Part 6

824 Kata
Sibuk kini sudah menjadi bagian dari rutinitasku. Tentu saja menjadi sekretaris Pak Arvian itu bukanlah tugas yang mudah, apalagi ditambah dengan fakta bahwa ternyata Pak Arvian itu bawelnya minta ampun, makin memperumit pekerjaanku saja. Jadwal Pak Arvian hari ini cukup padat, meeting dengan client, rapat dengan marketing team, belum lagi harus meninjau beberapa kontrak kerja sama. Sebagai pemegang jabatan tertinggi di perusahaan, tentu saja beban dan tanggung jawab yang dipikul Pak Arvian tidak sedikit. Aku sungguh mengagumi profesionalitas Pak Arvian ketika sedang bekerja, dia memiliki visi dan misi yang jelas.  Aku belum jelaskan tentang perusahaan Pak Arvian ya? Baiklah akan aku jelaskan secara singkat, seperti perusahaan besar pada umumnya, Devano Group mencakup berbagai macam bidang. Mulai dari dunia percetakan, kuliner, hingga mencakup ranah properti. Perusahaan multinasional ini bahkan telah berhasil menjadi salah satu yang terbaik di Asia dan sedang mempersiapkan untuk melebarkan sayapnya ke pasar luar Asia. Devano Group sendiri memiliki lebih dari 20 anak perusahaan. Maka dari itu, awalnya aku sempat sangat terkejut ketika ditawari bekerja di perusahaan ini dengan latar belakangku yang terbilang sangat biasa. Dengar-dengar, untuk bisa bekerja di Devano Group tidaklah mudah, bahkan lulusan ternama universitas luar negeri saja merasa kesulitan untuk bergabung menjadi karyawan. "Menurut kamu bagaimana Kin?" Tanya Pak Arvian di tengah berlangsungnya rapat. Saat ini, aku sedang menemani Pak Arvian untuk menghadiri suatu rapat.  Aku terkesiap mendengar bahwa Pak Arvian sedang menanyakan pendapatku, "Menurut saya, desain webnya Mbak Gina sangat baik, terlihat sekali bahwa yang mendesain web tersebut adalah seorang profesional. Hanya saja, jika saya memposisikan diri sebagai orang awam yang nantinya akan mengakses web tersebut, saya kira desain Mbak Riana lebih baik. Desain Mbak Riana terlihat lebih sederhana, menurut saya akan lebih baik kalau mengutamakan kemudahan dalam penggunaan web." Pak Arvian menganggukan kepalanya setuju dengan jawabanku, "Saya rasa cukup untuk hari ini, saya sangat menantikan adanya berita bagus dari proyek ini. Jangan membuat kesalahan sekecil apapun, jangan buat saya kecewa dengan tim ini." Setelah Pak Arvian mengucapkan kalimat tersebut, semua orang pun lekas bubar dengan berbagai macam ekspresi. Ada yang berwajah sumringah sebab mendapat pujian, ada pula yang berwajah murung sebab mendapat tekanan dari Pak Arvian, ada juga yang kinerjanya stuck sehingga mendapat tanggapan sinis. "Pak..." Pak Arvian menoleh kepadaku, "Apa?" "Mau makan apa siang ini?" "Tidak perlu." Sepertinya ada yang berbeda dengan Pak Arvian hari ini. Mengapa terasa sangat suram sekali? Biasanya ia tak henti untuk membuatku merasa jengkel. "Pak." "Apa?" "Bapak sakit?" Tanyaku yang merasa bingung dengan sikap Pak Arvian hari ini.  "Enggak." "Jadi?" "Jadi apa?" "Lupain aja, enggak jadi. Anggap saja enggak pernah tanya." Pak Arvian tidak menanggapi ucapanku dan langsung berjalan mendahului aku. Aku memandang punggung Pak Arvian dengan beragam pertanyaan. Tumben sekali Pak Arvian bersikap dingin kepadaku. Memang aku ada salah apa? *** "Kin." "Hm?" Baru kali ini aku bisa makan siang di kantin kantor, biasanya aku harus menemani Pak Arvian makan. Rasanya cukup menyenangkan karena tidak melihat wajah Pak Arvian, tetapi entah kenapa aku terus kepikiran tentang sikapnya. "Mood Pak Arvian lagi jelek ya?" Tanya Mbak Gistha, seorang staff divisi makanan. "Kenapa Mbak?" "Marah-marah mulu dari tadi." "Biasa toh." "Iya sih, tapi pas lu jadi sekretaris Pak Arvian, dia enggak begitu galak. Gue kira kalian berantem." "Berantem mah tiap hari Mbak." Ucapku sembari mengunyah nasi goreng yang sudah aku pesan sepuluh menit yang lalu. Setelah makan, akhirnya aku memutuskan untuk ke ruangan Pak Arvian. Sebenarnya aku kenapa sih? Bukankah lebih baik kalau dia tidak bersikap menyebalkan? Aku menghela napas sebelum memasuki ruangan Pak Arvian. "Pak---" Aku cukup tersentak ketika melihat Pak Arvian sedang tertawa dengan lawan bicaranya. Aku mengutuk diriku yang sempat mengkhawatirkan Pak Arvian. "Dia siapa Ar?" Tanya seorang wanita cantik yang sepertinya pernah aku lihat di salah satu majalah. Aku memutar bola mataku dengan sebal, lawan bicara Pak Arvian adalah seorang model papan atas ternyata. Pantas saja muka masamnya langsung berubah menjadi cerah. "Sekretaris saya. Kamu kenapa masuk tidak ketuk pintu dulu? Tidak sopan." Ujar Pak Arvian dengan nada dingin. Biasa juga dia tidak sewot. "Sudah lah Ar, jangan marah-marah terus. Kasihan pegawai kamu sampai takut gitu." "Neira, kalau saya tidak tegas nanti dia semakin tidak tahu etika." Aku tertawa miris mendengar ucapan Pak Arvian, sementara wanita cantik bernama Neira itu menatapku dengan mimik wajah kasihan. "Maaf mengganggu." "Jadi, ada apa?" Nada dingin Pak Arvian membuatku cukup kesal. "Tidak ada hal penting. Maaf saya tidak sopan." "Tidak ada hal penting? Sebenarnya apa yang ada di otak kamu? Kamu tahu, kamu mengganggu waktu saya dan Neira." "Saya pacar Bapak kan? Memang tidak boleh melakukan hal seperti ini? Siapa tahu mbak ini selingkuhan Bapak." "Ar? Dia pacar kamu?" Pak Arvian hanya menganggukan kepalanya pelan, "Kinera, jangan buat saya marah." "Silahkan kalau mau marah, mau batalkan kontrak juga dengan senang hati." Ucapku lalu langsung keluar dari ruangan Pak Arvian. Mau pecat? Silahkan. Aku sudah terlanjur kesal. Kalau ada wanita secantik Neira, untuk apa minta tolong aku untuk berpura-pura menjadi pacarnya. Sebenarnya ada apa denganku hari ini? Kenapa aku kesal?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN