Jesslyn duduk di kursi ruang kerja Christian, menundukkan kepala sambil memainkan jemari. Biasanya, kalau mereka berdua, suasana selalu dipenuhi perdebatan atau sindiran. Tapi kali ini berbeda—yang ada hanya diam panjang dan rasa takut yang menggantung.
Christian berdiri di depan meja, bersandar sambil melipat tangan di d**a, memperhatikan setiap gerakan kecil Jesslyn. Ia tahu ada sesuatu yang mengganjal. Semenjak Sabian mencoba mendekati wanita itu, Christian tak lagi mau kembali ke kantornya. Dia cukup trauma tiba-tiba mereka jalan berdua dan membuat Christian tantrum. Setuju atau tidak Sabian tidak peduli, yang jelas Christian akan berada di kantor ini sampai Jesslyn mau pindah ke kantornya sendiri.
“Jess, Lo dari tadi diam. Ada apa?” tanya Christian yang merasa aneh dengan sikap Jesslyn. Dia sudah hampir satu jam diam di sana tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.
Jesslyn menghela napas berat, akhirnya menatap Christian dengan ragu. “Tadi gue ketemu Hanna. Dia datang ke gue sama Mbak Elina… dan minta tolong.”
Alis Christian mengerut. “Tolong? Maksudnya minta tolong apaan?”
Jesslyn menunduk lagi, suara agak bergetar. “Dia bilang ada perempuan yang berani deketin Lo di belakang dia. Dia minta gue sama Elina buat cari tahu siapa orang itu. Katanya… dia nggak mau kecolongan.”
Christian langsung tegang. Rahangnya mengeras, tapi ia menahan diri supaya tidak langsung marah. Ia melangkah mendekat, mencoba menenangkan Jesslyn. Bagaimana bisa Hanna bilang begitu, sudah pasti ibunya yang meminta Hanna seperti ini. Wanita itu benar-benar tidak tahu diri, sudah tahu Christian tidak menginginkannya masih saja bertahan dengan rasa luka. Apa sih yang diinginkan Hanna?
Selama ini Christian tidak memberitahu sebenarnya jika dia menginginkan Jesslyn. Dia menjalin hubungan dengan Jesslyn sejak mereka masih sekolah. Sikap Christian pada Hanna waktu mereka di luar negeri pun juga nampak biasa saja, tidak ada perhatian khusus untuk Hanna. Seharusnya dari situ tahu kan tapi kenapa malah jadi ribet begini!!
“Dan Lo takut kalau mama gue tahu, kan?” tanya Christian yang langsung bisa menebak isi pikiran Jesslyn.
Jesslyn membulatkan matanya, dia sedikit tersentuh dengan ucapan itu karena apa yang diucapkan Christian itu sama dengan apa yang dia pikirkan.
“Gue… iya, Tian. Kalau mama lo tahu tentang gue, semua ini bakal berantakan. Gue bukan siapa-siapa dibanding mereka. Gue nggak mau jadi alasan lo kehilangan segalanya.”
Dan nyatanya ibu Christian sudah tahu, dia juga sudah memperingati Christian untuk menjaga jarak dengan Jesslyn. Tapi pria itu keras kepala, jika dulu dia bisa kenapa sekarang tidak?
Disini Christian menyakinkan Jesslyn jika wanita itu tidak perlu mendengarkan siapapun. Pria itu juga tidak peduli dengan apa yang Hanna maupun ibunya katakan kelak. Karena Christian tidak akan memilih mereka, melainkan akan lebih memilih Jesslyn sekarang. Jika harus kehilangan pun Christian siap jika harus kehilangan semuanya aslinya Jesslyn masih bersamanya. Christian tidak peduli dengan kehormatan keluarganya maupun keluarga Hanna. Dia hanya ingin bersama wanita yang dia cintai selama ini, tidak lebih.
“Tapi gue takut, Tian… gue nggak sekuat itu. Gue takut kalau gue bikin lo hancur.”
Christian menggenggam tangannya erat, penuh keteguhan. “Kalau gue harus hancur, gue maunya hancur sama lo. Jangan lagi Lo lawan ini sendirian, Jess. Kita sama-sama yang jalanin, jadi kita juga sama-sama yang hadapi.”
Jesslyn terdiam. Kata-kata Christian menusuk sekaligus menenangkan. Ada ketakutan besar di dadanya, tapi untuk pertama kalinya, ia merasa tidak sendirian dalam menghadapi badai ini. Rasa ingin memeluk tapi Jesslyn jelas tahu jika dia memeluk, sudah pasti kalau pelukan itu akan menjalar kemana pun sampai dua kancing baju mereka saling terbuka.
***
Semalaman Jesslyn memikirkan pertemuan dengan Hanna dan ucapan Christian setelahnya. Kata-kata itu terasa seperti peringatan keras—bahwa keduanya sedang berjalan di atas benang tipis, dan sekali saja salah langkah, semua bisa berantakan.
Jesslyn benar-benar pusing akan hal ini. Disini hubungannya dengan Christian memang belum jelas. Dia belum kembali, dan belum juga memberikan kesempatan kedua untuk pria itu. Tapi masalah kemarin mampir menyita waktu Jesslyn untuk memikirkan kedepannya. Apa yang akan terjadi? Dan bagaimana keputusannya setelah itu.
Pagi itu, dengan mata yang lelah karena kurang tidur, Jesslyn masuk ke pantry kantor. Tapi bukannya mendapatkan ketenangan, ia justru mendapati Elina dan Rhea yang sedang bergosip ringan. Begitu melihatnya, keduanya langsung mengalihkan fokus.
Elina Menyipitkan mata nakal, ketika tahu Jesslyn yang baru saja datang dengan wajah lusuhnya. “Hah! Baru juga masuk, auranya udah kayak habis ditabrak badai. Jangan bilang gara-gara seseorang semalam?”
Jesslyn mencoba defensif, menuang kopi. Dia mau berusaha tidak terjadi apa-apa juga rasanya rugi, sudah jelas jika apa yang mereka pikirkan terjadi pada Jesslyn.
“Gue nggak ada urusan sama siapa-siapa.” jawan Jesslyn seadanya, sambil meneguk kopi yang baru saja jadi.
Rhea menyilangkan tangan, tatapannya penuh selidik. Dia tidak percaya jika wanita itu baik-baik saja. Berita akhir-akhir ini cukup membuat Rhea khawatir dengan keberadaan SMA juga keadaan Jesslyn. “Kalau nggak ada urusan, kenapa mata Lo sembab gitu? Lo begadang Jess? Atau nonton Drakor?
Jesslyn diam sebentar, lalu akhirnya menghela napas berat, lebih baik dia jujur ketimbang dicecar pertanyaan oleh mereka. Apalagi Rhea berasal dari keluarga Miller tidak mungkin jika Rhea tidak tahu gosip terbaru si keluarga mereka.
“…gue cuma kepikiran kata-kata Christian. Waktu gue cerita soal Hanna, dia bilang… kalau semua ini ketahuan orang yang salah, bisa berakhir buruk. Gue jadi takut. Bukan cuma untuk gue sih, tapi juga buat dia.”
Suasana mendadak serius. Elina berhenti bercanda, Rhea menatap prihatin. Dan Elina ingat betul tawaran Hanna waktu itu, pada dirinya dan juga Jesslyn.
“Jadi lo khawatir ibunya Christian tahu?” tanya Elina kasihan. Wanita itu diantara dua pilihan. Antara cinta dan juga sahabat.
Jesslyn mengangguk pelan, menatap cangkirnya dimana kopinya tinggal setengah. “Iya. Hanna aja udah bikin gue waspada, apalagi kalau sampai ibunya. Gue nggak tahu gue bisa sekuat itu atau nggak.”
Rhea menepuk bahu Jesslyn dan menyakinkan. “Yang penting lo jangan jalan sendirian, Jess. Kalau memang Christian serius, dia harusnya yang paling depan buat ngadepin semua itu.”
Jesslyn terdiam. Kata-kata Rhea menohok hatinya. Dalam diam, ia sadar rasa takutnya lebih besar daripada rasa marahnya. Dan ketakutan itu datang bukan karena ia ingin pergi dari Christian, tapi justru karena ia tahu betapa dalam dirinya sudah terikat pada lelaki itu.
Elina menjentikkan tangannya menatap Rhea dengan serius. Masalah ini tidak hanya Jesslyn saja yang tahu, tapi Elina juga dia tahu ketika Hanna bercerita kemarin. Dan wanita itu menawarkan hadiah tas branded jika Elina maupun Jesslyn berhasil membongkar wanita mana yang mendekati Christian. Diantara nguntungin juga ngerugiin Elina sih. Jika dia berkata jujur dia dapat tas, kalau dia bohong dia gak dapat apa-apa
“Ya Lo pikir d***o, masa Lo mau nyerahin gue ke Hanna cuma demi tas doang? Tega banget lo Mbak El.” Dengus Jesslyn.
Elina mendengus. “Ya gimana yaa … tas branded loh Jess.”
“Sialan!! Lo bisa minta Noah kalau mau Mbak Elina!!” Seketika itu juga Elina diam, bibirnya mengerucut menandakan jika wanita itu sedang kesal.
****