Chapter 3-The Hidden Side

4411 Kata
Grace baru tersadar bahwa kini Reynald tengah mencium keningnya ketika dia mendengar sorak sorai para mahasiswa dari arah kantin. Dengan mengerahkan seluruh kekuatannya, gadis itu mendorong tubuh Reynald hingga laki-laki itu terdorong ke belakang beberapa langkah. Reynald menaikkan satu alisnya ketika Grace menatapnya dengan amarah yang terlihat jelas di kedua matanya dan wajah yang memerah. Gadis itu kemudian menunjuk wajah Reynald lurus-lurus.             “Elo...!” geram Grace. “Lo pikir lo itu siapa? Sampai berani nyium gue di depan umum, hah?!”             Reynald menanggapi emosi Grace dengan santai, bahkan laki-laki itu terkekeh pelan. Sementara Grace sudah tidak bisa menahan emosinya lebih lama lagi. Dengan tergesa, Grace menghampiri Reynald dan mengangkat sebelah tangannya ke udara. Namun, belum tercapai niat Grace untuk menampar Reynald, laki-laki itu langsung mencekal pergelangan tangan Grace, menggagalkan usaha gadis itu untuk menamparnya dan menarik tangan Grace hingga tubuh gadis itu mendekat ke arahnya. Sangat dekat, sampai Grace harus kembali menahan napas karena helaan napas Reynald bisa dirasakannya.             Reynald memperhatikan keseluruhan wajah Grace dengan seksama. Kedua matanya yang bewarna cokelat terang... hidungnya yang mancung... bibirnya yang tipis... garis wajahnya... alisnya... semuanya. Dan semuanya itu membuat suasana hati Reynald semakin tenang. Benar-benar tenang dan damai. Suasana hati yang selalu dia rasakan ketika Bunda berada di dekatnya. Dulu... sebelum akhirnya Bunda meninggal dunia karena... kejadian itu. Kejadian yang selama ini berusaha dikubur dalam-dalam oleh Reynald.             Grace sendiri hanya bisa terdiam. Dia ingin berontak dan melepaskan diri dari cengkraman Reynald namun tenaganya seolah lenyap entah kemana. Wajah Reynald saat ini benar-benar berbeda. Berbeda dengan wajah Reynald saat Grace pertama kali bertemu dengan laki-laki itu. Namun, detik berikutnya, wajah Reynald kembali seperti dulu. Saat Grace pertama kali bertemu dengan Reynald di koridor kampus. Wajah yang dingin dan sinis.             “Ini cara lo berterima kasih sama orang yang udah nolongin lo...,” ucap Reynald dengan nada rendah. “Grace?” sambung Reynald lagi.             “Kakak!” sergah Grace langsung. “Panggil gue Kakak! Lo itu dibawah gue, jadi lo harus hormatin gue!”             “Wah... ternyata lo cewek yang gila hormat, ya?” ejek Reynald. Laki-laki itu tidak membiarkan ketika Grace berusaha melepaskan diri darinya. Reynald justru semakin mengeratkan cekalannya dan semakin menarik tubuh Grace tepat ke arahnya. Seketika itu juga, pemberontakan Grace berhenti. Reynald bisa merasakan bahwa gadis itu mulai salah tingkah dan wajahnya terlihat sedikit memucat. Seringai tipis muncul di bibir Reynald, membuat Grace menelan ludah dengan susah payah.             “Udah selesai berontaknya?” tanya Reynald pelan. Grace hanya bisa menatap laki-laki di depannya dengan tatapan sinis.             “Gue kasih tau satu hal sama lo...,” kata Grace dengan suara dingin. Degup jantungnya menghentak dadanya dengan kencang karena dekatnya jarak antara dirinya dan Reynald, namun Grace berusaha untuk bersikap biasa saja di depan laki-laki itu. “Gue sama sekali nggak perlu berterima kasih sama lo karena gue sama sekali nggak minta bantuan lo!”             “Oke,” balas Reynald sambil menganggukkan kepalanya. Laki-laki itu melepaskan cekalannya dari tangan Grace dan mundur perlahan. Sementara Grace juga langsung memundurkan tubuhnya dan memijat pergelangan tangannya yang sedikit memerah dan terasa perih karena cekalan kuat Reynald beberapa saat yang lalu. “Kalau lain kali gue liat lo diseret-seret sama si Kian atau sama cowok manapun, gue akan belagak buta dan budek.”             Selesai berkata demikian, Reynald melipat kedua tangannya dan menaikkan satu alisnya. Grace yang kesal dengan ucapan Reynald itu langsung membalikkan tubuhnya dan berjalan menghampiri Azizah. Azizah bergegas mengejar Grace yang pergi dengan wajah kesal dan mulut yang tidak ada henti-hentinya menggerutu.             “Grace!”             Grace yang belum terlalu jauh berjalan, menoleh dan mendapati tampang tidak berdosa Reynald. Seakan mengetahui jalan pikiran Grace, Reynald langsung menutup mulutnya dengan sebelah tangan lalu melanjutkan aksinya dengan menangkupkan kedua tangannya di depan d**a.             “Ups! Sorry... maksud gue... Kak Grace....”             Grace hanya bergeming di tempatnya. Dia memiringkan kepalanya dan menyipitkan mata ketika menatap Reynald yang tersenyum mengejek ke arahnya.             “Tangan lo itu... kasih minyak kayu putih supaya rasa perih dan bekas merah akibat cekalan gue barusan cepat hilang.” Reynald kembali berseru, namun kali ini suaranya tidak sedingin biasanya. Suara laki-laki itu kini sedikit melunak.             Mendengar itu, Grace hanya mencibir dan mendengus, sebelum kemudian gadis itu menarik lengan Azizah yang berada di sampingnya dan pergi dari tempat itu. Setelah kepergian dua Kakak tingkatnya, Kenzo yang sedari tadi hanya menyaksikan kejadian tersebut dalam diam, mendekati Reynald yang masih menatap Grace, hingga gadis itu hilang dari pandangannya.             “Zo...,” panggil Reynald tanpa menatap sahabatnya itu. Kenzo menoleh dan menatap Reynald dengan kening berkerut.             “Lo kenal sama Kian Stevano, kan? Ketua BEM kampus ini?”             Tanpa menjawab, Kenzo mengangguk, mengiyakan pertanyaan Reynald. Kemudian, Reynald menoleh dan menatap Kenzo tepat di manik mata. Kenzo sedikit tertegun ketika melihat tatapan Reynald itu. Kenzo memang sering melihat tatapan mata Reynald yang dingin ataupun sinis, bahkan tatapan membunuh dan tajam, kalau laki-laki itu sedang dikuasai amarah dan emosi. Tapi, Kenzo tidak pernah melihat tatapan serius Reynald seperti ini. Sama sekali belum pernah. Apakah Kakak tingkat mereka tadi berpengaruh bagi kehidupan... Reynald? Siapa sebenarnya Kakak tingkatnya itu sampai bisa merebut semua perhatian Reynald?             “Cewek yang tadi itu, namanya Grace Anindya. Anak semester tiga. Kakak tingkat kita. Lo nggak usah tanya dulu gimana gue bisa kenal sama Grace. Yang mau gue minta ke elo, kalau lo liat si Kian nyamperin Grace bahkan melakukan tindakan-tindakan yang bikin Grace marah, atau malu seperti tadi, lo langsung lapor ke gue!”             “Tapi... buat apa?” tanya Kenzo pelan dan hati-hati. “Maksud gue, ini kan sama sekali bukan urusan lo, Rey....”             “Memang bukan,” jawab Reynald santai. Tatapannya kini beralih ke kejauhan, tempat dimana Grace baru saja menghilang dari pandangannya. “Tapi siapapun yang mengganggu Grace, dia berurusan sama gue! Yang boleh mengganggu dan membuat dia marah, cuma gue!” tandas Reynald sambil tersenyum penuh makna. Sementara Kenzo hanya bisa mendesah pelan dan menggelengkan kepalanya. ~~~ Grace duduk di kursinya dengan perasaan yang campur aduk. Gadis itu mengangkat sebelah tangannya ke d**a dan bisa merasakan kalau jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Benar-benar cepat karena Grace bisa merasakan bahwa dia kesulitan bernapas dengan benar. Azizah yang duduk di depan Grace, hanya bisa menatap sahabatnya dengan senyum yang terukir di bibirnya.             “Kenapa lo senyum-senyum gitu?” tanya Grace ketika dia melihat Azizah semakin tersenyum ke arahnya. Gadis itu bahkan menopang dagunya dengan kedua tangan dan mendesah berlebihan. Membuat Grace menyipitkan mata dan menunjuk wajah Azizah.             “Lo pasti lagi mikirin yang macam-macam soal kejadian tadi, deh!” tuduh Grace. Azizah hanya tertawa dan menarik napas panjang.             “Lo kelihatan kayak orang yang salah tingkah, Grace,” ledek Azizah. Seketika itu juga, Grace langsung mengerucutkan bibirnya dan melipat kedua tangannya di depan d**a.             “Maksud lo apa?”             “Lo deg-degan, kan?”             Grace langsung berdeham dan menggeleng. Ketahuan sekali kalau dia sedang mengelak dari pertanyaan Azizah. `           “Jangan bohong,” tukas Azizah langsung. “Tadi lo megangin d**a lo, Grace. Lo pasti ngerasa deg-degan, kan? Lo deg-degan karena apa, nih? Karena Kak Kian ngajakin lo balikan lagi, atau karena Reynald yang nolongin lo tadi? Sumpah, Reynald itu, biar kata masih semester satu, masih mahasiswa baru, tapi dia dewasa banget! Dia bahkan mau nolongin lo, Grace! Padahal sebelum ini, kan, lo sama dia sempat berdebat. Tindakan dia tadi benar-benar heroik. Kalau gue jadi lo, gue udah klepek-klepek, kali....”             “Cih,” cibir Grace seraya mengibaskan sebelah tangannya. “Gak sudi gue klepek-klepek sama dia. Tadi itu, gue megang d**a gue karena d**a gue sedikit sakit.”             “Kalau lo bohong, lo kena penyakit jantung, ya?”             Grace melotot ganas ke arah Azizah yang tertawa dan mengetuk beberapa jarinya di atas meja. “Amit-amit, jabang bayi tujuh turunan... lo, kok, tega banget do’ain gue kayak gitu?”             Azizah hanya tertawa dan menggelengkan kepalanya. Grace sendiri tidak lagi memperdulikan sahabatnya itu. Pikirannya kembali melayang ke kejadian beberapa saat yang lalu, saat Reynald menolongnya dari Kian. Saat laki-laki itu menolongnya yang hampir terjatuh karena tersandung dan... mencium keningnya. Mengingat insiden ketika Reynald mencium keningnya, tanpa sadar, Grace tersenyum kecil. Wajahnya mulai memanas. Jantungnya kembali berdegup kencang. Ketika dia tidak sengaja melirik Azizah yang sedang menatapnya lekat-lekat, Grace semakin salah tingkah dan memukul lengan Azizah kesal.             “Tuh, kan... muka lo merah, tuh... hayooo, mikirin kejadian tadi, ya? Pas Reynald nyium kening lo?” goda Azizah.             “Zah, lo apaan, sih?!” seru Grace. “Udah, ah, gue mau ke toilet.”             Melihat sahabatnya bangkit berdiri dan setengah berlari keluar kelas, tawa Azizah kembali pecah.             Dalam perjalanannya menuju toilet, Grace berusaha menormalkan degupan jantungnya. Gadis itu kemudian benar-benar berlari menuju toilet dan bersembunyi didalamnya. Grace menghembuskan napas keras dan menatap pantulan dirinya di depan cermin. Gadis itu menangkup kedua pipinya yang terasa hangat di tangannya.             “Grace Anindya,” ucapnya pada pantulan dirinya di cermin. “Masa, sih, lo suka sama si Reynald? Nggak mungkin, kan?”             Ketika bayangan wajah Reynald tiba-tiba hadir dalam benaknya, juga perhatian laki-laki itu tadi padanya, saat Reynald menyuruhnya untuk mengoleskan minyak kayu putih ke pergelangan tangannya, detik itu juga Grace mendesah kuat dan menutup wajahnya dengan kedua tangannya. ~~~ Reynald masuk kedalam kelas bersama Kenzo setelah jam makan siang berakhir. Laki-laki itu mengerutkan keningnya ketika melihat Ayahnya berada didalam kelas, mengerubungi tempat duduknya bersama Kian dan beberapa Kakak tingkat yang Reynald yakini adalah teman-teman dari Kian. Beberapa teman sekelasnya juga ada yang ikut mengerubungi tempat duduknya, sedangkan sisanya, lebih memilih untuk menjauh dan menyaksikan dari tempat mereka masing-masing sambil berkasak-kusuk.             “Rey,” panggil Kenzo seraya menyikut lengan Reynald pelan dengan sikunya, “kenapa bokap lo sama si Kian dan gerombolannya ada disini? Di tempat duduk lo, lagi.”             Reynald yang berdiri di ambang pintu bersama Kenzo hanya melirik Kenzo sekilas dan kembali melanjutkan langkahnya. Ditatapnya Darian dengan tatapan menantang. Sementara Darian hanya menatap anak bungsunya itu dengan tatapan datar.             “Ada apa ini?” tanya Reynald cuek. Laki-laki itu kini berdiri berhadapan dengan Darian. Sekilas, dia melirik Kian yang tersenyum mengejek ke arahnya.             “Apa benar kamu mencuri ponsel milik Kian, Rey?” tanya Darian datar. Reynald hanya mengangkat satu alisnya dan melipat kedua tangannya di depan d**a. Teman-teman sekelas Reynald, termasuk Kenzo langsung tersentak ketika mendengar pertanyaan yang keluar dari mulut pria pemilik kampus itu. Kenzo juga langsung menatap Reynald yang tetap memasang wajah tenang bak tidak terjadi apa-apa, dengan tatapan menuntut dan tatapan tidak percaya. Reynald itu anak dari Darian, dari pemilik kampus yang saat ini sedang berdiri tepat di hadapannya. Mustahil bagi Reynald jika dia mencuri barang milik orang lain. Kenzo bahkan yakin seratus persen, tanpa mencuri pun, Reynald bisa memiliki semua barang apapun yang dia inginkan, semahal apapun harga dari barang tersebut.             “Permainan kotor macam apa lagi, ini?” balas Reynald tanpa menjawab pertanyaan Ayahnya tadi. Mendengar hal itu, Kian kontan mengerutkan kening dan sedikit salut dengan keberanian adik tingkatnya itu karena berani melawan orang yang paling penting di kampus ini. Setelah tadi Reynald menolong Grace, Kian langsung mencari tahu nama dan kelas Reynald pada beberapa mahasiswa yang melihat kejadian di depan kantin. Kejadian saat dia menyeret Grace dan Reynald datang untuk ikut campur. Padahal, Kian sama sekali tidak tahu bahwa orang yang dianggapnya remeh ini justru orang yang juga memiliki peran penting didalam kampus.             “Jangan mengalihkan pembicaraan!” seru Darian tegas. Dia menatap Reynald dengan tatapan tajam. Sementara yang diberi tatapan tajam hanya tersenyum tipis. “Saya bertanya sekali lagi pada kamu, Reynald. Apa kamu mencuri ponsel milik ketua BEM kampus ini?”             “Pak, lebih baik kita geledah saja ranselnya. Dengan begitu, dia tidak bisa mengelak lagi. Mana ada maling yang mau mengaku, Pak.” Kian angkat bicara ketika dia melihat Reynald sama sekali tidak takut dengan Darian. Kian tersenyum puas ketika Reynald menatapnya dengan tatapan membunuh.             “Baik,” ucap Darian seraya mengangguk. “Akan saya geledah ransel Reynald sekarang.”             Reynald hanya bergeming di tempatnya ketika perlahan Darian mulai membuka ranselnya. Pertama, Darian menggeledah bagian depan ranselnya. Ketika dia tidak menemukan ponsel milik Kian disana, Darian melanjutkan dengan membuka ransel Reynald di bagian tengah. Beberapa detik Darian mengacak bagian tengah ransel Reynald, pria itu kemudian berhenti mengacak ransel Reynald dan menatap Reynald dengan tatapan sinis. Kenzo dan beberapa teman sekelas Reynald terperangah ketika Darian mengeluarkan sebuah BlackBerry dari dalam ransel Reynald. Reynald sendiri tetap memasang wajah tenang dan santai. Dia sama sekali tidak berbicara maupun membantah.             “Benar ini ponsel kamu, Kian?” tanya Darian tanpa menatap Kian. Pria itu tidak mengalihkan pandangannya sedetikpun dari wajah Reynald, begitu juga sebaliknya. Kian mengangguk bersemangat dan mengambil BlackBerry-nya dari tangan Darian.             “Benar, Pak. Ini ponsel saya...,” kata Kian seraya membungkukkan tubuhnya sedikit. “Terima kasih, Pak.”             Darian tidak membalas ucapan terima kasih yang dilontarkan oleh Kian. Pria itu hanya diam dan melangkah keluar dari kelas Reynald.             “Reynald Farhenza... kamu ikut ke ruangan saya sekarang juga!” tegas Darian dengan suara keras.             Reynald masih bergeming di tempatnya, sementara Kenzo melirik sahabatnya itu dengan tatapan penuh tanda tanya. Tidak mungkin Reynald mencuri ponsel Kian. Reynald selalu bersamanya sepanjang hari. Bahkan, mereka baru saja makan siang bersama di kantin. Setelah insiden Kian dan gadis bernama Grace di kantin tadi, Reynald dan dirinya kembali masuk kedalam kantin dan menghabiskan jam istirahat disana.             Kian maju mendekati Reynald. Kedua laki-laki itu saling berdiri berhadapan dengan tatapan yang saling menghujam satu sama lain. Kian tersenyum sinis ketika Reynald hanya diam dan mengepalkan kedua tangannya di sisi tubuhnya. Beberapa teman Kian berdiri di belakang Kian dan menatap Reynald dengan tatapan mengejek.             “Ini balasan karena lo tadi udah berani ikut campur urusan gue sama Grace. Anak ingusan macam lo nggak ada apa-apanya jika dibandingkan gue. Gue ini ketua BEM, dan gue bisa melakukan hal apapun kalau ada yang berani ikut campur sama urusan gue!” desis Kian.             Setelah berkata demikian, Kian sengaja menabrakkan bahunya ke bahu Reynald, lalu pergi keluar dari kelas Reynald sambil tertawa bersama teman-temannya. Reynald sendiri memejamkan kedua matanya kuat-kuat dan membalikkan tubuhnya.             “Rey...,” panggil Kenzo pelan. Tidak menyangka kalau Kian akan memfitnah Reynald hanya karena masalah beberapa saat yang lalu, ketika Reynald menolong gadis yang bernama Grace itu.             “Nanti gue pinjam catatan lo, Zo...,” balas Reynald datar dan menghilang dari pandangan Kenzo. ~~~ PLAK!             Suara tamparan itu begitu keras terdengar. Reynald jatuh tersungkur sambil mengusap sudut bibirnya. Ketika dia melihat ada noda darah di jarinya, Reynald hanya mendengus dan tersenyum kecil. Reynald bahkan bisa merasakan pipinya berdenyut karena rasa nyeri yang mulai menjalar di pipinya akibat tamparan Ayahnya barusan.             “KAMU SADAR DENGAN APA YANG SUDAH KAMU LAKUKAN BARUSAN, HAH?!” teriak Darian keras. Dia menunjuk wajah Reynald yang masih menatap lantai lurus-lurus. “KALAU MEREKA TAHU KAMU ANAK AYAH, MAU DITARUH DIMANA MUKA AYAH INI, REY?!”             Reynald hanya terdiam. Perlahan, laki-laki itu mulai bangkit berdiri dan menatap wajah Ayahnya dengan tatapan kosong.             “Kalau kamu menginginkan sesuatu, kamu bisa bilang sama Ayah, Rey! Apapun yang kamu inginkan, bisa Ayah penuhi! Kamu tidak perlu melakukan hal memalukan seperti tadi!” seru Darian lagi.             “Kalau Rey bilang Rey sama sekali tidak mencuri ponsel Kian, apa Ayah bisa percaya?”             Darian terdiam. Pria itu hanya menatap wajah datar Reynald dengan tatapan sinis.             “Ayah tidak percaya, kan?”             “Ponsel itu ada didalam ransel kamu, Rey! Itu bukti kuat bahwa kamu memang mencuri ponsel milik Kian!”             Reynald hanya tertawa hambar dan mendengus.             “Kian itu cuma mau balas dendam sama Rey, karena Rey sudah mengganggu acara dia tadi di kantin. Rey difitnah.”             “Omong kosong!” tegas Darian penuh emosi. “Ayah akan skors kamu selama tiga hari! Selama tiga hari itu, kamu akan Ayah kurung di rumah. Kamu tidak boleh pergi kemanapun!”             Reynald mengalihkan pandangannya dan membalikkan tubuhnya. Ada rasa nyeri didalam hatinya ketika Ayahnya sendiri tidak percaya padanya. Rasa nyeri itu kemudian berubah menjadi rasa sesak yang tidak bisa dikendalikan. Dengan kedua tangan terkepal kuat di sisi tubuhnya, Reynald pergi dari ruangan Darian dan menutup pintu dengan bantingan keras. ~~~ Reynald berhenti melangkah ketika dia melihat Kian sedang menyeret Grace di koridor kampus. Gadis itu berusaha sekuat tenaga melepaskan diri dari cekalan Kian, bahkan sampai berseru, tetapi Kian sama sekali tidak mau melepaskan Grace. Melihat itu, emosi Reynald menyeruak keluar. Dengan langkah cepat, Reynald mengejar Grace dan Kian.             “Kak Kian, gue bilang lepasin gue!” seru Grace keras. Pergelangan tangannya terasa sangat sakit karena dicengkram dengan kuat oleh Kian.             “Kita harus ngomong, Grace! Aku mau kamu balik lagi jadi pacar aku!” seru Kian dengan suara yang tak kalah keras. Beberapa pasang mata menatap keduanya dengan tatapan ingin tahu.             “Kak Kian! Tangan gue sakit... lepas!”             Baru saja Kian akan membalas ucapan Grace, laki-laki itu merasa bahunya diputar paksa dari belakang dan sesuatu menghantam wajahnya dengan keras! Kian jatuh terjungkal ke belakang sementara Grace menjerit pelan dan menutup mulut dengan kedua tangannya ketika melihat Kian terjatuh. Grace menoleh ke samping dan melihat Reynald sudah berdiri di sampingnya dengan tatapan penuh emosi. Bahu Reynald naik-turun, menandakan emosi dan amarah yang sudah menggelegak didalam dadanya.             “Apa-apaan lo?!” seru Kian sambil bangkit berdiri dan memasang tubuhnya tepat di depan tubuh Reynald. “Lo berani mukul gue, hah?!”             “Orang kayak lo memang pantas untuk dihajar!” desis Reynald dengan suara rendah dan berbahaya.             “Oh... lo masih berani ngelawan gue?” tantang Kian seraya tersenyum sinis.             “Kenapa gue harus nggak berani?” balas Reynald. “Mau lo pakai seribu cara licik lo itu untuk ngejatuhin gue, gue nggak akan pernah takut sama lo! Dan gue juga udah punya bukti kalau lo yang sengaja naruh ponsel lo sendiri di ransel gue dan memfitnah gue.”             Kian membeku di tempatnya. Laki-laki itu melirik ke sekelilingnya dan merasa dirinya sedikit terancam. Kalau sampai semua mahasiswa yang berada di sekitarnya tahu bahwa dia sudah melakukan cara licik untuk menjatuhkan adik tingkat di depannya ini, reputasinya pasti akan hancur.             “Kali ini lo menang,” kata Kian pelan. “Tapi untuk selanjutnya, lo akan gue bikin hancur!”             Beberapa detik saling tatap dengan tatapan tajam, Kian akhirnya membalikkan tubuhnya dan pergi dari hadapan Reynald dan Grace. Grace mendesah lega dan mengelus dadanya penuh rasa syukur. Tadi, Kian lagi-lagi datang ke kelasnya dan langsung menyeretnya begitu saja. Meskipun berusaha melawan, Grace tidak cukup kuat untuk melepaskan diri dari Kian.             Grace menoleh ke arah Reynald dengan ragu. Tanpa bisa dicegah, jantungnya kembali berulah. Jantungnya berdegup dengan kencang, mengentak dadanya dengan keras. Napasnya seolah tercekat di tenggorokkan dan Grace merasa wajahnya mulai memanas. Gadis itu merutuki dirinya sendiri dalam hati karena kegugupan yang tiba-tiba datang.             Duh... kenapa gue jadi salah tingkah gini, sih, di depan si Reynald? Masa gue beneran suka sama dia? Nggak mungkin, kan? Gue kenal dia juga belum lama! Grace membatin dalam hati.             “Lain kali, jangan berantem di depan mata gue.”             Grace mengerjapkan mata dan mengerutkan kening ketika mendengar ucapan Reynald barusan. Kemudian, Reynald menoleh dan menatap Grace tepat di manik mata.             “Jangan pernah sekali saja lo bertengkar sama si b******k itu di depan mata gue! Karena gue nggak mungkin bisa belagak buta atau b***k! Dan karena gue juga nggak mau capek-capek bantuin lo lagi nantinya! Jadi, kalau lo mau memainkan drama kacangan lo sama si Kian itu, lebih baik diluar kampus, supaya gue bisa berdiam diri dan nggak mengetahui apapun, meskipun nantinya lo diapa-apain sama Kian!”             Selesai berkata demikian, Reynald meninggalkan Grace yang terpaku di tempatnya berdiri. Gadis itu menatap dinding di depannya dengan tatapan kosong. Ada sedikit rasa tidak percaya ketika mendengar ucapan Reynald beberapa detik yang lalu. Pelan, Grace menoleh dan menatap punggung Reynald yang semakin menjauh. Punggung itu... Grace merasa punggung itu begitu rapuh, begitu kesepian, begitu menyedihkan. Grace harus mengakui dalam hati bahwa Reynald itu sebenarnya orang yang baik, meskipun sikapnya dingin dan menyebalkan.             Tapi... ucapan Reynald tadi kepadanya, membuat Grace tidak bisa menyembunyikan perasaannya yang terluka. Kata-kata Reynald tadi begitu menohoknya. Membuat jantungnya yang tadi berdegup kencang dan tidak karuan menjadi berdenyut dan sedikit terasa nyeri.             Dan tanpa sadar, mata Grace mulai berkaca-kaca. ~~~ Reynald duduk di balkon lantai lima kampusnya dengan tatapan menerawang. Tidak banyak yang tahu mengenai keberadaan tempat ini karena letaknya yang sedikit tersembunyi. Biasanya, di balkon ini terdapat beberapa mahasiswa yang sengaja bersembunyi hanya karena tidak ingin mengikuti mata kuliah yang membosankan. Lain halnya dengan Reynald. Di datang ke balkon yang berada di lantai paling atas gedung kampus ini bukan karena ingin membolos mata kuliah. Laki-laki itu hanya ingin menenangkan dirinya sebentar. Merasakan hembusan angin di wajahnya, memainkan rambutnya. Membawa kesegaran dan kesejukan bagi dirinya juga hatinya.                      Reynald menghisap rokoknya dalam-dalam dan menghembuskan asap dari rokok tersebut ke udara. Reynald memang bukan perokok, tetapi dia sudah mengenal rokok sejak Bunda meninggal dunia. Reynald akan selalu melarikan diri kepada rokok kalau dia merasa stress atau frustasi. Hanya kalau dia merasa berada dalam fase itu. Selebihnya, Reynald tidak pernah menghisap benda nikotin tersebut.             Mata Reynald mulai berkaca ketika dia teringat lagi akan tuduhan Ayahnya. Ayah kandungnya sendiri tega menuduhnya melakukan hal tercela dan tidak mempercayai dirinya sama sekali. Reynald memejamkan kedua matanya kuat-kuat dan membiarkan tetesan airmatanya mengalir turun.             “Bunda...,” panggil Reynald lirih. “Bunda sayang kan sama Rey? Bisa, nggak, Bunda ajak Rey pergi sekarang? Rey butuh Bunda... Rey butuh pelukan Bunda... belaian Bunda... Rey nggak kuat, Bunda... semua orang jahat sama Rey... nggak ada yang peduli dan sayang sama Rey, seperti Bunda....”             Reynald membuang rokok yang sedang dipegangnya dan menginjaknya kuat-kuat ketika dia membuka kedua matanya. Laki-laki itu kemudian mendongak dan menatap langit yang sedikit mendung di atas sana. Reynald tersenyum getir dan pahit.             “Bunda... Rey kangen... Bunda kangen nggak sama Rey?” tanya laki-laki itu parau. Dan detik berikutnya, Reynald menelungkupkan kepalanya diantara kedua lututnya. Dia menangis dalam diam.   Kata mereka diriku selalu dimanja... Kata mereka diriku selalu ditimang... Oh... Bunda... ada dan tiada dirimu... Kan selalu... ada didalam hatiku... (Melly Goeslaw-Bunda) ~~~ Grace tidak bisa berhenti mengingat sikap Reynald padanya tadi. Ini yang kedua kalinya Reynald menolongnya dari Kian. Tapi, sikap Reynald tadi berbeda. Dan hal itu membuat Grace tidak bisa fokus dengan mata kuliah terakhir yang sedang dijelaskan oleh dosen di depan kelas. Akhirnya, dengan setengah hati, Grace bangkit berdiri dan meminta izin kepada dosen yang sedang mengajar untuk pergi ke toilet. Azizah sendiri hanya menatap kepergian sahabatnya dengan kening berkerut dan mengangkat bahu tak acuh.             Dalam perjalanan menuju toilet, Grace tidak sengaja bertabrakan dengan seseorang. Otomatis, Grace langsung meminta maaf kepada orang tersebut dan kembali melanjutkan langkahnya.             “Kak Grace?”             Grace berhenti melangkah dan menoleh. Dia mengerutkan keningnya ketika melihat seorang laki-laki yang sedang membawa sebuah ransel tersenyum ke arahnya.             “Kak Grace, kan?”             Grace mengangguk ragu dan menatap laki-laki itu dari ujung rambut hingga ujung kaki. “Siapa, ya?”             “Gue Kenzo... sahabatnya Reynald, Kak.”             Mendengar nama Reynald, entah kenapa membuat Grace menjadi deg-degan. Gadis itu berusaha sebisa mungkin bersikap biasa saja. Dia hanya tersenyum ke arah Kenzo dan mengangkat sebelah tangannya ke arah Kenzo, hanya sekedar untuk menyapa laki-laki itu.             “Hai, Zo...,” kata Grace pelan. “Senang kenal sama lo.”             Baru saja Grace akan kembali melanjutkan langkahnya ke toilet, Kenzo berkata, “Kak Grace tau kalau Reynald lagi ada di ruang kesehatan?”             Grace tidak menyahut. Gadis itu masih berdiri membelakangi Kenzo. Tapi, tak bisa dipungkiri bahwa kini Grace merasa sedikit khawatir dan cemas. Astaga, ada apa dengan dirinya? Apa memang benar dia sudah jatuh cinta pada Reynald?             “Dia sakit, Kak... tadi dia SMS gue dan nyuruh gue untuk ngantar ranselnya kesana. Tapi, gue baru ingat kalau gue masih harus ngerjain tugas yang mesti dikumpulin sekarang juga. Jadi... gue bisa minta tolong sama lo, nggak, Kak? Tolong antar ransel Reynald ke ruang kesehatan.”             Grace tidak menjawab. Gadis itu hanya menarik napas panjang dan membuangnya dengan keras. ~~~ Pintu ruang kesehatan terbuka setengahnya. Grace melongokan kepalanya kedalam ruangan dan memperhatikan keadaan didalam ruangan tersebut. Kosong. Tidak ada siapapun didalam ruang kesehatan tersebut. Dengan langkah pelan, Grace mulai melangkah masuk kedalam ruang kesehatan itu dan menutup pintu di belakangnya dengan pelan.             Grace meletakkan ransel milik Reynald di atas meja. Gadis itu kemudian mendekati sebuah ranjang dengan Reynald yang sedang terbaring di atasnya dengan kedua mata yang terpejam. Tadi, Grace akhirnya menyetujui permintaan tolong yang diajukan oleh Kenzo untuk mengantar ransel Reynald kesini. Bukan karena dia ingin bertemu dengan Reynald, tetapi karena dia kasihan pada Kenzo.             Benarkah? Benarkah hanya karena dia kasihan pada Kenzo? Bukan karena dia sebenarnya memang khawatir dan cemas kepada... Reynald?             Grace berdiri tepat disamping Reynald. Wajah laki-laki itu benar-benar damai dan polos saat sedang tertidur seperti sekarang ini. Tanpa sadar, bibir Grace menyunggingkan seulas senyum. Sebelah tangannya terangkat dan menempel di kening Reynald. Grace sedikit terperanjat saat dia merasakan suhu tubuh Reynald yang cukup tinggi. Laki-laki itu sepertinya terserang demam. Grace menoleh ke kanan dan ke kiri lalu matanya menatap sebuah baskom dan sebuah handuk kecil yang tersampir di atas baskom tersebut. Tanpa buang waktu, Grace langsung mengisi baskom tersebut dengan air dan mengompres kening Reynald.             “Bunda....”             Grace sedikit terlonjak saat mendengar suara serak yang keluar dari bibir Reynald. Gadis itu mengerutkan keningnya dan menatap wajah Reynald yang masih tertidur. Sepertinya, Reynald mengigau.             “Bunda... Bunda....”             Grace bingung harus bersikap bagaimana. Reynald terus mengigau memanggil Bundanya dan laki-laki itu bergerak gelisah dalam tidurnya.             “Bunda... Rey kangen... Bunda... Rey kesepian....”             Grace menatap Reynald dengan tatapan iba. Sepertinya, Reynald menjadi sosok dingin dan sinis karena merasa rindu dengan Bundanya. Grace jadi bertanya-tanya dalam hati. Dimana Bunda Reynald saat ini? Reynald sepertinya benar-benar merasa kesepian. Grace bahkan bisa melihat kerapuhan Reynald saat ini.             “Bunda... Rey mau ikut Bunda... semua orang jahat sama Rey, Bunda....”             Reynald semakin bergerak gelisah dalam tidurnya. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri dengan kedua mata yang terpejam. Keringat mulai bermunculan di keningnya. Dengan cepat, Grace langsung menggenggam tangan Reynald.             “Ssst...Reynald... everything’s gonna be alright.” Grace menggenggam tangan Reynald dengan erat. Sebelah tangannya yang lain mengelus rambut Reynald. Laki-laki itu masih saja bergerak gelisah. Kemudian, Grace bisa melihat airmata mengalir dari kedua mata Reynald yang terpejam. Melihat itu, Grace terhenyak. Dia menatap Reynald dengan tatapan nanar. Serapuh inikah Reynald? Inikah sosok Reynald yang sebenarnya? Sosok yang disembunyikan oleh Reynald dari orang banyak agar mereka tidak tahu bahwa sebenarnya Reynald itu begitu rapuh dan hancur?             “BUNDA!”             Grace terlonjak saat tiba-tiba Reynald berteriak keras dan bangkit dari tidurnya. Napas laki-laki itu tersengal. Airmata itu masih terlihat. Wajah Reynald pucat. Kemudian, Grace bisa merasakan tangannya yang menggenggam tangan Reynald sudah berubah posisi menjadi tangannya yang digenggam kuat oleh laki-laki itu. Grace mengerjapkan mata ketika Reynald menoleh ke arahnya dengan cepat dan langsung merengkuh tubuh gadis itu. Reynald memeluk tubuh Grace sangat erat. Benar-benar erat. Grace bahkan sampai menahan napas karena perlakuan Reynald yang tiba-tiba itu.             “Bunda... gue kangen Bunda, Grace... gue kangen Bunda... gue mau ketemu Bunda... gue butuh Bunda... butuh Bunda....” Reynald berkata dengan lirih dan terbata. Suaranya terdengar serak dan parau karena bercampur dengan isak tangisnya.             Grace tidak membalas pelukan Reynald. Dia membiarkan Reynald menenggelamkan kepalanya di bahunya. Dia membiarkan Reynald melingkarkan kedua tangannya di lehernya, seolah menggantungkan hidupnya pada dirinya. Kemudian, perlahan, kedua tangan Grace terangkat dan balas memeluk tubuh Reynald. Grace menepuk punggung Reynald pelan, memberikan sedikit kekuatan bagi Reynald.             “Grace... gue kangen Bunda... gue mau dipeluk Bunda....” Reynald kembali berbicara. Laki-laki itu memejamkan kedua matanya kuat-kuat. Rasa sesak itu akhirnya keluar dari persembunyiaannya, begitu pula dengan rasa sakit yang selama ini dipendamnya.             “Gue butuh Bunda, Grace....”             Entah bagaimana caranya, Grace bisa ikut merasakan kesedihan dan kerapuhan Reynald. Gadis itu mengangguk di bahu Reynald dan semakin memeluk Reynald dengan erat, seperti laki-laki itu memeluk tubuhnya dengan erat.             “Lo bisa menganggap gue sebagai Bunda lo, Rey...untuk saat ini,” kata Grace pelan.             Dan Reynald semakin menangis didalam pelukan Grace. ~~~  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN