BAB 5

788 Kata
Hari ini jadwal gue menemani bos kondangan. Gue juga tidak mengerti kenapa gue yang notabenenya hanya seorang asisten diajak untuk menghadiri undangan, sedangkan dia punya lusinan cewek cadangan yang bisa dibawa di luar sana. Dan saat gue bilang sama orangtua gue, mereka malah begitu senang dengan keputusan sepihak Laynata. Panggilan telepon dari bos membuat gue segera pamit untuk pergi. "Ma, Pa Inggit pergi dulu," pamit gue. "Bosnya nggak masuk dulu?" tanya bokap. "Aku cuma nemenin kondangan, bukan pacaran. Jadi ngapain ngajak dia masuk?" "Yakin nggak ada apa-apa? Kamu diajak kondangan loh. Biasanya kan cowok ngajak pasangannya buat ke acara resmi gitu." "Enggak ada apa-apa kok, Mama sama Papa nggak usah berharap banyak. Hubungan kita profesional kok," jelas gue. Entah mengapa gue lebih seperti menasihati diri sendiri saat ini. "Ya berharap kan nggak ada salahnya, Mama nggak masalah punya menantu ganteng dan mapan macem bos kamu," kata nyokap gue. "Bos aku nggak suka komitmen." "Semakin tua laki-laki akan sadar kalau dia butuh sosok istri, nanti juga sadar," kini bokap menimpali. Ini kenapa nyokap bokap gue pada begini deh ah. "Yaudah bos aku udah nunggu di depan," pamit gue sambil beranjak ke luar rumah. Orangtua gue mengantar ke depan rumah, dan Laynata sudah berdiri di sana dengan pakaian formal. Begitu melihat penampilannya, lagi-lagi gue merutuki ketampanan seorang Laynata Yisakha di dalam hati. Ia tersenyum seraya pamit kepada orangtua gue sebelum membukakan pintu mobilnya untuk gue. Perlakuannya cukup manis malam ini membuat gue ragu sebenernya ini bos gue apa bukan. Laynata Yisakha yang gue kenal memiliki hobi menyindir dan menyinggung gue soal kebiasaan gue yang suka berjalan di belakangnya, sedangkan malam ini tidak. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih selama empat puluh menit, akhirnya kami sampai di sebuah ballroom hotel yang cukup ternama, tempat acara diselenggarakan. Gue melihat pasangan lain bergandeng tangan saat masuk ruangan, tapi tentunya itu tidak berlaku bagi gue dan si bos. Di sana ternyata sudah tersedia bangku yang direservasi dengan tulisan nama Laynata Yisakha dan partner. Wajar kalau dia malu bila tidak membawa pasangan. Orang begini model acaranya. Kami satu meja dengan rekan bisnis bos yang sudah cukup tua. Dia datang bersama istrinya, tapi masih suka main mata yang membuat gue risih setengah mati. Dia juga sering memancing percakapan yang gue balas seperlunya. Dasar tua bangka! Bos merangkul gue dengan tiba-tiba dan memotong pembicaraan gue dengan si tua bangka dan istrinya, hal itu membuat mereka segan untuk kembali mengobrol dengan gue. Sepertinya mereka mulai sadar akan sikap protektif bos. Setelahnya kami mulai menikmati sajian yang disediakan. Sialnya selama makan, gue sama sekali tidak bisa fokus. I can't take off my eyes from his lips. Bibirnya yang kemarin malam... Aduh, mengingat hal itu buat gue salah tingkah sendiri. Merasa diperhatikan, bos jadi mengalihkan wajahnya ke gue dan bertanya gue kenapa. Gue hanya menggelengkan kepala sebagai jawaban dan memotong menu daging yang disediakan. Piring gue diambil secara tiba-tiba olehnya dan ditukar dengan miliknya yang sudah dipotong-potong sehingga gue lebih mudah makannya. Tidak lupa gue mengucapkan terima kasih kepadanya tanpa panggilan 'bos', karena ini bukan acara kantor. Sesuai dengan perjanjian kami di dalam mobil sebelum sampai ke tempat ini, gue dilarang memanggilnya dengan sebutan ‘bos’ di luar acara kantor. Si bos izin untuk pergi ke toilet sebelum pulang yang membuat gue menunggunya di sudut pesta. Gue tidak mau pergi terlalu jauh, takut bos tidak menemukan gue dan menjadi marah. Jadi gue lebih memilih untuk menyibukan diri dengan ponsel selama menunggu. "Sendirian aja?" tanya seseorang dengan senyum miringnya yang membuat jantung gue berdegup lebih cepat. Masalahnya gue sama sekali tidak mengenal laki-laki ini. Gue baru saja ingin menjawab, tapi sebuah tangan yang memeluk pinggang dengan posesif membuat gue mengurungkan niat begitu melihat siapa pelakunya. "Dia nggak sendirian," kata bos yang membuat seringai orang itu mendadak hilang. "Maaf," balas laki-laki itu yang gue jawab dengan anggukan. Setelah itu, tangan si bos tidak lepas dari tubuh gue sampai ke parkiran. Manners makes a man, caranya melindungi gue dari laki-laki tadi patut diacungi jempol. Gue jadi mengerti kenapa banyak perempuan yang takluk pada seorang Laynata Yisakha. Setelahnya bos mengantarkan gue pulang. Di perjalanan gue pun membuka percakapan untuk membunuh kecanggungan yang muncul sejak kejadian kemarin. Sebetulnya gue yang canggung, tidak dengan bos. Maklum, cassanova kelas atas sepertinya pasti nggak gampang baper. "Bos, mulai sekarang setiap kondangan saya harus ikut?" tanya gue memastikan. Bos menganggukan kepalanya sebagai jawaban. "Kenapa Bos? Bukannya pacar Bos banyak? Kan bisa Bos pilih." "Justru karena banyak dan mereka ngerengek untuk diajak makanya saya ajak kamu," jawab bos gue santai. Oke, jadi gue adalah option teraman menurutnya. Daripada dia ribet milih diantara cewek-ceweknya dia jadi lebih memilih gue untuk jadi partner-nya. Di satu sisi fakta ini membuat gue lega, tapi di sisi lain fakta ini membuat hati gue terasa ganjal.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN