Gue menggenggam surat pengunduran diri di tangan dengan gugup. Sudah dua hari surat ini ada di laci kerja, dan gue belum menyerahkannya ke bos. Gue masih tidak yakin akan keputusan ini, tapi kabar burung yang beredar mengenai hubungan gue sama bos semakin hari semakin parah saja, hal itu membuat gue semakin risih. Suasana kerja gue semakin tidak kondusif.
Walaupun ruangan gue terpisah dengan yang lainnya, dan gue tidak keluar ruangan selain ke toilet, desas-desus itu tetap saja membuat tidak nyaman.
Gue bukan cewek murahan seperti yang mereka pikir, yang mencari kerja dengan menjual tubuh. Tapi menjelaskan pun percuma, omongan gue juga nggak akan didengar sama mereka.
Gue memang butuh kerja dan uang, tapi kalau gue dituduh mendapatkan ini semua hanya karena mengandalkan tubuh rasanya tidak terima juga.
Setelah menimbang-nimbang, akhirnya gue memberanikan diri untuk mengetuk ruangan bos. "Masuk," jawab bos gue.
Gue menghela napas di depan ruangan sebelum membuka pintu, kemudian gue mendudukkan diri di depan bos yang sedang sibuk dengan berkasnya. "Bos?" ucap gue yang dibalas gumaman singkat.
Gue menaruh surat pengunduran diri di mejanya dengan gugup tanpa menjelaskan. Bos gue melihat pergerakan tangan gue untuk menaruh surat itu dengan seksama melalui sudut matanya. "Itu apa?"
"Surat pengunduran diri saya Bos," jawab gue singkat, padat dan jelas.
Bos kini menutup berkas yang ada di tangannya dan menaruhnya di ujung meja. Ia menatap gue dengan pandangan bingung, sebelah alisnya terlihat terangkat dan keningnya pun berkerut. "Gaji yang saya kasih kurang untuk kamu?"
"Enggak Bos, sama sekali enggak," jawab gue spontan.
"Lalu?" tanyanya meminta penjelasan lebih jauh. Posisi tubuhnya terlihat menegak dan berkas yang sebelumnya ia periksa sudah diabaikan sepenuhnya. Suasana ruangan berubah menjadi canggung.
"Saya rasa saya sudah tidak cocok untuk kerja di sini, Bos.”
“Apa ini semua karena gosip itu?” tanya bos sambil mencondongkan badannya ke arah gue dengan pandangan menelisik.
Bos gue tau juga masalah gosip itu?! Padahal dia cuek-cuek aja keliatannya.
Gue hanya menelan ludah gugup. Setelahnya bos merobek surat pengunduran diri gue yang membuat gue terbelalak. Nyali dan keberanian yang gue kumpulkan berhari-hari berakhir sia-sia di tangan bos yang super seenaknya.
"Kalau kamu baca kontrak kerja kamu dengan baik, kamu pasti tau ada poin di mana kontrak kerja hanya bisa diakhiri oleh pihak pertama, yaitu saya."
Gue inget sama poin itu, tapi gue kira poin itu cuma berguna untuk memudahkan dia dalam memecat gue, bukan untuk mempertahankan gue seperti ini.
"Jadi nggak usah buat surat pengunduran diri lagi, karena surat itu akan bernasib sama dengan yang ini," tutup bos gue dengan dingin.
Suara pintu yang terbuka reflek membuat kami menoleh, dan bos Shan sekarang sedang berdiri di ambang pintu. Mungkin karena gue tidak ada di depan jadi bos Shan memilih untuk masuk ke ruangan ini begitu saja.
"Ganggu nggak nih gue?" tanya Shan.
Bos menggelengkan kepalanya. "Ada apa?"
"Sebenernya gue cuma lewat tadi, sekalian mampir aja, Yeol bilang nanti malem dia mau nraktir kita di bar," jelas Shan.
"Ada angin apa dia mau nraktir?"
"Dalam rangka jadian sama gebetannya. Udah lo dateng aja," jawab Shan, "ajak asisten lo juga, kasian lo suruh kerja terus, sesekali ikut kita main gapapa lah, bosen gue ngeliat cewek baru lo tiap minggu."
"Suka-suka gue mau bawa siapa," balas bos ketus. Percakapan ini cenderung tidak formal, dan gue yakin ini bukan lah ranah gue untuk bergabung ke dalamnya.
"Kalau gitu gue yang ngajak nih," kata Shan dengan nada meledek.
Bos kini melihat Shan dengan tatapan tajamnya, seakan tidak suka dengan kalimat yang dikeluarkannya barusan.
"Relax, i won't bother yours."
"Udah kan infonya? Lo boleh pergi sekarang," kata bos seraya mempersilakan Shan untuk keluar ruangan dengan gestur tanggannya yang dibalasnya dengan kekehan geli.
"See you later Laynata and ... ?" tanya Shan ke arah gue.
"Inggitya," jawab gue.
Setelahnya Shan mengedipkan matanya ke gue dan langsung keluar dari ruangan bos sambil berkata, "tempat biasa! Jam delapan!"
Gue masih terdiam, menunggu apa perintah selanjutnya sampai bos menyuruh gue untuk mengambil tabletnya yang ada di luar, di ruangan gue. Gue pun mengambil tablet yang isinya jadwal bos yang sudah gue susun dan masuk lagi ke ruangan bos.
Bos lalu mengotak-ngatik tabletnya sebelum mengembalikannya ke gue. "Kalau kamu nyusun jadwal saya, saya sudah nyusul jadwal untuk kamu," ucapnya yang membuat gue mengerutkan alis dengan heran.
Apa maksudnya?
Gue melihat tablet itu, dan pada aplikasi agenda yang sudah gue beri tanda untuk jadwal si bos ada perubahan.
"Semua yang saya kasih tanda berarti kamu ikut kegiatan saya."
"Termasuk weekend, kondangan dan makan malem bareng klien bos?!" tanya gue dengan tidak percaya. Pasalnya hampir seluruh tanggal di jadwalnya kini diberi tanda baru yang ia maksud.
"Ya. Kamu boleh pergi kalau sudah tidak ada yang ditanyakan lagi," jawabnya dengan nada mengusir seraya mengambil berkas yang dia tinggalkan sebelumnya.
Ini gue asisten apa budaknya sih jadinya? Orang mau resign malah jadi nambah kerjaan.
***
Begitu jam pulang, gue melihat bos sudah mengganti jasnya dengan pakaian biasa. Di dalam ruangannya memang ada lemari kecil, hanya saja gue tidak tau kalau ternyata ada isinya juga.
"Kamu ikut saya," ucapnya tiba-tiba ke gue.
"Ke mana ya Bos?"
"Ke acara temen saya."
Pasti ini yang dibilang Shan tadi deh.
Gue menganggukan kepala mengiyakan ajakannya. Kalau emang yang dimaksud Shan itu Yeol Basupati direktur dari Golden Park Group, mudah-mudahan dia jadinya sama Zahra. Jadi malam ini gue ada teman dan nggak cengo untuk ikut sama si bos.
Bos masih berdiri nungguin sampai gue selesai memasukan barang-barang ke dalam tas, dan setelah selesai, gue mengekorinya.
"Berapa kali saya bilang jangan kayak stalker," sindir dia saat kami berada di lift.
Gue langsung memajukan langkah agar sejajar dengannya. Gue bisa melihat pandangan karyawan lain yang menunduk saat kami lewat. Padahal kalau gue sendiri, mereka biasanya melihat dengan pandangan menilai, bahkan kadang mencemooh. Ya, selain memberikan gaji yang lumayan, sebetulnya Laynata termasuk baik, meski mengesalkan pada waktu-waktu terntentu.
Akhirnya gue sampai ke sebuah bar elit di pusat kota. Di sana teman-teman bos sudah berkumpul, dan kami adalah orang yang terakhir bergabung.
"Lo yang terakhir, harusnya lo yang bayar nih," canda Yeol Basupati ke bos gue.
Di samping Yeol, Zahra tersenyum sumringah yang gue balas dengan lambaian tangan. Syukurlah mereka sekarang sudah resmi menjadi sepasang kekasih.
"Kan lo yang jadian kenapa gue yang bayar?" tanya Laynata tidak terima.
"Cewek baru lagi?" tanya orang yang di sebelah Joana yang gue kenal sebagai Krisna, bosnya. Sepertinya Joana sudah memperbaiki seleranya soal laki-laki. Orang ini jauh lebih tampan dibandingkan mantan pacarnya yang berdarah Thailand itu.
"Asistennya itu mah," timpal Luthfian. Salah satu rekan si bos saat kami pergi ke Thailand dulu.
"Kehabisan stok cewek sampe asisten lo yang dibawa?" sindir Yeol sambil tertawa.
"Shan yang nyuruh," jawab Bos gue memberi penjelasan.
Rasti melambaikan tangan dan menyuruh gue duduk di sampingnya. Sisanya masih banyak perempuan yang mendampingi kumpulan laki-laki berdompet tebal ini, hanya saja gue tidak mengenalnya.
"Kaili Aharon," ucap laki-laki di samping Rasti sambil mengulurkan tangannya yang langsung gue jabat. “Inggitya Dzafina,” balas gue. Kemudian Laynata menyusul untuk duduk di samping gue.
Para laki-laki sibuk membahas bisnis dengan tangan mereka yang sesekali merangkul atau memeluk pasangan masing-masing, kecuali bos gue yang hanya berekspresi datar sambil memegang minumannya.
Ya gue juga tidak peduli dengannya, dan lebih memilih untuk mengobrol bersama Rasti yang ada di samping gue.
"Gimana kerjaan lo? Bos lo kayaknya kaku ya?" tanya Rasti pelan. Gue pun menganggukan kepala mengiyakan.
"Gue tadinya mau ngundurin diri," ungkap gue ke Rasti.
"Serius lo? anjir, gaji lo lumayan banget ya di situ." Ekspresi Rasti terkesan begitu kaget. Seolah keputusan gue adalah keputusan terbodoh yang pernah ia dengar.
"Di kantor ada gosip nggak enak antara gue sama si bos." Gue memilih untuk jujur ke Rasti.
"Kalau gue jadi lo, ada skandal beneran juga nggak masalah. Bos lo ganteng gitu juga," timpal Rasti yang membuat gue memutar bola mata.
"Bos lo juga ganteng," balas gue.
"Dia bukan Bos gue sekarang,"
"Terus apa?"
"Pacar," jawab Rasti.
Gue hanya mencebikkan bibir kesal. "Jadi cuma gue yang jomblo nih sekarang?" tanya gue ke Rasti yang dijawab anggukan olehnya.
Udah dapet kerja belakangan, pacar belakangan, jangan jangan jodoh juga gue dapetnya belakangan lagi. Sedih banget hidup gue.
"Main game lah biar seru!" usul Shan yang membuat kami semua terdiam.
"Main apa?" tanya Krisna.
"Truth or dare, kalau nolak minum dua gelas penuh," ujar Shan sambil menuangkan minuman yang Yeol pesan di gelas.
"Ayo! siapa takut," ajak Joana.
Aduh, toleransi gue sama alkhol itu kecil, bahkan bisa dibilang tidak ada. Bisa habis gue kalau kena di permainan ini. Gue bisa melihat seringai Shan saat ia mulai memutar botolnya. Entah mengapa perasaan gue berubah menjadi tidak enak.
Percobaan pertama botol mengarah pada Luthfian.
"Truth or dare?"
"Truth," jawab Luthfian.
"Cewek di samping lo siapa?" tanya Krisna.
"Temen, baru penjajakan," jawabnya tegas. Luthfian terlihat begitu gentle saat mengungkapkan hubungan sebenarnya dengan perempuan di sampingnya. Wajah perempuan bernama Carissa itu terlihat memerah sekarang.
"Oooh, temen," ledek yang lain.
Permainan terus berlanjut dan kini Luthfian mulai memutar botolnya kembali, dan ujung botol itu berhenti tepat ke arah Krisna.
"Truth or dare?"
"Dare," jawab Krisna penuh percaya diri. Sementara gue mengehela napas menantikan tantangan seperti apa yang mereka buat.
"Cium cewek lo di depan kita semua," ucap Shan asal.
Damn... detik berikutnya Krisna langsung menyambar bibir Joana tanpa banyak kata dan keraguan. Pipi gue memanas melihat adegan itu, dan gue memilih untuk menoleh ke arah lain. Sialnya, mata gue malah bertemu dengan mata Laynata yang masih duduk di samping gue.
Suara tepukan menandakan tantangan itu telah berakhir. Setelah selesai, kini Krina yang memutar botolnya, dan mengarah ke gue. Sialan! gue takut ditanya macem-macem.
"Truth or dare?" tanya Kaili.
"Truth," jawab gue.
"Apa kesan pertama yang lo dapet dari Laynata?" Luthfian bertanya. Dengan sudut matanya ia seperti menantikan jawaban gue dengan penuh antisipasi.
Aduh, salah jawab gue mati ini.
Waktu berlanjut dan perhatian semua orang kini tertuju pada gue, termasuk Laynata. Demi menjaga hubungan baik antara gue dan si bos, gue pun memilih untuk minum dari gelas yang ada. Baru setengah gelas, gue tidak sanggup lagi menenggaknya. Laynata langsung mengambil gelas yang ada di tangan gue dan meminum sisanya. Begitupun dengan gelas yang satunya.
"Gentleman nih ceritanya," ledek Kaili.
Laynata masih acuh tak acuh di samping gue. Padahal teman-temannya riuh sedang membicarakan sikapnya barusan.
"Lanjut!" ucap Yeol.
Gue pun memutar botolnya, dan botol itu berhenti tepat di arah bos gue.
"Truth or Dare Lay?" tanya Krisna.
"Dare," jawab bos gue.
"Cium cewek tercantik yang ada di sini menurut lo," kata Shan dengan senyuman jahilnya.
Damn... gila!
Dengan penasaran gue melihat ke arah bos. Gue yakin dia akan lebih memilih untuk mengambil gelas yang sudah tersedia dibandingkan mencium bibir cewek yang ada di sini.
Tapi dugaan gue salah begitu dia mendekatkan wajahnya dan memagut bibir gue dengan lembut. Gue sampai mencengkram jaket yang ia pakai karena serangan tiba-tiba itu.
Gue bisa mendengar teman-temannya menyoraki kami, tapi bos gue sama sekali tidak berhenti.
By the way he's good kisser...
***
Setelah permainan truth or dare tadi gue jadi canggung dengan Laynata. Dia mencium gue begitu saja tanpa ucapan maupun penjelasan, untungnya permainan itu selesai tanpa gue ataupun dia kena lagi.
"Saya duluan bos," pamit gue sambil membuka seatbelt. Begitu mau keluar mobil, tangan gue ditahan sama olehnya.
"Kenapa Bos?"
"Untuk yang tadi, saya nggak mungkin cium pacar orang lain, jadi maaf." Gue terdiam, bingung harus merespon apa. "Saya juga nggak bisa nganter kamu pulang kalau saya minum terlalu banyak," tambahnya.
Gue menganggukan kepala mengiyakan perkataannya. "Kita lupain aja yang tadi Bos, dan bersikap profesional seperti sebelumnya," tutup gue yang langsung keluar dari mobil.
Gue sebenernya nggak yakin kalau gue bisa seprofesional sebelumnya kalau kayak gini...