Membunuh Hati Demimu

1737 Kata
Andai kau tahu, cintaku bisu terhadapmu. Bukannya kurang berusaha, cintanya tak cukup besar, atau dirinya yang tak mengerti apa makna perasaan yang menyelimuti hati, hanya saja, terkadang rasa saja tak ‘kan cukup untuk menyentuh dan menjabarkan perasaan yang menyesakkan d**a. Memang selucu itu cara cinta bekerja. Membuat orang pintar menjadi t***l, yang waras mendadak gila, dan anehnya masih banyak orang yang tak bosan dengan semua kekonyolan yang tercipta karna rasa itu. Delia tersenyum saat melihat foto-foto lama di album, seakan kembali ke masa remajanya. Ada dirinya bergaya tomboy dan meletakkan tangan di bahu Andrew yang duduk di sampingnya, ada tawa, dan juga kekonyolan di kertas yang mengabadikan sebagian kisah masa lalunya itu. Oh waktu, apa yang kau lakukan? Delia menyimpan kembali album foto itu ke dalam kotak yang selama ini tak pernah ia buka lagi. Salahkan saja lelaki itu yang tiba-tiba hadir kembali dan menghancurkan semua yang coba ia bangun. Haruskah ia kembali ke masa lalu dan sekali lagi terbuai di dalamnya? “Kamu jadi berangkat?” Suara itu menyadarkan Delia dari lamunan, Delia menoleh ke belakang punggung dan tersenyum begitu melihat lelaki yang tengah berjalan mendekat. Dipeluknya tubuh Delia, cukup erat, hingga membuat d**a wanita itu sesak. Entah karena dekapannya yang tak pernah menghangatkan, atau luka cinta yang tak pernah sembuh. Ia sendiri pun tak mengerti. “Jadi, Zac.” “Jangan lama-lama. Aku kangen,” ucap lelaki itu sembari meletakkan kepalanya pada bahu Delia, ia menyelipkan kepalanya pada leher jenjang Delia, menikmati aroma tubuh wanita yang mampu membuatnya merasa mabuk tanpa harus minum minuman keras. Delia menggeleng-geleng. “Manja banget sih!” Lelaki itu memutar tubuh Delia ke arahnya, mengusap lembut wajah wanita itu, dan tersenyum. “Manja sama calon istri sendiri kan nggak pa-pa.” Kata “calon istri” yang disebutkan lelaki itu, membuat sesak di d**a semakin menjadi-jadi, menyadarkannya jika inilah kenyataan dan masa depan yang harus ia terima. Tak seharusnya ia kembali ke masa lalu. Lelaki itu terlalu baik untuk ia sakiti dan tak seharusnya ia tenggelam dalam luka yang tak bisa mengering. “Kalau suatu hari aku hilang, apa yang akan kamu lakukan, Zac?” Lelaki itu menatap Delia nanar. Tanpa ditanya pun, semestinya wanita itu tahu apa yang akan ia lakukan. Selama ini, dirinya hanya mencintai dalam diam, menatap dari kejauhan, dan tersakiti saat melihat wanita itu patah hati. Jika wanita itu menghilang, ia akan mencari ke penjuru dunia demi menemukan Delia. “Selama ini aku telah membunuh hatiku karna mencintaimu, Dee. Aku nggak masalah jika harus mengobrak-abrik dunia untuk menemukanmu lagi, Dee. Aku nggak akan membiarkanmu menghilang.” Delia tersenyum, namun hatinya pedih. Dipeluknya erat tubuh lelaki itu, mencoba mencari alasan dari hati yang tak menemukan kenyamanan di sisi pria itu. Apa yang salah denganku? *** Aroma kopi menyeruak begitu masuk ke café, rak-rak yang dipenuhi biji kopi dan tumbler-tumbler lucu menghiasi rak-rak yang diletakkan di dekat kasir dan juga sudut ruangan. Lagu pop yang diputar melalui sound system pun membuat tempat itu nyaman untuk dijadikan tujuan menghabiskan waktu. Setelah mengambil pesanannya, Delia memutuskan duduk di bangku sudut ruangan. Ia mengeluarkan laptop dari dalam tasnya dan mulai mengerjakan laporan keuangan usahanya. Delia tak berakhir menjadi wanita karir sukses yang super sibuk, wanita itu melanjutkan usaha restoran dan butik milik ibunya yang terletak di wilayah Jakarta Selatan. Kesehatan ibunya memaksanya kembali ke kota ini, tempat di mana begitu banyak kenangan yang tak ingin ia temui lagi. Kembali ke kota metropolitan ini, bagai memutar film lama, ia dapat melihat bayangan dirinya dan juga lelaki itu di setiap sudut kota yang pernah mereka singgahi bersama. Tak seharusnya kita tenggelam dalam kisah lama, akan tetapi hati terlalu rapuh untuk membuang semua cerita itu. “Udah lama nyampenya?” Pertanyaan itu mengalihkan pandangan Delia, wanita itu tersenyum dan lelaki di hadapannya pun segera duduk bersamanya. “Nggak, kok.”  Lelaki itu memperhatikan Delia yang kembali focus dengan laptop di hadapannya. “Lagi sibuk banget, Dee?” Sesungguhnya, Delia tak begitu sibuk. Ia bisa mengerjakan laporan itu saat pulang nanti, atau keesokan harinya, namun ia tak tahu harus bersikap seperti apa di hadapan lelaki itu. “Sedikit,” jawabnya pada akhirnya. Lelaki itu berdiri dan duduk di samping Delia, diperhatikan angka-angka yang ada di layar Delia, lalu mengarahkan jari telunjuknya ke laptop wanita itu. “Bulan ini cashflow-mu melebihi pemasukan, Dee. Nggak bisa dibiarkan, harus dapat suntikan dana.” Delia tercengang sesaat. Ia tak tahu jika lelaki itu mengerti membaca laporan keuangan. “Kamu berubah.” Lelaki itu tergelak pelan. “Apa yang kau harapkan dari seorang lelaki tua sepertiku? Masih bodoh seperti dulu?” Delia tersenyum tipis. Tentu saja ia tahu jika waktu mampu mengubah seseorang, mungkin hanya dirinya yang masih setia dengan masa lalu. Terjebak dalam nostalgia sendirian. “Bukan itu maksudku.” “Mau kubantu?” Delia menggeleng, lalu menutup laptopnya. “Laporan ini bisa menunggu.” Ia tahu jika tak ada gunanya terus menghindar dan berusaha pergi dari masa lalu, jika dirinya telah tenggelam di dalam pedihnya cerita lama. Jadi terikat dan dengan keras kepala menunggu sebenarnya adalah sakit yang menyenangkan. “Sorry, Dee. Aku ganggu ya?” Delia tersenyum. “Nggak, kok. Kita memang butuh waktu untuk ngomong, Drew.” Andrew mengangguk setuju. “Jadi … bagaimana hidupmu sekarang?” “Baik. Sangat.” Andrew mengangguk-angguk. “Baguslah. Ibumu baik? Aku dengar, kamu pergi ke Australia karna ibumu sedang sakit.” Delia tak sepenuhnya berbohong. Kala itu, orangtuanya bertengkar hebat, ibunya memutuskan untuk pergi menjauh dan tinggal di Australia, meninggalkan semua usahanya di Jakarta kepada Adiknya, Tante Sissy. “Mama udah baikan.” Andrew menatap wajah Delia dalam-dalam, hendak menyimpan bayangan wanita itu ke dalam kalbunya, mencari-cari sosok Delia yang dulu selalu berada di sisinya. “Bagaimana denganmu, Drew? Kemana Christie?” Sendu melanda wajah Andrew, lelaki itu mengalihkan pandangan ke depan. “Dia udah nggak ada, Dee. Ada komplikasi saat melahirkan Delia dan Christie lebih memilih kehilangan nyawanya daripada anak kami.” Bagai disambar petir siang bolong. Berita itu membuat Delia sedih, ia tak bahagia atas kehilangan Andrew. Walau bagaimanapun wanita itu adalah malaikat bagi semua orang. Ia pikir, Andrew akan menjalani kisah dongeng miliknya dengan bahagia, menua bersama hingga ajal menjemput. Siapa sangka, takdir berkata lain. Delia menggenggam erat tangan Andrew. “Maaf, Drew. Aku turut berduka dengan kepergiaannya.” “Kamu percaya dengan tempat yang lebih baik setelah kita meninggal, Dee?” lelaki itu menoleh ke arah Delia, wanita itu mengangguk. “Christie ada di sana sekarang dan aku tahu dia bahagia. Aku akan bodoh jika terus tenggelam dalam kesedihan dan membuatnya ikut sedih.” Delia tersenyum. Ternyata, sudah banyak yang ia lewatkan. Masih terlukis jelas di dalam benaknya pertemuan terakhirnya dengan Christie saat itu. “Kamu mencintainya ‘kan, Dee?” Delia tersenyum, namun tak mampu mencegah air mata yang memberontak untuk dikeluarkan. Christie menatap sendu wanita itu dan ada luka yang sama di mata keduanya. “Kamu harus menjaganya dengan baik. Andrew itu sebenarnya lelaki yang luar biasa. Kadang dia manja dan nakal, namun dia tulus,” ucap Delia sembari tertawa kecil dengan air mata yang mengalir semakin deras. “Semuanya nggak harus berakhir seperti ini, Dee.” Delia menggeleng. “Kata orang, cinta nggak harus memiliki. Cintaku memang sebodoh ini, yang aku mau adalah kebahagiaannya, bukan keegoisanku.” “Tapi …” Christie menggantungkan perkataannya di udara. Delia tersenyum dan menyerahkan bingkisan yang dibawanya kepada Christie. “Ini kado dariku. Aku harap, kalian bahagia. Menua bersama dan selamanya saling mencintai.” Air mata Christie turut mengalir, ia merasa bagai penghalang dan perebut kebahagiaan keduanya. Ia dapat melihat rasa yang sama di mata Andrew saat menatap Delia, mungkin lelaki itu tak menyadari perasaannya sendiri. Ia tak seharusnya berada di antara keduanya. “Dee … tinggallah di sini.” Christie menggenggam tangan Delia yang hendak pergi meninggalkannya, sedang Delia mencoba mengukir senyum sembari menggeleng. “Ada kamu yang bakalan jagain dia. Sekarang, dia nggak perlu aku lagi.” Perlahan Delia melepaskan genggaman Christie dan berlari menjauhi wanita itu. Hati wanita mana yang tak ‘kan merasakan pedih saat melepaskan cinta yang selama ini menyelimuti hati, tetapi Delia tidak mempunyai pilihan lain selain pergi. “Dee …” Andrew menggerakkan-gerakkan tangannya di hadapan wajah Delia, membuyarkan lamunan wanita itu. “Iya, apa?” Andrew tersenyum. “Terpesona sama ketampananku ya?” Delia menunjukkan ekspresi jijik. “Ternyata masih sama kayak dulu.” Andrew tertawa kecil. “Aku nggak pernah berubah, Dee.” Tatapan keduanya terkunci. Mungkin memang tak banyak yang berubah dari mereka berdua. Masih sama-sama bodoh. “Delia sudah nggak sabar belajar balet di sanggar temanmu itu,” ucap Andrew memecahkan keheningan di antara mereka. “Dia anak yang sangat cantik. Aku pun nggak sabar membawanya bertemu Anne.” Pembicaraan berlanjut, tentang rencana Andrew memasukkan Delia, anaknya ke sanggar dan Delia besar yang menceritakan banyak hal baik tentang pengajar di sana, sahabatnya, Anne. Tanpa sadar, waktu berguling dan mereka seakan kembali ke masa lalu, kecanggungan yang sempat tercipta pun menghilang entah ke mana. Mereka tertawa, bersantai, dan menceritakan banyak hal tentang masa lalu, namun tak ada yang menyelipkan kisah hati yang patah di dalam cerita yang mereka bagikan itu. “Dee … boleh ‘kan kalau kita sering bertemu setelah ini?” Delia menarik tangannya dari jabatan Andrew dan tersenyum. Bertemu dengan lelaki itu berarti kembali menusuk-nusuk hatinya dengan pisau, mampukah ia menahan sakitnya? “Mungkin.” “Semenjak kepergianmu, sesuatu hilang dari hidupku, Dee dan aku nggak suka dengan rasa itu. Aku nggak mau kamu pergi lagi.” Perkataan Andrew menyesakkan d**a Delia. Seandainya semua itu karna cinta yang berbalas, mungkin Delia akan bersorak bahagia, namun ia tahu tidak itu yang Andrew maksudkan. Lelaki itu hanya kehilangan seorang sahabat, sedangkan ia meninggalkan hati dengan kepergiannya. Andrew menggenggam erat kedua tangan Delia saat wanita itu tak merespon. “Aku senang bertemu denganmu lagi, Dee.” Delia tersenyum dan memeluk tubuh Andrew, mencoba menyembunyikan matanya yang mulai berkaca-kaca dari lelaki itu. Bagai diiris sembilu, hatinya pedih sekali. “Aku nggak akan kemana-mana lagi, Drew.” Lelaki itu tersenyum bahagia dan membalas pelukan Delia. Delia mengigit kuat bibir bawahnya, ia tak boleh menangis dan tampak lemah. Semua telah berakhir. Waktu telah memakan habis sisa-sisa kenangan yang ada. Ya … semua hanya tinggal masa lalu. Yang harus Delia lakukan saat ini adalah kembali membunuh hatinya dan menutupi semua luka dengan senyum, berharap semuanya bisa kembali seperti sediakala. Saat bahagia, di mana tidak pernah ada cinta di antara mereka. Ya … semuanya akan baik-baik saja.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN