Hari ini, mau tak mau aku harus berusaha menulikan sejenak pendengaranku. Entah bagaimana beragam rumor muncul di kantor yang turut serta menyeret namaku dan Pak Arvian.
"Bukannya Pak Boss sama Kinera pacaran ya?" Ucap seorang wanita yang aku yakini bekerja sebagai salah satu staff di divisi makanan.
"Memang mereka pacaran? Kemarin Pak Arvian cuekin Kinera kok." Sahut salah satu wanita di sampingnya.
"Loh? Kinera bisa dapat promosi secepat itu jadi sekretaris Pak Arvian kan pasti karena dia pacarnya." Ucap wanita yang lainnya.
"Mungkin mainan Pak Arvian kali."
"Tapi kemarin gue lihat Pak Arvian jalan sama model cantik, si Neira."
"Seriusan? Nah kalau sama Neira gue setuju. Soalnya itu baru namanya couple goals."
"Kebiasaan buruk ya teman-teman sepergibahan sekalian, punya mulut itu digunakan dengan baik bukan untuk mencela apalagi membicarakan orang dari belakang." Ujarku yang berdiri tepat di belakang kumpulan wanita yang sejak dari tadi memperbincangkan aku. Aku sebenarnya sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menahan amarahku, tetapi semakin lama mendengar perbincangan mereka, emosiku semakin tak terbendung.
"Apaan sih." Celetuk salah satu wanita dan seketika kumpulan wanita tadi pun langsung membubarkan diri sebab subjek yang diperbincangkan protes.
Sejujurnya rumor ini tidak terlalu membuatku kesal. Hal yang paling membuatku kesal itu berkaitan dengan Pak Arvian. Sudah sekitar lima hari belakangan Pak Arvian bersikap dingin kepadaku.
Langkah kakiku pun akhirnya membawaku sampai di ruang kerjaku. Setelah sampai di meja kerja, aku segera check kembali jadwal Pak Arvian hari ini. Seperti biasa, cukup padat.
"Selamat pagi Pak." Sapaku berharap dia segera menyudahi perang dingin denganku.
Tanpa menoleh ia hanya berucap, "Ke ruangan saya."
Aku mengikuti Pak Arvian dari belakang hingga sampai di ruangannya.
"Apa?"
"Kamu enggak apa-apa?"
Aku mengernyit bingung, "Maksudnya?"
"Tentang gosip yang tersebar. Perlu saya pecat orang-orang yang besar mulut itu?"
"Memang Bapak peduli dengan saya? Toh, saya sakit hati pun tidak ada urusannya dengan Bapak."
"Ya sudah."
Mendapat jawaban seperti itu lantas membuat perasaan kesalku semakin meledak.
"Bapak kenapa sih cuekin saya mulu? Saya ada salah? Kalau iya, diomongin baik-baik dong. Jangan diemin saya kayak anak kecil."
Pak Arvian menatap wajahku agak lama, "Minggu ikut saya temui Mama."
"Enggak bisa. Saya sibuk."
"Ada acara apa?"
"Acara yang tidak bisa saya batalkan."
"Apa? Ikut blind date?"
"Saya enggak pernah ikut kegiatan seperti itu."
"Oh ya? Bukannya minggu lalu kamu dan Della ikut kegiatan seperti itu?"
"Kok Bapak tahu saya pergi dengan Della?"
"Saya kebetulan ada di restoran itu."
"Lagi pula itu bukan blind date kok. Della minta saya temani, dia daftar aplikasi jodoh terus enggak berani datang sendiri. Ya sudah saya temani, terus saya enggak tahu kalau cowoknya Della bawa teman cowok. Dari pada suasananya kaku, saya ajak ngobrol saja."
Tunggu, kenapa aku perlu menjelaskan seputar malam itu ke Pak Arvian?
"Bukannya kamu bilang kamu bukan tipe wanita yang cepat akrab dengan orang asing?"
"Dia supel dan ganteng, semua orang ganteng bukan orang asing bagi saya."
Pak Arvian tertawa sebentar sebelum melanjutkan pembicaraan, "Kamu bilang dia ganteng? Mata kamu rusak?"
Aku malas membalas ucapan Pak Arvian.
"Jadi Bapak cuekin saya karena masalah itu? Seriously?"
"Pokoknya Minggu dandan yang cantik, jangan malu-maluin saya."
"Enggak bisa, Pak. Saya sibuk."
"Kamu ngapain sih?"
"Ada acara."
"Ya apa?"
"Memang saya harus lapor ke Bapak?"
Pak Arvian menghela napas, "Saya pacar kamu kalau kamu lupa."
"Terkadang saya mengajar di panti dekat apartemen saya. Kebetulan jadwal saya Minggu ini."
Pak Arvian menatapku lama tanpa berniat membalas ucapanku.
"Sudah? Kalau enggak ada hal penting saya keluar."
"Tunggu Kin, saya enggak salah dengar kan kamu ngajar?"
Aku menatap Pak Arvian dengan sebal, "Kalau iya, kenapa? Ada yang salah?"
"Kasihan anak-anak panti punya guru galak kayak kamu."
"Pak kalau mau roasting saya mending Bapak ngaca dulu deh siapa yang lebih galak."
Pak Arvian tertawa kecil, "Saya ikut."
"Apa? Enggak mau."
"Saya tidak menerima penolakan, Kinera."
"Terserah."
"Satu hal lagi, kamu tidak akan lagi mendengar gosip-gosip tidak jelas itu."
"Bapak apain mereka?"
Pak Arvian tersenyum penuh arti, "Hanya menegur?"
Aku menepuk pelan keningku, "Asal enggak Bapak buat nangis saja."
"Sudah nangis tuh."
Jawaban Pak Arvian berhasil membuat mataku membesar, "Saya enggak apa-apa kok, jangan memperumit keadaan."
"Masalahnya saya yang tidak senang. Saya tidak suka lihat kamu sedih." Jawab Pak Arvian yang berhasil membuat jantungku berdetak dua kali lebih cepat daripada biasanya.
***
Aku menghela napas panjang. Malam ini sepertinya aku akan lembur. Aku mengamati beberapa laporan yang belum selesai aku kerjakan. Biasanya Mbak Sisil yang bantu handle, tetapi entah bagaimana Pak Arvian memutuskan untuk tidak mempekerjakan Mbak Sisil menjadi sekretarisnya.
"Lembur?"
Kepalaku refleks terangkat ke atas, "Hmm, bulan ini banyak banget yang harus dikerjakan."
"Sudah makan?" Tanya Pak Arvian.
Aku menganggukan kepalaku, "Sudah kok."
"Kapan?"
"Tadi siang."
Pak Arvian menyentil dahiku pelan, "Bagus."
"Bapak juga lembur?"
"Enggak."
"Jadi ngapain disini?"
"Saya enggak tega ninggalin kamu sendirian."
Enggak boleh baper, Kin.
"Oh, saya enggak penakut kok."
Aku memerhatikan sekeliling ruangan, ternyata sudah cukup gelap. Lampu yang menyala hanyalah di tempatku dan ruangan Pak Arvian.
"Yakin?"
Aku menelan ludahku dengan susah payah, "Jangan ganggu saya Pak, sana sana."
Pak Arvian lagi-lagi tertawa, setelah itu ia menaruh kotak makan di atas mejaku.
"Apa?"
"Kamu enggak tahu ini apa?"
"Kotak makan."
"Pintar, habiskan. Saya tunggu kamu. Kalau sudah selesai kerja, cari saya di ruangan saya."
"Enggak usah repot Pak, saya tidak perlu ditunggu."
"Kamu mau pulang naik apa? Angkot? Taksi online? Ojek online? Kamu sadar kan ini jam berapa?"
Ya, Pak Arvian benar. Aku hampir saja lupa memikirkan bagaimana cara untuk pulang.
"Terima kasih, Pak." Akhirnya kalimat yang bisa terucap hanya itu.
"Tidak perlu merasa sungkan, sebagai pacar yang baik mengantar-jemput pasangan bukannya hal yang wajar?"
Aku memegang pipiku yang sepertinya sedikit panas, untung saja suasana agak remang.
"Hanya kontrak kok."
"Saya juga hanya sedang berlatih menjadi pacar yang baik."
"Terserah."