Grace berlari sekuat yang dia bisa. Gadis itu kemudian berhenti tepat di depan ruang bursa efek dan membungkukkan tubuhnya untuk mengatur napasnya yang tersengal. Grace kemudian membasuh wajahnya dengan sebelah tangan, menarik napas panjang lalu kembali menegakkan tubuhnya. Kepalanya sedikit menoleh ke belakang untuk mencari tahu apakah Reynald mengerjarnya atau tidak. Ketika dia mendapati koridor kampus lengang, Grace mendesah lega.
“Ngapain juga tadi gue pake liatin dia main gitar, sih?” keluhnya pada diri sendiri. Wajahnya sedikit memerah karena kehabisan napas akibat berlari.
Grace menghembuskan napas keras dan kembali melanjutkan langkahnya menuju ruang kelasnya. Suara nyanyian Reynald beberapa saat yang lalu masih terdengar di telinganya. Suara laki-laki itu cukup bagus untuk ukuran suara laki-laki yang bisa bernyanyi.
Namun... ada satu hal yang mengganggu pikiran Grace saat ini. Saat Reynald bernyanyi tadi, wajah laki-laki itu begitu datar, tanpa ekspresi dan tatapan matanya terlihat sangat sendu. Seolah-olah ada sebuah masalah yang sedang dipikirkannya hingga beban dari masalah tersebut terlukis jelas di wajahnya.
“Kenapa bengong begitu?”
Grace terlonjak saat mendengar satu suara bergema di belakangnya. Refleks, gadis itu menoleh dan mendapati Azizah sedang tersenyum geli ke arahnya. Grace mengerucutkan bibirnya dan mengelus dadanya pelan.
“Elo ngagetin gue aja, Zah!” seru Grace seraya memukul lengan Azizah pelan. Azizah hanya tertawa dan menyusupkan lengannya ke lengan Grace kemudian melangkah bersama disepanjang koridor kampus.
“Abis dari mana?” tanya Grace pelan. Dia memang mengajak Azizah berbicara, tetapi perhatiannya tercurah ke hal yang lain.
“Toilet,” balas Azizah santai. “Lo sendiri?”
“Hmm?”
“Elo abis dari mana?”
“Abis ngeliatin orang main gitar.”
Azizah berhenti melangkah dan hal tersebut membuat Grace mau tak mau juga ikut menghentikan langkahnya. “Liatin orang main gitar? Siapa?”
“Rey....”
Ketika melihat Grace tidak melanjutkan kalimatnya, kening Azizah kontan berkerut. Senyum tipis mulai muncul di bibirnya. Alisnya terangkat satu. Senyum Azizah makin melebar ketika dia melihat Grace salah tingkah dan wajah gadis itu mulai merona merah.
“Kok berhenti ngomongnya?” tanya Azizah geli. “Maksud lo tadi... lo lagi ngeliatin Reynald main gitar?” godanya.
Grace pura-pura memasang tampang jengkel dan menggeleng kuat-kuat. “Gue kan nggak nyebut nama Reynald. Gue cuma nyebut nama Rey.”
“Iya... Rey itu nama panggilannya Reynald,” balas Azizah santai. Grace semakin salah tingkah. Dia tidak ingin sahabatnya ini berpikir yang macam-macam. Dia sama sekali tidak ingin muncul gosip apapun.
“Zah, apapun yang lagi lo pikirin tentang gue saat ini, itu semua salah. Satu hal yang perlu lo tau... gue nggak suka sama Reynald si adik tingkat yang ngeselin itu!”
“Emangnya siapa sih yang bilang kalau lo suka sama Reynald? Gue nggak bilang apa-apa, kan?” tanya Azizah sambil melipat kedua tangannya di depan d**a.
Telak!
Wajah Grace semakin memerah. Dia salah langkah. Dan dia hanya bisa menggerutu ketika melihat Azizah menertawakannya. Sungguh, Grace sama sekali tidak mempunyai pikiran ke arah sana. Dia tidak ingin menjalin hubungan dengan siapapun saat ini. Dan dia sama sekali tidak memiliki rasa apapun terhadap Reynald-Reynald itu.
Melihat wajah memerah Grace, Azizah semakin tertawa keras. Gadis itu kemudian kembali menggamit lengan Grace dan menarik gadis itu untuk segera pergi ke ruang kelas mereka.
Sementara itu, tanpa keduanya sadari, Reynald mengawasi dari kejauhan. Laki-laki itu langsung mengikuti Grace yang beberapa saat lalu kabur dari ruang musik setelah tertangkap basah olehnya sedang memperhatikannya bermain gitar dan menyanyi. Dia sengaja mengikuti gadis itu pelan-pelan dan bersembunyi saat Grace sempat menoleh ke belakang sebentar.
Satu senyum lembut muncul di bibir Reynald. Entah kenapa perasaannya seperti meringan ketika melihat wajah gadis itu. Membuat hatinya tenang dan damai. Perasaan yang Reynald sendiri tidak bisa mengetahui lagi apa maknanya setelah peristiwa yang terjadi tiga tahun yang lalu, saat dia masih duduk di bangku kelas satu SMA.
“I miss you... always miss you... wish you were here...,” gumam Reynald lirih. Satu sosok yang selalu dirindukannya pun muncul didalam benaknya, mengoyak hatinya dan akhirnya mengeluarkan rasa sesak itu dalam bentuk airmata.
~~~
Reynald baru pulang ke rumah ketika jarum jam menunjukkan pukul tujuh malam. Suasana di rumah yang terlihat mewah itu seperti tidak berpenghuni. Reynald menatap bangunan mewah di depannya dengan tatapan kosong. Entah sudah sejak kapan dia enggan masuk kedalam rumah di depannya itu. Mungkin semenjak kejadian itu terjadi. Entahlah. Dia sendiri juga bingung bagaimana kata-kata yang tepat untuk menjelaskannya. Seperti ada kehampaan dan kekosongan yang memenjarakan dirinya kalau dia kembali masuk kedalam rumah tersebut.
Reynald menghela napas berat dan melangkahkan kakinya menuju pintu rumahnya. Bahkan langkah kakinya pun terasa berat. Seolah tubuhnya sendiri melarangnya untuk masuk kedalam rumahnya sendiri.
Pintu besar di depannya terbuka setengahnya. Reynald melangkah masuk dengan malas. Ketika sampai di ruang makan, Reynald mendapati ayahnya dan Rizko, kakak laki-lakinya, sedang menikmati acara makan malam... tanpa dirinya.
“Kamu udah pulang, Rey?” tanya Rizko tanpa mengalihkan tatapannya dari makanan yang sedang disantapnya. Sementara ayahnya tidak berbicara satu patah katapun. Pria itu hanya terus menyantap makanannya sambil sesekali mengetik sesuatu di ponselnya. Reynald hanya terdiam di tempatnya. Menatap kedua anggota keluarganya dengan kedua tangan terkepal kuat disisi tubuhnya.
“Kelihatannya?” tanya Reynald dengan nada rendah. Sementara itu tidak ada jawaban maupun sahutan lagi dari Rizko. Dari awal Reynald sebenarnya sudah tahu kalau pertanyaan itu hanyalah sekedar basa-basi belaka.
Reynald mendengus dan memutar tubuhnya menghadap ke arah tangga. Bersiap untuk naik ke kamarnya yang berada di lantai dua.
“Kamu nggak makan?”
Reynald berhenti melangkah. Kali ini dia mendengar suara ayahnya yang berbicara dengannya. Reynald kembali merasakan sesak yang memenuhi rongga dadanya. Bahkan hanya untuk sekedar mengajukan pertanyaan seperti itu saja, suara ayahnya terdengar seperti tidak ikhlas.
“Sejak kapan Ayah peduli dengan keadaan Rey?”
Ucapan Reynald itu membuat aktivitas makan Rizko dan Darian terhenti. Kedua orang tersebut menatap Reynald yang tidak menatap ke arah mereka. Laki-laki itu berada di undakan anak tangga kedua. Tangannya masih terkepal disisi tubuhnya.
“Reynald Farhenza, jaga mulut lo!” teriak Rizko keras.
Reynald hanya tersenyum sinis dan tertawa datar. Kemudian, dengan satu gerakan cepat, Reynald memutar tubuhnya dan menyunggingkan kembali senyuman sinisnya yang tadi sempat berubah menjadi tawa datar.
“Here it comes the hero,” ucap Reynald sambil bertepuk tangan dengan tempo lambat. Perlahan, dia menuruni tangga dan mendekatkan diri ke arah Darian dan Rizko. “Penjilat! Sampai kapan lo mau ngambil hati Ayah dengan cara lo yang licik itu? Menjijikkan!”
Rizko menggeram penuh amarah. Laki-laki itu langsung bangkit dari duduknya dan berniat menghampiri Reynald. Namun, langkahnya harus terhenti saat lengannya dicekal oleh Darian. Pria itu menggelengkan kepalanya. Otomatis, Rizko berhenti menghampiri Reynald. Tatapannya masih terarah pada Reynald. Jenis tatapan tajam yang siap menguliti Reynald detik itu juga.
Setelah mengelap mulutnya dengan serbet, Darian bangkit dari duduknya dan berjalan menuju anak bungsunya itu. Begitu ayah dan anak itu sudah berdiri berhadapan, Reynald melihat ayahnya tengah menatapnya dengan sorot yang sulit ditebak.
“Penjilat?” tanya Darian pada Reynald. “Apa maksud ucapan kamu tadi kepada Rizko, Rey?”
“Ayah pasti mengerti apa maksud ucapanku barusan,” balas Reynald dingin. “Memang kenyataan bahwa anak sulung Ayah, yang paling Ayah banggakan itu, adalah seorang penjilat. Sama seperti....” Reynald menggantung kalimatnya. Dia menatap Ayahnya dengan tatapan dingin dan senyum sinis yang terukir di bibirnya. “Ayahnya...,” lanjut Reynald.
Tiba-tiba, Reynald merasakan tubuhnya seperti terbanting kuat. Dia merasakan sesuatu yang asin di sudut bibirnya. Ketika Reynald menyentuh sudut bibirnya, laki-laki itu terkekeh saat menemukan darah mengalir disana. Baru saja, Darian menamparnya dengan keras. Sampai Reynald jatuh terjerembap ke lantai. Sementara Rizko hanya menatap kejadian itu dalam diam. Wajahnya datar. Tidak ada ekspresi yang terlihat dari sorot kedua matanya. Sama sekali tidak berniat untuk membantu Reynald untuk berdiri. Reynald sendiri masih saja duduk di atas lantai. Tidak ada niat untuk bangkit berdiri. Wajahnya juga ditundukkan.
“Kamu... sejak kapan kamu berani melawan Ayah, hah?!” seru Darian keras. “Kamu bahkan tidak pernah mendengar kata-kata Ayah! Kamu bahkan selalu menentang Ayah! Kamu bahkan tidak lebih baik dari Abangmu!”
Reynald mengangkat wajahnya dan menatap Darian dengan penuh amarah. Laki-laki itu bangkit berdiri dan mengepalkan kedua tangannya sampai buku-buku jarinya memutih.
“APA AYAH PERNAH BERPIKIR SEDIKIT SAJA TENTANG REY?!” teriak Reynald. Wajah datar itu kini berubah menjadi wajah yang penuh dengan emosi. Sorot matanya memancarkan luka. Luka yang mendalam. Luka yang sulit untuk diobati. Luka yang tidak pernah sembuh. “APA AYAH PERNAH BERPIKIR SEDIKIT SAJA TENTANG... BUNDA?”
Darian terdiam. Dia menatap Reynald yang kini sedang berusaha mengontrol amarahnya. Rizko sendiri memalingkan wajahnya. Berusaha untuk tidak ikut campur dengan urusan Reynald dan Ayahnya. Walaupun harus Rizko akui, jauh didalam lubuk hatinya, dia merasakan luka itu.
“Dimana Ayah saat Bunda butuh Ayah? Hah?” tanya Reynald dengan suara yang mulai melunak. Suara yang bahkan terdengar sangat lirih dan bisa membuat orang yang mendengarnya ikut merasakan rasa sakit dan sesak yang saat ini sedang dirasakan olehnya. “Dimana? Yang Ayah lakukan hanyalah mengejar materi... yang Ayah lakukan hanyalah menempa Bang Rizko supaya menjadi sempurna... Ayah bahkan berusaha untuk mengubur dan membunuh impian Rey, seperti yang Ayah lakukan pada Bang Rizko. Ayah bahkan mengubah Bang Rizko menjadi penjilat dan seseorang yang tidak mempedulikan keadaan sekitarnya... sama seperti sifat Ayah!”
“Reynald Farhenza, tutup mulutmu sekarang juga atau....”
“Atau apa?!” potong Reynald keras saat dia melihat tangan Darian terangkat ke udara, berniat untuk menampar wajahnya lagi. “Ayah mau nampar Rey lagi? Ayo! Ayo tampar sesuka Ayah! Tampar!”
Darian menggeram kesal dan menurunkan tangannya. Pria itu menatap tajam Reynald. Reynald sendiri melakukan hal yang sama pada Ayahnya itu. Untuk sesaat, yang dilakukan keduanya hanyalah saling tatap dalam diam. Menit demi menit terasa mencekam dan suasana semakin memanas.
“Lebih baik kamu tidak usah pulang sekalian ke rumah, Rey. Kehadiranmu hanya membuat suasana rumah menjadi buruk!”
Reynald tersenyum. Kemudian senyum itu berubah menjadi tawa. Tawa hambar. Lantas, laki-laki itu menganggukkan kepalanya.
“Fine!” tandas Reynald langsung. “Rumah ini juga bukan seperti rumah yang dulu. Semenjak Bunda meninggal, Rey bahkan nggak tau lagi, definisi rumah dan keluarga yang sesungguhnya itu apa!”
Reynald pergi dari hadapan Darian tanpa pamit. Laki-laki itu bergerak dengan cepat dan membanting pintu rumahnya dengan keras. Kemudian, Reynald mengenakan helm-nya dan bergegas menyalakan mesin motornya.
Motor ninja Reynald melaju dengan cepat. Benar-benar cepat. Reynald sengaja memilih jalan tikus agar bisa melajukan motornya secepat yang dia mau. Secepat yang dia suka. Tanpa ada caci, maki dan sumpah serapah dari pengendara lain.
Airmata itu mengalir turun. Tumpah keluar bersamaan dengan rasa sakit yang kembali menyeruak. Rasa sesak itu begitu kuat terasa. Untuk mengusir semua perasaan itu, Reynald semakin menambah kecepatan motornya. Sampai kemudian, Reynald tersentak saat dia melihat seekor kucing melintas di depannya. Refleks, Reynald membanting stang motornya, berusaha untuk menghindari kucing tersebut. Kucing itu selamat, namun naas bagi Reynald. Dia kehilangan keseimbangan motornya hingga akhirnya motor ninja itu terjatuh dengan keras ke aspal. Bersama dengan tubuh Reynald.
Motor ninja itu terseret lumayan jauh dari tubuh Reynald yang tergeletak tak berdaya di aspal. Laki-laki itu kemudian bangkit dari posisinya dan duduk di atas aspal seraya melepaskan helm-nya. Ada darah yang mengalir dari kening, hidung dan mulut Reynald. Bukannya meringis karena perih yang menjalar dari lukanya, Reynald justru tertawa keras. Tawa yang benar-benar keras. Semua orang yang mendengar tawa itu juga bisa merasakan bahwa Reynald sebenarnya rapuh. Dia hancur. Dia terluka. Nanar dan dengan berurai airmata, Reynald mendongak menatap langit malam tanpa bintang. Dia menangis keras. Menangisi semua hal yang telah terjadi. Menangisi orang yang paling dicintainya, yang telah pergi darinya dan membuat hidupnya menjadi seperti sekarang. Reynald sendiri bahkan tidak mengetahui, siapa dirinya yang sebenarnya sekarang.
“BUNDAAAA!!! REY KANGEN! REY MAU KETEMU BUNDA! SEKALI SAJA BUNDA! TEMUI REY DAN AJAK REY PERGI BERSAMA BUNDA!!!”
Laki-laki memang tidak boleh menangis. Tapi, semua emosi, amarah dan kata-kata yang tidak bisa terucap, bisa kita curahkan lewat airmata, bukan? Laki-laki juga manusia, bukan? Yang bisa merasakan sakit dan sesak, yang bisa memendam semua emosi dan amarah didalam hatinya dan sewaktu-waktu bisa dikeluarkan dalam bentuk tangisan. Seperti bom waktu. Yang siap meledak kapan saja jika dibutuhkan. Reynald bahkan tidak pernah menangis seumur hidupnya. Bunda yang mengajarkan laki-laki itu sedari kecil agar menjadi orang yang kuat, orang yang tegar, yang bisa menghadapi segala macam masalah tanpa tangisan. Tanpa keluhan. Tanpa rengekan. Bahkan, saat Bunda pergi meninggalkannya untuk selama-lamanya pun, Reynald tidak menitikkan airmata setetes pun.
Jadi... kalau saat ini Reynald menangis, tidak apa-apa, kan? Hanya sebentar saja. Sebentar. Karena perasaannya saat ini benar-benar kacau.
Gemuruh petir mulai terdengar. Perlahan, hujan mulai turun dengan derasnya. Seperti mengejek Reynald. Menertawakan kerapuhan laki-laki itu. Apa salah kalau seorang laki-laki menangis? Walaupun hanya sebentar? Reynald menundukkan kepalanya dan menangis ditemani hujan.
I drink to remember, I smoke to forget...
Some things to be proud of some stuff to regret...
Run down some dark alleys in my own head...
Something is changing, changing, changing...
So I kiss goodbye to every little ounce of pain...
Light a cigarette and wish the world away...
I got out, I got out, I'm alive but I'm here to stay...
So I hold two fingers up to yesterday...
Light a cigarette and smoke it all away...
I got out, I got out, I'm alive but I'm here to stay...
Hey, hey it's fine...
I left it behind...
(Jake Bugg-Two Fingers)
~~~
Kenzo nyaris berteriak saat dia melihat tampang Reynald yang penuh luka dan bekas darah, ketika dia membuka pintunya. Reynald sendiri hanya tersenyum lebar, memperlihatkan deretan giginya yang putih, saat Kenzo menatapnya dengan tatapan melongo. Sahabatnya itu menatap Reynald dari ujung rambut sampai ujung kaki, seolah Reynald adalah makhluk asing yang baru saja mendarat di bumi.
“Apa lo mulai terpesona sama gue sampai-sampai lo nggak nyuruh gue untuk masuk kedalam dan hanya ngeliatin gue aja?” tanya Reynald sambil melipat kedua tangannya di depan d**a. Kenzo yang sepertinya masih terlalu terkejut melihat keadaan Reynald hanya bisa menggeser tubuhnya, mempersilahkan Reynald masuk kedalam rumahnya.
“Lo kenapa, sih, Zo?” tanya Reynald sambil duduk di sofa ruang tamu Kenzo. Kenzo sendiri masih diam dan menatap Reynald dengan tatapan takjub.
“Lo abis berantem sama... bokap lo?” tanya Kenzo pelan.
Mendengar itu, tawa Reynald pecah. Laki-laki itu menggelengkan kepalanya dan menghembuskan napas keras.
“Ya nggak lah, ada-ada aja lo,” balas Reynald seraya memukul pundak Kenzo pelan. “Walaupun lo tau permasalahan gue sama bokap gue kayak gimana, lo tau kalau gue nggak mungkin sampai adu jotos sama bokap gue sendiri.”
“Terus... itu muka lo kenapa berdarah-darah begitu?” tanya Kenzo penasaran. “Jangan bilang kalau lo itu sebenarnya sebangsa Edward Cullen!”
“Terlalu banyak nonton film lo!” gerutu Reynald. “Kalau gue sebangsa si Edward Cullen, yang ada lo sekarang udah mati kehabisan darah, Zo!”
Kenzo hanya bisa cengengesan mendengar gerutuan Reynald tadi. “Ya udah, terus elo itu kenapa bisa sampai luka-luka gitu?”
“Gue abis dilukain sama kucing, Zo.” Reynald menyentuh sudut bibirnya yang masih terdapat sisa darah dan meringis saat merasakan sakit disekitar area itu.
“Dilukain kucing?” ulang Kenzo sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ini sebenarnya dia yang b**o atau Reynald yang mengalami gegar otak karena kepalanya berdarah dan terluka? Kenzo membatin bingung.
“Iya.” Reynald mengangguk dengan tampang polos. “Serem deh, Zo, kucingnya. Lo nggak liat motor gue di depan tadi? Sampai rusak gitu. Gila, ya, kucing zaman sekarang. Lebih seram daripada harimau!”
~~~
Keesokan harinya, Grace mengajak Azizah untuk membolos mata kuliah pertama. Awalnya Azizah menolak, tetapi gadis itu akhirnya tidak tega melihat keadaan Grace yang terus-menerus melamun sejak kemarin. Entah apa yang dilamunkan Grace, Azizah sendiri tidak tahu pasti. Apakah Grace sedang melamunkan orang yang sedang bermain gitar, yang Grace ceritakan kemarin dan yang dicurigai oleh Azizah adalah Reynald? Atau... karena kejadian ketika Kian Stevano, kakak tingkat mereka yang menjabat sebagai ketua BEM selama dua periode berturut-turut datang ke kelas mereka kemarin dan berseru lantang di depan kelas untuk meminta Grace kembali menjadi pacarnya?
Grace sengaja memilih kursi yang berada di sudut kantin. Gadis itu memesan segelas jus apel sementara Azizah memesan jus jeruk dan bakso. Azizah memperhatikan Grace dengan seksama. Wajah Grace datar. Tanpa ekspresi. Kemudian, Azizah mengerjapkan mata ketika melihat Reynald dan temannya memasuki kantin. Wajah laki-laki itu sedikit memar dan membiru. Azizah menyenggol lengan Grace hingga gadis itu berdecak kesal.
“Apaan, sih, Zah?”
“Liat, tuh, si Reynald.”
Grace menaikkan satu alisnya dan menatap arah yang ditunjuk oleh sahabatnya dengan menggunakan dagunya. Grace sedikit terkejut ketika melihat wajah laki-laki itu yang terluka.
“Reynald kenapa, ya?”
Grace hanya mengangkat bahu tak acuh. Gadis itu berusaha untuk tidak peduli meskipun dalam hatinya, dia sendiri juga bertanya-tanya, kenapa wajah Reynald bisa menjadi seperti itu.
Pesanan Grace dan Azizah tiba. Azizah langsung meminum jus jeruknya sementara Grace hanya meminum jus apelnya sedikit dan perhatiannya langsung teralihkan ketika ponsel di sakunya bergetar. Ketika dia membacanya, Grace hanya bisa mendesah berat. SMS dari Kian.
Grace kembali melamun. Gadis itu mengaduk jus apelnya dengan tatapan menerawang. Kejadian tempo hari masih terekam jelas didalam benaknya. Bukannya dia suka dengan Reynald, sama sekali bukan karena hal itu. Sebaliknya, Grace justru merasa kesal dan benci sekali dengan Reynald. Sikapnya yang sinis dan dingin padanya membuat Grace ingin sekali melempar benda apapun yang berada di dekatnya ke wajah laki-laki yang menurutnya arogan itu. Tapi, entah kenapa, bayangan Reynald yang sedang bernyanyi di tepi jendela di ruang musik terus menghantui pikirannya. Suaranya yang merdu selalu terdengar di telinga Grace. Bahkan seringkali Grace tersenyum tanpa sadar. Wajah Reynald yang kelam... tatapan mata Reynald yang sendu...
Meskipun terbayang dengan semua itu, Grace tidak merasakan getaran apapun. Gadis itu sangat yakin bahwa dia tidak menyukai Reynald. Lagipula, Reynald adalah adik tingkatnya di kampus. Tidak mungkin dia menyukai laki-laki yang umurnya satu tahun lebih muda darinya itu.
Biarkan aku jatuh cinta...
Pesonaku pada pandangan saat kita jumpa...
Biarkan aku kan mencoba...
Tak perduli kau berkata tuk mau atau tidak...
Grace tersentak dan menegakkan tubuhnya. Gadis itu mengedarkan pandangannya ke area kantin kampus. Kemudian, tatapannya berhenti pada Reynald. Laki-laki itu sedang tertawa bersama seorang temannya. Tidak mungkin Grace salah dengar. Dia jelas-jelas mendengar suara Reynald yang sedang menyanyi. Tapi... dia juga tidak mungkin salah lihat. Reynald sedang tertawa dan mengobrol bersama temannya. Sama sekali tidak sedang menyanyi.
Tiba-tiba, Reynald menoleh dan bertatapan langsung dengan Grace. Otomatis, Grace membuang muka dan kembali mengaduk jus apelnya. Melihat itu, Reynald hanya mengangkat satu alisnya dan mengangkat bahu tak acuh. Bagi Reynald, Grace tak lebih dari seorang kakak tingkat yang aneh dan menyebalkan. Menggunakan statusnya sebagai kakak tingkat untuk bersikap semena-mena pada adik tingkat. Meskipun harus Reynald akui bahwa wajah Grace sedikit membuatnya tenang.
“Kenapa lo nggak pernah bilang kalau lo pernah pacaran sama Kak Kian, Grace?”
Suara Azizah membuat Grace mendongak dan menatap sahabatnya itu. Grace hanya tersenyum kecil dan mengedikkan bahunya. “Gue cuma nggak mau dianggap pamer karena pacaran sama ketua BEM. Itu aja.”
“Sampai-sampai lo juga sembunyiin hal itu sama gue?” tanya Azizah sambil menyantap makanannya.
“Maaf... gue sama Kak Kian udah sepakat untuk rahasiain hal ini. Lagian, gue sama Kak Kian pacarannya cuma sebentar, kok. Cuma satu tahun.”
“Satu tahun lo bilang sebentar, Grace?” tanya Azizah dengan nada tidak percaya. “Berarti, lo pacaran sama Kak Kian dari kita semester dua, dong?”
Grace mengangguk malas dan meneguk jus apelnya.
“Kalau bukan karena Kak Kian nyamperin lo ke kelas kemarin dan ngomong di depan kelas kalau dia mau lo jadi pacar dia lagi, mungkin sampai detik ini gue nggak akan pernah tau.”
Grace hanya terdiam. Pikirannya sibuk melayang ke kejadian beberapa saat lalu. Saat dia mendengar suara Reynald menyanyikan lagu yang sama, seperti yang laki-laki itu nyanyikan tempo hari. Kenapa dia bisa mendengar suara nyanyian itu?
“Kenapa lo putus sama dia?”
“Hah?”
Azizah berdecak dan menyilangkan sendok dengan garpunya di atas mangkuk. “Kenapa lo bisa putus sama dia? Bengong aja, sih, lo daritadi!”
“Oh... itu....” Grace menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Dia egois, Zah. Gue nggak boleh berteman sama cowok manapun, sedangkan dia selalu jalan dan dekat dengan cewek manapun. Kan gue sebal. Gue udah coba buat bertahan, tapi nggak bisa. Ya udah, gue putusin, deh. Eh, beberapa minggu terakhir ini, Kak Kian datangin dan hubungin gue terus, buat minta balikan.”
“Mungkin dia masih sayang sama lo, Grace.”
“Tapi gue udah nggak ada rasa sama dia, Zah.”
Baru saja Azizah akan membuka mulut untuk membalas ucapan Grace, ketika tiba-tiba, Azizah melongo saat mendapati Grace ditarik paksa lengannya oleh seseorang yang sedang mereka bicarakan saat ini. Kian!
“Apa-apaan, sih, Kak?!” seru Grace sambil berusaha melepaskan cekalan Kian dari lengannya. Grace meringis menahan perih saat cekalan Kian begitu kuat di lengannya. “Lepasin gue!”
“Kita harus ngomong, Grace! Aku mau kita kayak dulu lagi!” seru Kian. Laki-laki itu menarik tubuh Grace. Azizah hanya bisa menyerukan nama Grace, kemudian gadis itu ikut mengejar sahabatnya yang sudah dibawa keluar kantin—lebih tepatnya diseret—oleh Kian.
“Tapi nggak ada yang perlu kita omongin lagi! Gue nggak mau balikan sama lo, Kak! Lepasin gue!”
Kian terus menarik lengan Grace tanpa memperdulikan teriakan gadis itu. Sampai tiba-tiba, Kian merasa tubuh yang tengah diseretnya itu menjadi sedikit berat dan membuat langkah kakinya berhenti. Refleks, Kian menoleh dan mendapati lengan Grace yang satunya lagi tengah ditahan oleh seorang laki-laki yang tidak dikenalnya.
“Rey... nald?”
Reynald hanya menatap Grace yang menyebutkan namanya dengan tatapan dingin. Tatapan yang selalu Reynald berikan untuk Grace kalau mereka berdua bertemu, berpapasan dan lain sebagainya. Kemunculan Reynald saat ini entah mengapa membuat jantung Grace serasa melompat-lompat. Sementara itu, melalui sudut matanya, Grace bisa melihat Azizah melongo ke arahnya dengan kedua tangan menutup mulutnya.
“Siapa lo?” tanya Kian sinis. Reynald hanya tersenyum miring dan menatap Kian dengan tatapan melecehkan.
“Nggak malu, ya, Kak? Nyeret-nyeret cewek kayak gini? b***k, Kak? Bukannya tadi Kak Grace udah bilang kalau dia nggak mau ngomong sama Kakak?”
Kian mendengus dan menguliti Reynald dengan tatapan tajamnya. Reynald menanggapi hal itu dengan santai sementara Grace yang berada diantara kedua laki-laki itu hanya bisa menelan ludah susah payah.
“Jadi lo adik tingkat? Mahasiswa baru? Iya?” tanya Kian dengan nada rendah dan berbahaya. Melihat Reynald hanya terdiam, Kian kembali berkata, “Berani banget lo ikut campur urusan orang! Lo nggak tau siapa gue?”
Reynald terkekeh geli dan menarik napas panjang. Dia masih mencekal lengan Grace tanpa menatap gadis itu. “Kian Stevano. Ketua BEM periode tahun lalu dan masih menjabat jabatan tersebut sampai detik ini.”
“Dan lo masih berani nentang gue?”
“Memangnya lo siapa? Sampai gue harus takut sama lo?” balas Reynald.
Kian menggeram karena emosi yang mulai menggelegak di dadanya. Laki-laki itu melepaskan cekalannya di lengan Grace dengan kasar hingga menyebabkan tubuh Grace sedikit kehilangan keseimbangan. Reynald langsung menarik tubuh Grace dan membawa gadis itu ke belakang tubuhnya.
“Kurang ajar!” desis Kian dan melayangkan kepalan tangannya ke arah Reynald.
Grace menutup kedua matanya kuat-kuat. Dia tidak ingin melihat Reynald dihajar oleh Kian. Namun, beberapa detik lamanya, Grace memberanikan diri membuka kedua matanya. Dan gadis itu terbelalak.
Reynald menangkap kepalan tangan Kian dan mencengkramnya dengan kuat hingga membuat Kian meringis dan kesakitan!
“Lo salah pilih teman bermain, Kak Kian,” ucap Reynald dengan wajah datar dan mata yang menyorot dingin. “Lo bukan tandingan gue! Lo nggak ada apa-apanya di mata gue!”
Rahang Kian mengeras. Sorot matanya menajam ketika menatap Reynald. Reynald sendiri hanya tersenyum miring dan menaikkan satu alisnya. Kemudian, dengan paksa, Kian menarik kepalan tangannya yang dicengkram oleh Reynald dan laki-laki itu menunjuk wajah Reynald lurus-lurus.
“Urusan kita belum selesai! Lo tunggu pembalasan dari gue!”
Setelah berkata demikian, Kian mendengus dan pergi dari hadapan Reynald dan Grace. Sebelum meninggalkan mereka, Kian sempat menatap Grace tepat di manik mata. Grace sendiri hanya menatap Kian dengan takut-takut.
Ketika Kian sudah pergi dari depan mereka, Reynald membalikkan tubuhnya dan menjulangkan tubuh tingginya di depan Grace. Grace yang tidak menyangka Reynald akan memutar tubuhnya hanya bisa terkejut dan refleks mundur perlahan.
“Lo bisa galak sama gue, tapi lo nggak bisa ngelawan si Kian itu.” Reynald memajukan langkah kakinya seiring dengan Grace yang semakin memundurkan langkahnya.
“Ini bukan urusan lo! Gue sama sekali nggak butuh bantuan lo tadi. Gue bisa tanganin Kian sendiri!” seru Grace. Reynald hanya tersenyum tipis dan berdecak.
“Masa? Kenyataannya, yang gue lihat tadi, lo malah diam aja ketika dia menarik lengan lo dengan paksa dan menyeret lo sampai-sampai lo jadi tontonan menarik mahasiswa-mahasiswa di kantin.”
Azizah dan Kenzo—yang baru saja datang ke tempat kejadian—hanya bisa mengerutkan kening ketika melihat aksi Reynald dan Grace. Grace yang sibuk melangkah mundur, sementara Reynald yang berada di depannya sibuk mengejar dengan maju perlahan.
“Gue tegasin sekali lagi sama lo, Reynald Farhenza yang terhormat... jangan pernah ikut campur urusan gue lagi, atau—“
Belum selesai Grace berbicara, gadis itu tersandung kakinya sendiri dan limbung ke belakang karena kehilangan keseimbangan. Grace hanya bisa menjerit pelan dan menutup matanya. Namun, ketika gadis itu menyadari bahwa dia tidak merasakan sakit apapun di tubuhnya, Grace perlahan membuka matanya dan... tersentak. Wajah Reynald sangat berbeda saat ini. Wajah itu begitu lembut dan begitu damai. Senyumannya juga berbeda dengan senyum sinis yang biasa ditampilkan oleh laki-laki itu. Senyuman Reynald kali ini begitu tulus.
Grace menahan napasnya. Gadis itu bisa merasakan helaan napas Reynald di wajahnya, karena saat ini, Reynald tengah melingkarkan kedua lengannya di pinggang Grace, menahan tubuh gadis itu saat Grace hampir terjatuh.
“Kalau dilihat sedekat ini, elo ternyata cantik juga, Grace... dan entah kenapa, perasaan gue seakan meringan ketika melihat lo di depan mata gue. Seperti kalau gue berada di dekat Bunda....”
Tubuh Grace seakan membeku di tempat, ketika dia mendapati Reynald perlahan memajukan wajahnya... dan... laki-laki itu mendaratkan sebuah kecupan lembut di kening Grace.
~~~