Hari ini kami kembali melakukan perjalanan bisnis, tapi tidak jauh seperti kemarin, hanya ke Bali. Gue sudah ada di apartemen bos sejak pagi untuk membereskan keperluannya seperti biasa karena kami mengambil penerbangan siang. Gue juga menyiapkan sarapan untuknya yang sedang mandi.
Asisten rasa babu ini tuh, sungut gue dalam hati.
Setelah selesai memanggang roti hingga kecoklatan dan membuat kopi hitam, gue masuk ke dalam kamar bos untuk mengecek keperluan apa lagi yang kurang. Kalau ada yang kurang bisa-bisa poin gue dikurangi.
Tidak lama setelahnya gue melihat bos keluar dari kamar mandi hanya dengan selembar handuk yang menutupi area privatnya, hal itu membuat gue salah tingkah.
Ini orang hobi banget ya pake handuk doang?
Gue mencoba menyibukkan diri dengan barang-barang di koper, mengabaikan bos yang kini sedang memilah baju untuk dipakai. Setelahnya ponsel kantor di saku gue bunyi, kemungkinan dari klien. Gue mengangkat telepon itu dan menyapa dengan selayaknya. Ternyata ini dari klien yang akan kami temui nanti, dan dia ingin berbicara dengan bos.
Gue mau langsung balik badan, tapi gue takut bos lagi ganti baju. Jadi gue hanya menyodorkan ponselnya dan berkata, "Bos, klien yang mau kita temuin nelepon."
Gue bisa merasakan ponsel itu diambil, dan setelahnya tangan gue ditarik untuk bangun dari posisi berlutut gue di depan koper. Gue menengok dan mendapati bos yang untungnya sudah memakai celananya, tetapi kemejanya belum dikancing.
Bos mulai terlibat percakapan dengan kliennya di saluran telepon sambil melihat gue, dia kemudian mengarahkan jari telunjuknya ke bajunya.
Gue disuruh ngancingin nih?
Dengan perlahan gue mendekatinya. Dari jarak sedekat ini gue bisa mencium aroma tubuhnya dengan begitu jelas, apalagi ditambah wangi sabunnya yang terkesan maskulin, hal itu membuat gue menelan ludah gugup. Gue mulai mengancingkan kemejanya satu persatu dengan perasaan gelisah.
Dengan jarak sedekat ini ditambah pandangan bos yang sama sekali tidak beranjak dari gue membuat gue mengingat malam itu. Malam di mana bibirnya yang seksi menyentuh bibir gue.
"Sudah Bos," kata gue setelah selesai mengancingkan kemejanya dengan napas lega. Selama proses pengancingan gue menahan napas.
Bos menunjuk lacinya di mana tempat koleksi ikat pinggang dan juga dasinya ditaruh. Sementara ia masih asik mengobrol dengan klien. Gue pun memilih sebuah sabuk dengan warna gelap dan dasi yang senada dengan warna celana yang bos pakai. Gue pun mendekatinya lagi dengan gugup.
Gue bisa melihat bos mengucapkan kata 'pakein' tanpa suara di sela-sela percakapannya.
Really? Harus dipakein banget nih?
Gue melihat jam dan memang sebentar lagi waktunya kami berangkat. Daripada kami terlambat dan ujung-ujungnya gue yang kena omelan, gue pun memilih untuk memasangkan ikat pinggangnya.
Gue sedikit mengangkat kemejanya, lalu membuka pengait celana dan seletingnya untuk memasukkan kemeja ke dalam celana. Sebisa mungkin gue tidak menyentuh bagian yang tidak layak untuk disentuh.
Ya ampun gue takut salah pegang!
Setelah selesai memasukkan kemeja gue kembali mengaitkan dan juga menseleting celananya dan mulai memasangkan ikat pinggang yang sebelumnya sudah gue pilih.
Gue membetulkan kemejanya agar terlihat lebih rapi, dan sekarang tugas gue tinggal memakaikan dasi, dan semuanya akan selesai.
Ini si bos keliatan biasa aja tapi gue hampir jantungan!
Gue mengangkat kerah kemeja yang bos gue pakai dan menyelipkan dasi di sana, lalu merapikannya lagi dan membuat simpul dasi yang sempurna. Harus segitiga dan tidak boleh miring-miring.
Aduh, apa nanti suami gue begini? Harus dipakein iket pinggang juga? Tapi kayaknya enggak deh. Kan cuma Bos gue yang hobinya bikin jantungan gini.
Setelahnya gue mengambil jas setelannya dan membantu bos untuk memakainya. Gue menarik bos ke dapur apartemennya dan menunjukkan sarapan yang sudah gue buat.
Gue harap dia nggak minta disuapin kali ini...
Bos menganggukan kepalanya sebelum meminum kopinya dan masih melanjutkan percakapan dengan kliennya.
Sampai pada percakapan terakhir,
"Tidak ada hotel lain?" tanya bos gue.
Gue bisa mendengar gumaman tentang lokasinya yang cukup jauh, memakan biaya operasional tinggi dan juga tidak efektif dari klien.
"Ya, kalau begitu keadaannya saya tidak memaksa."
Dan bos gue mengakhiri panggilannya tidak lama setelahnya.
"Kamar VIP sisanya cuma satu karena ini musim liburan anak sekolah. Hotelnya full. Nanti kamu tidur sekamar sama saya. Cuma dua hari."
Cuma. dua. hari.
TAPI TETEP AJA! HATI GUE GIMANA NTAR?!
KALAU DIA BAWA CEWEK KE KAMAR GIMANA?! GUE NGELIAT LIVE ACTION?!
"Untuk kamar biasa juga nggak ada Bos?" tanya gue memastikan.
"Enggak, semua udah full book. Kamu keberatan? Apa harus kita cancel?"
Gila kalau di-cancel emang gue bisa ngegantiin uang yang bakal masuk kalau kerjasama kali ini berhasil apa?
"Enggak Bos," jawab gue pada akhirnya.
"Ya sudah ayo kita berangkat sekarang,"
Dua hari doang kok... dua hari... lagian kita udah pernah tidur sekamar bahkan seranjang.
Gue mengecek obat anti mabuk di dalam tas kecil yang gue bawa. Katanya itu mengandung obat tidur juga. Jadi kalau bos macam-macam, gue bisa menjejalinya dengan obat ini nanti.
Tapi bos gue kan gak suka obat! Gimana dong?!
***
Akhirnya setelah melakukan perjalanan yang tidak bisa dibilang jauh maupun dekat, kami sampai hotel yang akan ditempati. Ternyata bos memilih hotel di pinggir laut dengan view yang cukup memuaskan mata. Pantas saja full book di saat liburan seperti ini.
Di dalam kamar terdapat sebuah ranjang dan deretan kursi kayu dengan bantalan empuk yang dipenuhi oleh bantal, mungkin gue akan tidur di kursi nanti malam dan membiarkan bos tidur nyenyak di kasur.
"Ini udah sore, kamu free sampai acara makan malam nanti. Kita makan malam sama klien," ucap bos yang gue angguki.
Bos masih sibuk melihat sekeliling dan mengecek balkon kamar kami yang langsung mengarah ke lautan. Kalau dipikir-pikir kamar ini seperti kamar untuk pasangan yang berbulan madu.
Mengabaikan pemikiran gue yang aneh, gue pun mulai membongkar koper untuk mengganti pakaian yang lebih santai dan beranjak menuju kamar mandi. Gue masih waras untuk tidak mengganti baju di depan bos.
Setelah keluar dari kamar mandi, ternyata si bos juga sudah mengganti pakaian dengan pakaian santainya. Setelan Jas sama dasinya udah digantung dengan rapi di dekat lemari.
Gue cukup kaget karena posisi si bos yang menghadap ke arah kamar mandi, hal itu membuat gue yang baru saja keluar dari kamar mandi langsung berhadapan denganya. Dipandang dengan intens membuat gue salah tingkah, jadi gue pun mulai membuka topik pembicaraan. "Acara makan malemnya jam berapa Bos?"
"Kenapa emangnya?"
"Saya perlu tau, jadi saya bisa mengatur waktu. Mungkin bos perlu privasi di kamar ini," kata gue dengan kikuk.
Yeah Bos, i know you'll know what i mean about 'your privacy' right?
"Kalau yang kamu maksud saya bawa perempuan ke sini, enggak. Saya nggak akan melakukan itu. Karena kamar ini bukan cuma punya saya, tapi juga punya kamu."
Yap. Sepertinya Bos menangkap dengan baik apa maksud kalimat gue barusan.
"Asal Bos senang saya nggak keberatan," timpal gue. Gue takut dia tersinggung dengan pertanyaan sebelumnya.
"Jadi kamu seneng kalau saya bawa perempuan ke sini?" tanyanya dengan sedikit sinis.
"Saya nggak bilang saya seneng. Bos bisa berbuat sesuka Bos. Saya akan ngasih waktu untuk Bos kalau Bos butuh privasi," jelas gue panjang lebar untuk klarifikasi.
Entah mengapa gue malah jadi kayak gini. Hubungan profesional yang dulu gue agung-agungkan perlahan terkikis. Berciuman dengannya kemarin bukan berarti gue ada apa-apa dengannya.
Gue sekarang ngerti kenapa bos tidak mau berkomitmen. Gue yang hanya dicium saja merasa risih saat dia menghabiskan waktu dengan perempuan lain. Apalagi yang udah tidur dengannya. Apa ini alasan kenapa selama ini asistennya tidak ada yang betah? Apa dia juga mencium semua asistennya?
"Saya pergi dulu Bos," pamit gue seraya meninggalkan kamar. Gue tidak ingin terlibat percakapan penuh perdebatan lagi dengannya.
Gue butuh waktu untuk menenangkan diri. Ya, merasakan angin laut dan suara ombak mungkin bisa membuat gue sedikit tenang dan mengembalikan kewarasan gue untuk kembali profesional. Gue pun menyusuri pinggiran pantai dan melihat sekeliling. Sesekali gue melihat pasangan yang bermesraan di pinggir pantai dengan penuh keceriaan.
Sialan, kayaknya bener apa yang teman-teman gue bilang. Gue butuh cowok sekarang!
Gue tidak mau terjebak perasaan dengan bos gue yang playboy kronis itu. Yang ada gue yang tersiksa sendirian, sementara bos akan tetap biasa saja. Di mana-mana jika sudah urusan hati yang bermain, perempuan lah yang lebih banyak terluka karena mereka mengedepankan perasaan, bukan logikanya.
"Hai, yang kemarin bukan?" tanya seseorang sambil menepuk bahu yang membuat gue kaget. Gue menoleh dan mendapati laki-laki yang kemarin menanyakan mengapa gue sendirian saja saat di kondangan bersama Bos.
Lah ini si masnya yang kemaren....
"Eh, Masnya yang kemarin?"
Dia menganggukan kepalanya. "Kebetulan ya? Apa jodoh?"
Gue terkekeh pelan mendengar penuturannya. Kebetulan bertemu bukan berarti jodoh bukan?
"Pacarnya mana? Kok sendiri?" tanyanya sambil melihat ke sekeliling gue seakan memastikan.
Gue harus jawab apa ini...
"Saya nggak punya pacar." Gue memilih untuk jujur.
"Oh, yang kemarin?"
"Itu Bos saya."
"Nggak usah formal-formal lah sama gue. Gue Jansen, Jansen Bramantyo," ujarnya sambil mengulurkan tangan.
"Inggit, Inggitya Dzafina," jawab gue sambil menyambut uluran tangannya.
Sepertinya laki-laki ini memang memiliki pembawaan ramah, jadi ia mudah membuka percakapan dengan siapa pun, termasuk dengan gue malam itu. Sayangnya gue terlalu takut untuk menanggapinya malam itu.
"Bos lo kelihatannya posesif ya, betah kerja?"
"Ya, begitulah," gajinya lumayan, tambah gue dalam hati. "Kok bisa di Bali?"
"Ada urusan bisnis, jadi ke sini deh."
"Perusahaan apa? Bosnya enak nggak?" tanya gue penasaran. Siapa tau bisa jadi referensi kalau gue dipecat secara sepihak sama si bos.
"Bramantyo company, i'm the owner. Nggak tau enak apa enggak menurut karyawan gue."
Kenapa bos-bos ganteng dan muda akhir-akhir ini bertebaran sih?
"Maaf saya nggak tau, Pak." Gue merasa kikuk sekarang. Ternyata orang di depan gue mempunyai posisi yang cukup tinggi, dan gue dengan kurang ajarnya memulai percakapan tanpa formalitas.
"Ey, udah gue bilang nggak usah formal. Lo kan bukan karyawan gue."
Gue mengangguk dengan kikuk, bingung untuk bersikap. Tapi setelah melihat pembawaannya yang sepertinya jauh lebih santai dari bos gue. Gue memilih untuk tidak bersikap formal. "Di usia muda udah sukses dan punya perusahaan sendiri, lo hebat banget ya."
"Semua turunan keluarga, kalau bukan karena mereka, gue nggak akan sampai di titik ini sekarang."
Well, dia orang yang tidak sombong. Dia jujur mengakui kalau semua yang dia dapat bukan hanya karena usaha dia doang.
"Boleh minta nomornya? Kali aja bisa ketemu di lain waktu," tanyanya sambil memberikan ponsel ke gue.
Mungkin ini kali ya yang namanya jodoh? Di saat gue uring-uringan karena sikap si bos, dia datang begitu saja seolah menjawab doa gue.
Gue pun mengetikkan sebelas digit nomor di layar ponsel Jansen. Setelahnya dia missedcall ponsel gue.
"Ponsel lo mana? Itu nomor gue."
Gue pun merogoh saku, mengecek tubuh dan mencari ke sekitaran, tapi tidak menemukan ponsel gue di mana pun.
"Kayaknya ketinggalan di hotel deh," jawab gue.
Jansen menganggukan kepalanya. Ia pun tersenyum dengan manisnya "Mau liat sunset? Sebentar lagi matahari tenggelam," tawarnya sambil mengulurkan tangan. Gue mengangguk dan meraih tangannya. Setelah itu, Jansen mengajak gue ke pinggir pantai bergabung bersama orang-orang yang sudah cukup berkumpul untuk menikmati keindahan matahari tenggelam.
Gue menikmati cahaya jingga keemasan di langit sore hari yang sangat indah. Beberapa warga asing bahkan ada yang kissing tanpa merasa keberatan jika mereka sedang berada di tempat umum dan dijadikan tontonan.
Ngomong-ngomong soal ciuman di tempat umum, gue jadi inget sama si bos. Kemarin kami termasuk ciuman di tempat umum juga kan?
Tangan gue ditarik dengan sedikit hentakan kasar secara tiba-tiba yang membuat gue terperangah, begitu gue menoleh untuk melihat si pelaku, gue menemukan si bos ada di hadapan dengan muka yang tidak enak.
"Nggak ada niat untuk balik lagi ke hotel?!" tanya bos gue sedikit tajam.
Jansen melihat kami dengan pandangan menilai saat ini, tetapi dia tidak menginsterupsi tindakan bos gue.
"Acara makan malamnya jam delapan kan Bos? Masih ada wak—" ucapan gue terpotong karena bos menarik gue keluar dari kerumunan itu begitu saja.
Jansen memberikan senyuman menenangkannya dari kejauhan yang gue balas dengan anggukan. Sepertinya gue dalam masalah sekarang.
"Kamu kalau pergi bisa bawa ponsel nggak?! Saya ngasih kamu free time bukan berarti kamu bisa seenaknya! Kamu ini di sini buat kerja! Bukan liburan!" bentak bos saat kami sudah sampai di dalam kamar hotel.
Ini pertamakalinya dia membentak gue selama tiga bulan gue bekerja, dan entah mengapa rasanya begitu sakit, dia yang memberi free time, kenapa dia yang marah? Ya, di mana-mana emang atasan selalu benar dan gue sebagai bawahan selalu salah.
"Saya minta maaf Bos," ucap gue sedikit tercekat sambil menahan air mata yang bisa keluar kapan saja. Gue benar-benar takut melihatnya seperti ini.
Setelahnya gue memilih untuk masuk ke dalam kamar mandi untuk mempersiapkan diri ke acara makan malam sekaligus untuk menghindari bos. Gue takut menumpahkan air mata di depannya.
***
Acara makan malam tadi terlampau lancar. Gue hanya duduk dan menikmati makanan lalu menjadi pajangan hidup di sana. Bos sibuk dengan kliennya dan tidak menganggap gue ada. Hal itu bahkan terus berlanjut sampai kami kembali lagi ke hotel.
Gue mengganti pakaian dengan pakaian tidur sementara bos hanya melepas jas dan dasinya. Setelahnya dia meninggalkan gue di dalam kamar tanpa sepatah kata pun entah ke mana.
Sesalah itu kah gue sampai bos kayak gitu? Gue jadi gelisah sendiri.
Gue pun membuka pintu kaca kamar hotel, dan duduk di kursi yang ada di pelataran. Angin laut yang cukup kencang menerpa tubuh, meski dingin, gue tidak peduli. Pikiran gue melayang entah ke mana, mencoba mengulas kembali hal yang sudah terjadi akhir-akhir ini
Waktu berlalu, di dalam hati gue sibuk bertanya ke manakah bos pergi karena jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam, tapi dia belum kembali ke hotel. Jadi mungkin ini yang dirasakan bos tadi? Mau nelepon juga tidak punya hak, karena ini adalah ranah pribadinya.
Bisa saja dia sedang pergi ke bar atau klub malam yang ada di sini dan berakhir dengan seorang cewek untuk one night stand. Reputasi playboy miliknya kan sudah tidak diragukan. Memikirkan hal itu membuat gue gelisah sendiri, dan itu sangat mengganggu. Gue mencoba mengabaikan perasaan itu dengan bermain ponsel.
Tidak lama ponsel gue berbunyi, ada panggilan dari Jansen yang nomornya sudah gue simpan. Tanpa ragu gue mengangkat panggilan itu.
"Udah malem nggak baik ngelamun sendirian," kata Jansen begitu gue mengangkat teleponnya.
"Kok tau? Lo stalker ya?" tanya gue heran. Gue melihat sekeliling dengan kebingungan.
"Liat arah jam sepuluh dan lo akan tau," jawab Jansen.
Gue pun bisa melihat Jansen melambaikan tangannya dari kejauhan, dan gue membalasnya.
"Piyama lo lucu, motif apa? Beruang ya?"
Gue tertawa begitu mendengar tebakannya yang tepat. Ini orang matanya bisa nge-zoom kali ya?
"Gue bener kan?"
"Ya, lo bener. Gila! mata lo kayak elang ya?" seru gue meledek sekaligus memuji.
"Kok belum tidur?"
"Lagi butuh waktu untuk menenangkan diri," jawab gue jujur. Bentakan bos tadi benar-benar membuat hati gue tidak tenang sampai detik ini.
"Same as me," timpal Jansen.
"Gue suka laut," ucap gue secara random. Berbicara dengan Jansen membuat gue nyaman, padahal kami baru bertemu. Dia tipe orang yang mau mendengarkan, dan orang seperti itulah yang gue butuhkan saat ini.
"Kenapa?"
"Karena laut nggak pernah bisa ditebak. Dia terlihat tenang, tapi punya ombak besar yang bisa timbul kapan aja, dia juga punya arus bawah yang tidak terlihat, tapi cukup untuk membuat lo tenggelam di dalamnya...." kayak bos gue lanjut gue dalam hati.
"Kok lo mellow malem-malem gini?"
"Hehe sorry, gue nggak tau kenapa tiba-tiba jadi gini," jawab gue dengan getir.
"Mau keluar?" tawar Jansen.
"Ini udah terlalu malem, besok gue masih harus kerja."
"Karyawan teladan," puji Jansen yang membuat gue mengulum senyum.
"Gue harap ... ya," timpal gue.
Bos aja marah sama gue, mana bisa gue disebut karyawan teladan.
"Kayaknya gue bakal seneng kalau punya karyawan kayak lo," timpal Jansen.
Andai aja bos gue yang ngomong kayak gini...
"Semua karyawan pada dasarnya sama aja asalkan digaji," jawab gue dengan kekehan pelan yang membuat Jansen tertawa di seberang sana.
"Lo bener, tapi jarang juga ada karyawan yang berdedikasi," kata Jansen yang gue iyakan. Ya, memang tidak semua karyawan punya dedikasi tinggi.
"Kalau nggak malem ini, lain kali mungkin?" tanya Jansen.
"Akan gue pikir lagi kalau jadwal gue kosong."
"Berasa nyari waktu sama artis ya gue," ucap Jansen sambil tertawa.
Gue hanya tersenyum miris, sepertinya hidup gue benar-benar dimonopoli oleh bos. Setiap hari dan ke mana-mana gue selalu bersamanya, dan gue baru sadar sekarang. Gimana gue bisa punya cowok kalau kayak gini coba?
Gue mendengar pintu kaca yang membatasi kamar dan pelataran dibuka, menampilkan bos gue dengan kemejanya yang digulung sampai siku, dan kancing teratas kemejanya terbuka.
"Bos lo ngapain ke kamar lo malem-malem gini?" tanya Jansen heran.
Gue tidak sempat menjawab apa pun dan langsung mematikan panggilan Jansen. Gue takut bos kembali memarahi, lagipula gue tidak mungkin jujur kepada Jansen kalau kami tinggal di kamar yang sama.
"Sudah malam," ucapnya dengan nada dingin.
Iya bos saya juga tau, terus kenapa?
Bos gue hanya mengatakan itu dan kembali masuk ke dalam kamar tanpa penjelasan lebih jauh. Gue mengerti jika bos menyuruh gue masuk ke dalam kamar dengan caranya, jadi gue memutuskan untuk mengekorinya untuk masuk ke dalam kamar. Bos memang jarang mengungkapkan isi pikirannya secara langsung, hal itu mrmbuat gue menebak-nebak maksud dari setiap tingkah dan percakapan yang ia buat.
Bos mulai membaringkan dirinya di kursi, hal itu membuat gue merasa tidak enak. "Biar saya aja yang di kursi, Bos."
Bos bergeming, ia tidak merespon perkataan gue. Dia malah memejamkan matanya seolah tidak mau melihat gue. Gue pun memilih untuk membuka koper miliknya dan mengambil piyama yang sudah gue siapkan tadi pagi. "Bos bisa ganti baju dulu," ucap gue sambil memberikannya piyama tidur.
"Saya mau tidur, jangan ganggu," ucap bos ketus.
Ya, si bos galak sepertinya kembali lagi. Gue kira setelah dia keluar dan mencari kesenangan mood-nya akan membaik. Apa dia terlalu lama tidak mendapatkan perempuan makanya jadi senewen gini?
Gue pun akhirnya mengalah dan tidur di kasur dengan perasaan yang tidak enak.
Bos gue kenapa sih?!
Tidak lama gue mendengar ponsel gue berbunyi karena ada panggilan dari Jansen yang langsung di-reject.
Setelahnya ada pesan masuk.
Jansen
Sebenernya ada hubungan apa antara lo sama Bos lo?
Inggitya
Itu juga yang jadi pertanyaan gue - delete
Atasan dan bawahan