Candra dan Rey nampak mudah akrab. Mereka tertawa bersama tanpa ada beban. Lova semakin kesal melihat itu semua. Ia pikir papanya bakal tidak suka pada Rey karena usianya sudah tua.
Lova pun berdiri dan masuk ke dapur. Perutnya mulai lapar dan ia harus segera mencari sesuatu dari dalam.
Asisten rumah tangganya, Bi Asih sedang mengangkat nampan berisi dua gelas minuman dan cemilan pisang goreng krispi yang masih panas. Lihat saja, asappnay masih mengepul diatas. Dan aromanya, janagn ditanya lagi. Sangat harum sekali.
"Buat siapa Bi?" tanya Lova pura -pura.
"Lho ... Kan buat calon suaminya mbak Lova ..." jawab Bi Asih dengan tenang tanpa ada ekspresi rasa bersalah sedikit pun diwajahnya.
"Dih ... Itu dosen Lova, Bi. Awas lho, jangan bikin gosip yang enggak -enggak," ucap Lova kesal.
"Mbak Lova ... Itu kata Bapak tadi. Ini calon suaminya Lova, begitu katanya," ucap Bi Asih membela diri dengan membawa nama besar majikannya.
"Udah sana bawa ke depan. Nyebelin banget," ucap Lova kesal.
Lova membuka kulkas dan mulai mencari cemilan yang ia sukai. Namun sama sekali tidak ada apa -apa di dalam sana.
"Nyari apa, Lova?" tanya Ayu yang tiba -tiba saja ada dibelakang Lova.
"Ehh ... Mama ngagetin Lova aja. Nyari cemilan tapi gak ada," ucap Lova hanay mengambil s**u kotak yang masih ada beberapa di rak bagian ata di bawah tumpukan telur.
"Belanja sana sekalian isi kulkasnya di mini market depan. Mama lagi sibuk masak," ucap AYu pada Lova.
"Gak ah, males. Lagi pula hujan juga," jelas Lova kemudian duduk di kursi makan.
Ayu merapikan meja makan dan meletakkan ayam goreng di piring besar yang cantik.
"Tumben pake piring keramik itu," celetuk Lova sambil meneguk s**u kotaknya hingga habis tak bersisa.
"Hmmm ... Papa kamu itu tadi bilang, Kalau calon suami kamu datang jadi mama harus masak makanan yang enak -enak. Ganteng lho, Lova. Beda sama si tepung tapioka itu. Mama juga kurang suka sama laki -laki gak tegas begitu," jelas Ayu mulai menunjukkan rasa tidak sukanya.
"Tepung tapioka? Siapa?" tanya Lova bingung. Maklum otak botol yakult itu sangat kecil sekali. Jadi kadang untuk urusan lain selain pendidikan agak lemot.
"Ya ampun Lova. Siapa lagi kalau bukan Cakra, cowok yang sering ngapelin kamu itu. Mama gak steuju kalau kamu sama dia. Papa juga gak suka. Papa lebih suka sama yang sekarang, lebih matang, mapan dan sangat menantang. Pilihan Papa kamu tidak akan salah," ucap AYu dnegan senyum sumringah.
"Pilihan Papa? Pak Rey itu dosen Lova, Ma," jelas Lova dengan nada kesal.
"Terus? Gak masalah kan? Mau dia dosen, atau CEO, kalau Pap kamu udah suka dan ngasih restu, ngapain lama -lama lagi?" ucap Ayu diiringi tawa yang sangat rnyah kayak gorengan kulit ayam. Kriuk banget pokoknya.
"Mama sama Papa itu kenapa sih? Pak Rey itu dosen Lova. Gak mungkin juga Lova nikah atau berhubungan sama Pak Rey. Gak akan. Garisa bawahi. Gak akan pernah!" jelas Lova cepat. Ia berdiri dan meninggalkan ruang makan menuju anak tangga karena kamarnya ada di lantai dua.
Sekilas saat berjalan, Lova melihat ke arah depan. Posisinya langsung bisa dilihat dari tempat ia berdiri. Namun yang tak bisa dihindari tatapan Pak Rey pada Lova. Mereka seperti memiliki ikatan batin dan saling menatap dnegan lekat.
Rey yang baru saja tertawa dengan puas hinga mulutnya terbuka semua seketikan menutup rapat bibirnay dan melihat ke arah Lova.
Lova langsung memalingkan wajahnya. Ia tidak mau terlihat sedang memantau Pak Rey. Walaupun matanya sudah tertangkap basah menatap Rey dengan rasa penasaran yang tinggi.
Lova langsung naik ke atas dan masuk ke dalam kamarnya. Saat ini, waktu sudah menujukkan pukul setengah delapan. Lova masuk kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya yang terasa lengket karena seharian beraktivitas diluar rumah.
Cukup sepuluh menit, Lova mandi. Ia sekarang sudah memakai pakaian santai dirumah. Celana hotpants putih dengan kaos oversizes warna pink yang agak tipis hingga tali dan kantong surganya terlihat mencolok dengan warna andalan hitam.
Ia menyisir rambutnya dan menyepol ke atas denagn asal menggunakkan sumpit rambut. Lalu memakai cream baby supaya wangi dan menyemprotkan parfum bayi dengan aroma khas.
Tok ... Tok ... Tok ...
"Mbak Lova ... Disuruh makan malam sama Bapak. Disuruh turun cepat ke ruang makan, sebba kalau enggak mau, bulan depan Bapak gak mau kasih uang jajan," jelas Bi Asih dengan panjang lebar sesuai apa yang disuruh oleh majikannay tadi.
"Ish ... Papa kenapa sih, sukanya ngancem -ngancem gitu. Bikin kesel aja," ucap LOva sebal sekali.
Lova berjalan ke arah pintu dan membuka pintu kamarnya. Bi Asih masih berdiri disitu untuk menunggu Lova sampai keluar dari kamar. Begitu pesan sang majikan.
"Lova ngantuk. Bilang Papa, Lova capek banget, banyak tugas juga. Jadi gak makan malam. Lova diet juga," jelas Lova memberitahu pada asisten rumah tangganya yang cuma bisa mengangguk -anggukkan kepalanya pada anak majikannya yang lucu dan mneggemaskan itu.
"Ya udah sana pergi Bi. Ngapain masih disini. Kan udah paham, tadi udah ngangguk -ngangguk," ucap Lova terdengar ketus.
"Iya paham. Tapi, kata Bapak, kalau Mbak Lova gak mau turun, saya harus tetap di depan kamar Mbak Lova, sampai Mbak Lova mau turun," jelas Bi Asih lagi dengan wajah memelas.
"Papa!" teriak Lova dnegan geram. Papanya ini kenapa sih, bisa -bisanya ngancem. Kenpa jadi sering ngancem sekarang. "Papa yang sangat menyebalkan sekali," umapt Lova di dalam hati.
Lova segera turun dari lantai dua dan mengangkat kedua lengan kaosnya sampai ke bahu seolah ingin mengajak sang Pap bertarung.
Papa Candra tersenyum saat Lova masuk ke dalam ruang makan. Di sana sudah ada Mama Ayu dan Pak Rey, sang dosen yang punya ide gila menjadikan Lova kekasih pura -puranya.
Candra tersenyum dan memanggil Lova untuk segera duduk di kursi yang masih kosong. ANhenya lagi, kursi yang biasanya ada enam kini hanya ada empat. Seolah memang Lova itu ditakdirkan oleh sang Papa untuk duduk di dekat Rey.
"Tuh kan datang. Dia itu gadis manis yang penurut. Bukan itu saja, kalau perempuan mau ikut makan bersama di ruang makan yang ada pacarnya berarti dia sudah menjadikan kamu sebagai kekasihnya," ucap Candra sambil tertawa.
Lova memutar kedua bola matanya dengan malas. Jokes banget sang papa saat ini. Andaikan boleh mnegumpat tanpa ada embel -embel durhaka. Kayaknya, Lova bakal lakukan.