kembali berbaring di kasurnya. Sialan kepala gue pusing karena oleng secara tiba-tiba! "Tidur cepetan, dan jangan banyak ngedesah. Saya udah puasa dua minggu." MAMPUS GUE! JADI SELAMA INI SUARA YANG DIA MAKSUD??! Waduh gue takut beneran. Salah dikit, habislah gue malam ini. "Obat tidurnya saya beliin sekarang ya, Bos?" *** Semalaman gue tidak bisa tidur karena takut sama bos. Bener kata dia, gue seharusnya lebih takut dengannya. Hal gaib yang dia takutkan tidak akan berefek langsung. Lah, kalau setannya bos gue dan dia khilaf? Habis lah sudah gue. Kalau dipikir lagi seorang Laynata Yisakha benar-benar sosok yang aneh, di novel dan film yang gue baca juga tonton rata-rata sosok bos sepertinya digambarkan mempunyai hidup tanpa cela, baik dari segi finansial, maupun karakternya. Tapi bos gue tidak memiliki itu semua. Hampir semua kejelekan ada padanya selain ketampanan wajahnya yang melampaui batas rata-rata. Sesekali gue mengecek suhu badannya saat malam takut-takut demamnya kambuh lagi, tapi untungnya tidak. Suhu tubuhnya cuma hangat, dan sepertinya kondisi bos mulai membaik. Gue menganggap ini sebagai latihan kalau nanti gue menikah dan punya suami yang lagi sakit. Ketika jam menunjukan pukul tiga gue tidak kuasa menahan rasa kantuk dan ikut terlelap di samping bos. *** Gue mengerjapkan mata begitu mendengar suara alarm pagi di ponsel, dan di saat gue membuka mata, wajah bos berada tepat di depan gue yang membuat gue kaget. Baru bangun aja masih ganteng ya... Gue pun langsung memeriksa baju gue yang ternyata masih utuh, tapi bra gue terasa longgar, sepertinya tali bra gue sudah dicopot. Gue pun menutup d**a gue dan memandang curiga bos gue. "Bos, nggak ngapa-ngapain kan semalem?" "Kamu ngarep saya apa-apain?" Bukan anjir! ini gimana ceritanya bisa copot gini bra gue. "Tapi ini..." aduh gue bingung ngomongnya gimana lagi. Dengan kikuk gue melirik ke arah d**a gue, dan bos gue pun melakukan hal yang sama. Dasar kurang ajar! "Semalem saya lepas, soalnya kamu tidurnya keliatan gelisah," tuturnya dengan santai. Nggak izin dulu?! Astagaaa!!! Gue buru-buru bangun dengan tangan yang tetap melindungi d**a, dan gue masuk ke kamar mandi untuk membenarkan bra. Kepala gue mendadak pusing membayangkan apa yang bos lakukan semalam selama gue tidur. Aduh, si bos tangannya masuk-masuk ke dalem nggak ya semalem. Setelah menjernihkan pikiran, cuci muka dan sikat gigi dengan sikat gigi yang dipersiapkan khusus untuk gue kemarin, akhirnya gue keluar kamar mandi. "Saya pulang dulu Bos, hari ini saya masih harus ke kantor." "Saya antar," "Nggak usah," "Saya bilang saya yang antar," ucapnya tegas. Pada akhirnya gue mengalah, gue memilih untuk diam dan menuruti ucapan bos. Gue menunggu dia mandi dan juga berganti baju. Tidak lama kemudian bos sudah rapi dengan sebuah kaos dan jas yang menutupinya. Pakaiannya tidak seformal biasanya saat ia kerja. "Bos, mau kerja?" "Saya akan ke kantor, tapi bukan untuk kerja." "Terus untuk apa, Bos?" "Menyelesaikan urusan saya," jawabnya ketus seakan terganggu dengan pertanyaan penuh kekepoan yang gue ajukan. Gue nggak mengerti urusan apa yang dimaksud olehnya, jadi gue memilih diam. Akhirnya bos gue mengantarkan gue pulang ke rumah dan menunggu gue yang bersiap-siap menuju kantor. Gue sudah menyuruh dia pergi duluan, tapi dia keras kepala dan bilang mau nungguin gue. Kata dia biar karyawan lain tidak komentar soal gue yang telat, jadinya gue menurut aja. Sampai kantor orang-orang melihat kami dengan pandangan heran. Gue bisa mendengar bisik-bisik karyawan kantor tentang gue yang dengan mudahnya jadi asisten si bos. Awal gue masuk gosip itu memang sudah beredar, hanya saja semua itu bisa gue atasi dengan menunjukan dedikasi gue untuk kantor ini dan hubungan gue yang memang biasa aja sama si bos. Namun untuk saat ini, nampaknya gosip itu mulai berhembus lagi. Gue lagi di dalam bilik toilet saat mendengar suara beberapa orang yang tidak gue kenal di luar. "Pantes ya udah jarang ada cewek yang dateng, jadi bisa main sama asisten sendiri kapan aja." "Asik kali di kantor bukannya kerja malah pangku-pangkuan sama bos ganteng," "Tapi dia termasuk yang paling lama jadi asisten Bos loh," "Service-nya memuaskan mungkin, jadinya Bos nggak ngelepasin." "Gue denger mereka udah mulai dari pas wawancara kerja waktu itu, tiga jam dia ada di dalem ruangan bos. Ngapain coba wawancara kerja tiga jam?" "Gue denger yang paling lama aja setengah jam," "Begitu keluar dia sampe nggak bisa jalan kan? Hahaha, ya ampun gue nggak nyangka ada orang sampe ngejual diri buat cari kerja." "Lo juga naksir Bos kan? Bilang aja lo iri. Yaudah lah itu kan urusan dia sama Bos, kita nggak usah ikut campur." "Gue nggak ngiri, enak aja!" "Bohong, lo kan udah sering ngasih kode ke Bos cuma si Bos aja emang yang nggak ngerespon." "Tapi ini pertamakalinya Bos ada main sama karyawannya sendiri loh, biasanya dia selalu ngambil cewek dari luar kan?" "Ya biar lebih gampang mungkin, jadi dengan modus asisten pribadi jatuhnya." "Padahal lo udah kerja lama di sini ya? Gue kira lo bakal dijadiin asistennya." Karena udah nggak tahan dengan omongan mereka, gue keluar dari bilik toilet yang membuat tiga orang karyawan perempuan itu kaget. Tanpa mengatakan apa pun gue langsung masuk ke dalam ruangan gue dengan perasaan yang campur aduk. Di tengah perasaan yang kacau balau karena percakapan ketiga perempuan tadi, gue mendengar suara pintu ruangan dibuka. "Laynata nya ada?" tanya perempuan itu yang gue jawab dengan anggukan. Lagi-lagi cewek seksi yang dateng... Gue pun mengarahkan tangan gue ke ruangan bos dan cewek itu langsung masuk ke dalam ruangannya tanpa basa-basi. Jadi ini urusan yang dimaksud sama bos gue tadi? Gue pun segera memasang headseat karena tau apa yang selanjutnya terjadi. Gue tidak tau kenapa air mata gue menetes sekarang, karena ucapan jahat karyawan di toilet tadi, karena lagu sedih yang kebetulan terputar, atau karena bos gue yang lagi menghabiskan waktu panasnya bersama cewek tadi di dalam ruangannya. Kalau begini gue jadi ingin resign...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN