Opening
"Sudah waktunya."
Bingkai mata yang tajam itu mempertegas raut serius seorang pria tua yang baru saja bersuara. Ditatapnya kembali peta Asia Tenggara dengan paku merah yang menancap di beberapa titik negara, termasuk di Indonesia. Pria itu menyentuh salah satu titik merah terbesar di Indonesia dengan tangan rentanya. Keriput tegasnya seakan menyimpan cerita kelam di tiap kerutnya.
Menyahut dari belakangnya, seorang pria lain yang tengah menghela napasnya jengah. Pria dengan kemeja putih yang membalut tubuh kekarnya itu menyisir ke belakang semua rambut coklat lembutnya. Dengan malas, pria itu duduk dengan tegap kembali dan menatap 'ayahnya' dengan mata yang terlapis kacamata lensa tipis.
"Aku sebetulnya benci kembali ke sana." keluhnya malas. Tetapi lawan bicaranya terkekeh di kursi rodanya.
"Maka, buatlah ini menyenangkan bagimu." balasnya. "Bukankah kau suka bersandiwara? Asyik bukan menyusup ke sana, berpura-pura menjadi orang baru, lalu membodohi mereka yang ingin membodohimu?"
"Kau ingin membuat masalah mematikan ini seperti permainan anak-anak?" Adrian, pria berkemeja putih itu tersenyum miring.
"Oh, kau sangat ahli dalam hal ini, aku tahu itu, Adrian. Aku tahu. Aku ayahmu." Pria renta di kursi rodanya ikut menyeringai.
Temaramnya ruangan yang hanya diterangi satu lampu bercahaya kuning memekatkan atmosfer mereka. Sepasang iris merah dari lukisan naga yang sangat besar di belakang Adrian juga sederet alat-alat penyiksaan antik yang berjejer di atas meja seakan menegaskan bahwa dua orang yang tengah bercakap-cakap ini tidaklah berasal dari kalangan biasa. Siapapun yang menyerbu masuk ke dalam ruangan ini sudah pasti akan kehilangan nyawanya dengan mudah.
"Kembali. Aku ingin kau singkirkan semua parasit di organisasi itu. Datanglah sebagai orang kalangan bawah, mereka akan terlihat lebih jujur dan jauh lebih busuk daripada jika kau datang sebagai pemimpin." Jayachandra, sang kepala keluarga, berbicara.
"Beritahukan padaku apa yang terjadi di sana. Aku juga sudah mengirim banyak orang untuk menyusup lebih dulu ke organisasi itu. Mereka akan membantumu."
Namun Adrian hanya terkekeh seraya bangkit dari sofanya. "Tenang, tenang. Aku lebih suka melakukan semuanya sendiri dulu. Lagi pula jika memang tidak harus buru-buru, aku akan senang jika boleh bermain-main dulu." ucapnya ringan lalu beranjak menuju pintu keluar.
"Aku berangkat sekarang, Ayah. Ke Indonesia." pamitnya dari balik bahu lebarnya.
"Adrian," panggil Jayachandra. Adrian pun menghentikan niatannya sejenak dan melirik pada ayahnya tertarik.
Namun, Jayachandra hanya menggeleng lesu. "Tak apa, aku hanya punya firasat, kepergianmu yang kali ini akan lama. Kuharap kau tidak tersesat, atau setidaknya, temukan orang yang bisa membawamu kembali."
Adrian tertawa.
"Ayah, aku sudah 30 tahun dan bisa melakukan semuanya sendiri. Hahaha."
Adrian kembali membuka lebar pintu dan seketika itu juga cahaya putih dari langit yang cerah di ujung lorong menyambutnya. Menyoroti sosok Adrian yang terlihat seperti sedang meninggalkan ruang yang kelam untuk menuju cahaya itu.
Adrian pun menghadap ayahnya sekali lagi sebelum benar-benar menutup pintunya. Pria itu tersenyum manis dengan sederet gigi rapinya mengintip dibalik bibir berwarna cerah miliknya.
"Aku pergi."