Part 3

978 Kata
Setelah semalaman membaca catatan tentang Pak Arvian, alhasil pagi ini aku menjadi sangat mengantuk. Akibat dari mengantuk adalah aku menjadi kurang fokus. Hm, sepertinya aku sedang butuh aqua? "Kinera, kamu dari tadi dengar tidak saya ngomong apa?" Aku menganggukan kepalaku. "Coba ulangi apa yang saya bicarakan." Lagi-lagi aku hanya menganggukan kepalaku. Terlihat jelas dari raut wajahnya Pak Arvian bahwa dia sedang menahan kesal. Pak Arvian pun mengambil handuk kecil dari tas olahraganya lalu melemparkan handuk itu ke mukaku. "Pak! Ini muka loh!" "Saya pikir bukan. Basuh dulu wajah kamu." "Enggak mau pakai handuk ini tapi." "Kenapa?" "Nanti saya tertular virus jomblo." Pak Arvian menyunggingkan senyumnya, "Maaf, saya jomblo terhormat, tidak seperti kamu." Aku kembali menertawakan Pak Arvian, "Pak rumor di media enggak benar kan?" Pak Arvian tidak membalas ucapan ku. Tatapan matanya mengisyaratkan aku untuk segera keluar dari ruang kerjanya. "Jangan lupa cuci muka." "Iya. Bawel banget sih Pak." "Kamu kenapa bisa ngantuk gitu?" "Habis baca buku sejarah Pak." "Terserah." Aku tersenyum penuh kemenangan karena berhasil membuat Pak Arvian naik pitam. Setelah membasuh wajah dengan sabun cuci muka yang ternyata enggak bikin muka aku jadi glowing, akhirnya rasa kantukku perlahan mulai berkurang. Aku melirik ke ruang kerja Pak Arvian. Wajahnya yang serius ketika sedang berkutat dengan dokumen-dokumen penting berhasil membuatku sedikit terkesima. Hanya sedikit. Setelah puas melirik Pak Arvian, aku pun memutuskan untuk meninjau kembali beberapa dokumen yang akan ditandatangani Pak Arvian. "Kin, mana dokumen-dokumen yang perlu ditandatangani Pak Arvian? Biar gue aja yang ngasih." Bibirku tak tahan untuk tidak mengucap kata astaga ketika melihat penampilan Mbak Sisil, entah kenapa sepertinya konsep busana Mbak Sisil hari ini adalah serba ketat. "Silahkan Mbak, ada di map merah." Tanganku yang sedang berkreasi di atas keyboard membuat aku tidak bisa menggapai map tersebut. Lebih tepatnya aku hanya sedang malas. "Thanks" "Semoga berhasil Mbak." Ucapku sembari memberi mengepalkan tanganku memberi tanda semangat. "Semangat apa?" Aku tersenyum, "Mbak mau rayu Pak Arvian kan?" Mata Mbak Sisil langsung membulat, "Jangan sembarangan ngomong." Aku hanya membalas ucapan Mbak Sisil dengan senyuman. Sudah jelas dia mau menggoda Pak Arvian dengan pakaian super ketat seperti itu. *** "Siapa yang suruh Sisil nganter dokumen?" "Mbak Sisil sendiri." "Dia bilang kamu yang minta." "Pak, walaupun pada kenyataannya memang betul saya malas bertemu dengan Bapak, tetapi jika itu adalah tugas, selagi saya mampu saya enggak akan oper ke orang." "Buktinya kamu oper ke Sisil." "Kan itu Mbak Sisil yang minta Pak. Lagi pula dia sekretaris Bapak juga kan." "Dia kan pengganti kalau kamu kuliah, Kinera." "Terserah." "Kenapa jadi kamu yang ngambek?" "Saya enggak ngambek." Pak Arvian memijat pelan kepalanya yang tiba-tiba terasa pusing, "Lain kali jangan biarkan Sisil masuk kalau ada kamu." "Kenapa Pak?" "Busana dia kurang bahan, rusak mata saya kalau lihat dia terus." "Itu fashion Pak." "Saya tahu. Hanya saja saya tidak suka gaya busana dia." "Memang Bapak ngerti soal gaya busana?" "Setidaknya saya lebih paham dari kamu." Aku tertawa mendengar penuturan Pak Arvian, "Dari mana? Jelas saya lebih paham." "Saya yang tidak terlalu paham saja bisa menilai kalau selera fashion kamu rendah." "Mohon maaf sebelumnya Pak, bisa diulang?" "Selera kamu rendah, pantas saja masih jomblo." "Saya enggak dandan aja banyak yang suka, meskipun saya tolak satu-satu. Apalagi kalau saya dandan Pak? Bah, gempar dunia." Kini giliran Pak Arvian yang tertawa mendengar ucapanku, "Tingkat delusi kamu sudah parah sepertinya." "Pak, kalau minta saya ke sini cuma untuk ngajak gelut mending saya keluar aja deh." "Siapa yang ngajak gelut? Kamu lupa ini sudah jam berapa?" Aku melirik arloji yang melekat di tangan kananku, "Jam makan siang." "Mana makanan saya?" "Manja banget sih Pak, tinggal ke kantin kantor aja ribet banget." "Apa gunanya ada kamu?" Aku menghela napas panjang, "Mau makan apa?" "Masakan kamu." "Enggak enak masakan saya. Bapak enggak takut saya kasih racun?" "Mana berani kamu. Kalau saya mati, siapa yang gaji kamu?" Aku berpikir kembali, "Bener juga ya Pak. Ya sudah, saya masakin nasi goreng aja." "Jangan pakai lama ya." "Pak." "Iya?" "Bapak itu sebenarnya butuh sekretaris atau asisten pribadi sih?" "Kamu kenapa nanya itu terus?" "Karena saya merasa diperbudak, Pak." "Kalau bisa dua-duanya kayak kamu, kenapa enggak?" Sabar, Kinera. Inhale... Exhale... Dari pada menguras tenaga karena berdebat dengan Pak Arvian, aku pun memutuskan untuk ke kantin karena seingatku enam puluh menit lagi Pak Arvian ada meeting dengan klien dari Beijing. "Mang Ucup." "Apa Neng?" "Masakin nasi goreng dong, enggak pakai cabai ya Mang. Terus nasi gorengnya pakai telur ceplok dua." "Tumben request Neng?" "Buat Pak Boss." Mang Ucup itu walaupun modelnya kayak tukang jualan nasi goreng keliling, tetapi kemampuan masaknya itu setara dengan koki hotel bintang lima. Don't judge a book by it's cover benar-benar cocok disematkan kepada Mang Ucup. Setelah mendapat nasi goreng dari Mang Ucup, aku pun langsung mengantar nasi goreng tersebut kepada Pak Arvian. "Bukan kamu yang masak kan?" Tanya Pak Arvian setelah memakan sesuap nasi goreng. "Saya kok yang masak." Walaupun aku berucap dengan bibir bergetar karena takut berdosa tetapi aku berusaha mengucapkannya selantang mungkin. "Saya sering request nasi goreng ke Mang Ucup. Rasanya sama persis." "Mang Ucup itu hasil didikan saya Pak." Pak Arvian menghela napasnya, "Kamu sudah hubungi penerjemah?" Aku menganggukan kepalaku, "Sudah. Seharusnya sepuluh menit lagi sampai." "Sampaikan ke Rina kalau saya sudah melihat hasil desain dia, dan tidak ada yang menarik perhatian saya. Desain pertama terlalu banyak hiasan tidak penting, sedangkan desain kedua komposisi warnanya tidak padu." "Baik Pak." "Nanti kalau klien saya sudah datang, langsung persilakan masuk saja." "Iya Pak." "Tumben nurut." "Saya enggak pernah durhaka Pak sama orang tua." "Saya belum tua." "Hampir tua." "Kamu kenapa ngeselin banget sih Kin? Untung kerjaan kamu bagus." "Kalau saya ngeselin, lantas Bapak apa?" "Saya tampan." "Tampan kalau dilihat dari sedotan." "Buktinya kamu sering lirik saya." "Memang melirik tanda tampan?" "Enggak. Tetapi melirik bisa jadi tanda tertarik."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN