"Masak apa kamu?" Tanya Pak Arvian yang baru saja selesai mandi. Ia muncul dengan pakaian santai dengam rambut yang masih sedikit basah.
Astaga, kok tumben Pak Arvian ganteng ya?
"Gado-gado." Jawabku sembari menunjuk piring yang penuh dengan saus kacang, tahu, tempe, dan beberapa jenis sayur.
"Tumben tampilan masakan kamu bagus, biasanya masakan kamu acak adul." Sindir Pak Arvian.
"Bisa enggak sih Pak kalau mau muji enggak perlu nyindir dulu?" Ujarku dengan sewot.
"Saya belajar masak dari Nina, nah Nina itu muridnya Chef Gavin. Bapak tahu Chef Gavin kan?" Lanjutku.
Pak Arvian menggelengkan kepalanya, "Enggak, saya cuma tahu Chef Renata."
"Terserah."
"Kalau cantik, saya pasti tahu."
"Saya enggak peduli." Ucapku yang malas beradu argumen dengan Pak Arvian.
"Kenapa sayur semua? Kamu pikir saya kambing?"
"Makan aja jangan banyak ngeluh, Bapak tuh kalau makan harus balance. Jangan makan daging mulu, sekali-kali harus makan sayur."
"Bawel." Ujar Pak Arvian seraya menyuapkan beberapa sendok ke mulutnya.
"Enak?" Tanyaku penuh harap cemas.
"Enggak." Jawab Pak Arvian dengan santai.
"Ya sudah, sini makanannya kalau enggak mau. Saya kasih ke peliharaan saya aja." Ucapku dengan kesal.
Pak Arvian menahan tanganku yang ingin mengambil piringnya, "Karena saya baik, saya makan."
"Bilang aja enak, dasar gengsian."
Pak Arvian mengunyah dengan semangat sembari sesekali melirikku sambil tersenyum kecil.
Aneh banget Pak Arvian tuh..
Aku enggak bisa ditatap kayak gitu, kasihan jantungku.
Ketika aku teringat akan kesalahanku, aku langsung memasang wajah memelas agar setidaknya kadar marahnya Pak Arvian bisa menurun setelah melihat ekspresi wajahku, "Oh iya, maaf ya Pak..."
"Untuk apa?"
"Bangunin Bapak dengan cipratan air."
"Bagus, ulangin aja terus."
"Habis Bapak susah dibangunin."
"Bangunkan saya itu pakai cinta bukan pakai dendam."
"Saya enggak bisa kalau bangunkan Bapak pakai cinta, nanti saya sakit mental."
"Saya bingung sama kamu Kin."
"Kenapa?"
"Kamu itu terlihat serius dan tidak peduli, tetapi sebenarnya kamu itu cukup menggemaskan dan banyak pesona."
Pak Arvian yang terhormat...
Tolong dong jangan buat aku baper dengan kalimat yang kamu lontarkan.
Aku memegang pipiku yang terasa panas, "Saya tahu Pak, saya memang bikin gemas."
"Makanya saya mau cubit pipi kamu terus." Ujar Pak Arvian seraya mencubit pelan pipi kananku.
Demi es teh manis Mang Ucup...
Skinship kali ini benar-benar berhasil membuat jantungku berdetak dua kali lebih cepat.
Dekat-dekat dengan Pak Arvian itu selain menguji kewarasan, juga bisa mengakibatkan sakit jantung.
"Oh iya Pak, laporan yang Bapak minta kemarin mau dikirim kapan?" Tanyaku yang langsung mengubah topik agar tidak terlalu kentara jika aku sedang berusaha menetralkan detak jantungku.
"Tiba-tiba urusan kantor?"
"Bapak kan atasan saya."
"Kalau di rumah jangan bawa-bawa kerjaan."
"Iya deh."
"Tumben nurut."
"Saya nurut salah, bantah juga salah. Saya napas aja salah kali ya di mata Bapak."
"Iya, kamu salah karena sudah hadir dalam kehidupan saya. Kamu salah karena sudah memenuhi otak saya."
Aku mencebik mendengar ucapan Pak Arvian, "Dialog dari mana?"
"Komik."
"Bapak baca komik?"
Pak Arvian menganggukan kepalanya, "Kenapa? Ada yang salah?"
"Enggak nyangka aja kalau manusia kaku kayak Bapak bisa baca komik."
"Yang kaku itu kamu bukan saya."
"Terserah. Bapak suka baca apa?"
"Kamu mulai penasaran ya dengan saya? Hati-hati, rasa penasaran dapat menumbuhkan rasa peduli. Ketika rasa peduli mulai ada, maka akan menimbulkan rasa sayang."
Aku meletakkan sendokku dengan cukup keras, "Saya sudah selesai makan, Bapak cuci piring! Saya mau bobok cantik."
"Kamu minta saya cuci piring?" Tanya Pak Arvian dengan nada tidak percaya.
"Iya, kenapa? Tangan Pak Arvian yang terhormat itu tidak bisa cuci piring? Manja." Aku bergumam dengan volume suara cukup kecil seraya membawa piring-piring kotor ke tempat cuci piring.
"Kamu istirahat saja, saya yang cuci."
"Seriusan?"
"Tidur sebelum saya berubah pikiran."
"Okay, Boss!"
***
Hari ini aku bangun cukup pagi karena harus menyiapkan sarapan untuk Pak Arvian terlebih dahulu. Menu sarapan pagi ini bubur ayam.
Entahlah apakah rasanya enak atau tidak, tetapi yang pasti masih bisa dimakan.
Setelah masak, aku pun mengambil gagang sapu dan sekop yang terletak di dapur dan segera menyapu beberapa ruangan di rumah yang menurutku cukup besar untuk ditinggali oleh satu orang.
"Pagi-pagi rajin banget sih Kin."
"Bapak sudah bangun?" Tanyaku yang langsung memberikan Pak Arvian air hangat.
Sebenarnya sudah kebiasaan sih, soalnya setelah bangun tidur, aku biasanya langsung minum air putih.
Pak Arvian meneguk habis gelas yang aku bawakan tadi, "Kamu kok bisa tahu kebiasaan saya setelah bangun tidur biasanya minum air hangat?"
"Kebiasaan kita sama kalau begitu."
"Apakah kita berjodoh?"
Aku meninju pelan lengan Pak Arvian, "Masih pagi jangan bikin kesal deh Pak."
Pak Arvian tersenyum, "Kamu buruan siap-siap. Enggak takut telat?"
"Belum selesai nyapunya. Lagian punya rumah kok besar banget."
"Lah? Siapa yang minta kamu nyapu?"
"Katanya Bapak perlu yang bisa ngurus rumah?" Tanyaku dengan kesal.
"Iya, maksud saya bukan nyapu kayak gini. Kalau bersih-bersih ada yang datang nanti siang."
"Kenapa enggak ngomong dari tadi?" Teriakku penuh dengan nada frustasi.
Saking besarnya rumah ini, aku sampai lelah sendiri. Lalu, setelah aku hampir selesai menyapu setengah rumah Pak Arvian, dia baru bilang kalau tidak perlu disapu.
Inhale..
Exhale..
Sabar, Kinera.
Orang sabar disayang cogan.
Aku memaksakan senyumku, "Terima kasih atas olahraga paginya."
Pak Arvian membalas dengan senyuman yang menurutku sangat menyebalkan, "Terima kasih juga atas bubur ayamnya."
Aku melempar bantal-bantal yang ada di sofa ke Pak Arvian dengan brutal, sedangkan Pak Arvian berusaha sekuat tenaga untuk menangkis lemparanku.
"Jadi cewek, manis dikit dong." Ujar Pak Arvian setelah aku menyudahi aksi brutalku itu.
"Saya bukan cewek. Situ mau apa?" Balasku.
"Habis kamu ganas banget, saya jadi takut."
"Soalnya Bapak ngeselin sih!"
Pak Arvian berusaha mati-matian menahan tawanya, "Maaf deh."
"Bodo amat." Teriakku seraya menutup pintu kamar dengan cukup kencang. Biar saja kalau pintunya rusak, toh Pak Arvian punya banyak uang untuk membeli lagi.