"Kin, kamu mau makan apa?" Tanya Pak Arvian.
"Tumben nanya saya mau makan apa, biasanya juga Bapak hanya peduli dengan menu makan Bapak." Jawabku dengan sarkas.
"Saya enggak gitu." Bantah Pak Arvian.
"Bener ya? Awas minta saya masakin makanan lagi."
"Itu tuh kewajiban kamu sebagai calon istri yang baik, memerhatikan gizi calon suami."
Gombal aja terus...
Enggak tahu ya kalau kata-kata dia itu bisa bikin aku sakit jantung?
"Maaf gombalan Bapak enggak mempan di saya."
"Siapa yang gombal?"
"Bapak."
"Saya enggak sedang gombal tuh."
"Jadi?"
"Saya kan berbicara apa adanya."
"Memang siapa yang mau jadi calon istri Bapak?"
"Kamu."
Aku menghela napas dengan cukup berat.
Tenang, Kinera...
Kamu enggak boleh terjerat dalam pesona Pak Arvian.
"Bapak tuh kenapa sih?"
"Apa? Saya enggak apa-apa. Terima kasih sudah mengkhawatirkan saya." Ucap Pak Arvian diiringi dengan kedipan mata.
"Bapak kayak manusia penggoda, tahu enggak?"
"Oh, jadi kamu merasa tergoda?" Tanya Pak Arvian sembari tersenyum manis.
Haduh, ini Pak Arvian kenapa sih?
Kumat? Salah minum obat?
"Bapak kenapa sih?"
"Kamu kalau nanya saya kenapa terus, nanti saya jadi kenapa kenapa karena sering kamu tanya."
"Habis Bapak enggak ada angin, enggak ada hujan, tiba-tiba jadi baik. Kan saya jadi takut Pak."
"Memang saya salah kalau baik? Saya biasanya memang baik kok."
"Bapak bisa melakukan angket ke seluruh pegawai, isinya tentang bagaimana kekejaman seorang Arvian. Saya penasaran hasilnya seperti apa."
"Kamu bilang apa tadi?"
"Apa?"
"Coba ulangi penyebutan nama saya."
"Apaan sih Pak."
"Coba ulangi."
"Enggak mau."
"Ulangi Kinera, ini perintah boss." Titah Pak Arvian yang membuatku malu setengah mati.
"Dasar otoriter!"
"Cepat..."
"Arvian." Ujarku dengan cepat.
"Bilang gini, Mas Arvian." Ujar Pak Arvian yang menyuruhku untuk mengulangi kalimatnya.
"Enggak mau ih!"
"Apa sih susahnya bilang gitu?"
"Bapak sendiri kenapa sih mau banget dengar saya bilang gitu?" Ujarku yang malah berbalik bertanya.
Sebelum Pak Arvian membalas ucapanku, ada salah satu pegawai yang menginterupsi dengan mengetuk pintu dan menongolkan batang hidungnya, "Maaf Pak."
Aku menghela napas lega karena akhirnya aku bisa lepas dari obrolan enggak mutu bareng Pak Arvian.
"Ada apa?" Tanya Pak Arvian ke salah satu karyawan wanita yang menginterupsi obrolan kami.
Aku mencebik ketika mengetahui bahwa aura Pak Arvian tiba-tiba berubah menjadi suram dan nada suaranya menjadi sangat dingin.
Nah, ini baru Pak Arvian.
"Saya ingin memberikan laporan tentang tanggapan konsumen Pak." Ujar Mbak Riska.
"Kenapa baru sekarang?"
"Iya? Maksudnya Pak?"
"Kemarin kamu janji akan melapor jam sebelas. Ini bahkan sudah hampir jam satu."
Mbak Riska menjawab sembari menunduk, "Maaf Pak, tadi ada sedikit masalah."
"Saya tidak peduli dengan masalah yang kamu hadapi. Ini kesempatan terakhir, kalau kamu masih tidak disiplin, segera bereskan barang-barang kamu." Ujar Pak Arvian dengan tatapan yang luar biasa tajam.
Sepertinya setan yang mengendap di dalam tubuh Pak Arvian sudah bangkit kembali.
"Maaf Pak. Tidak akan saya ulangi."
"Saya tidak perlu kata maaf. Jika kata maaf bisa menyelesaikan masalah, maka tidak ada yang namanya penjara. Saya butuh sikap profesional kamu."
"Baik Pak."
"Kalau begitu saya izin permisi." Aku memilih untuk segera keluar dari ruangan Pak Arvian dibanding harus mendengar segala macam ucapan nyelekit.
"Semoga beruntung, Mbak Riska." Ujarku dalam hati.
***
Aku menatap setumpuk berkas yang harus ditandatangani oleh Pak Arvian. Sejujurnya aku malas masuk ke ruangan Pak Arvian karena takut dia kembali berulah.
"Masuk." Ujar Pak Arvian ketika aku mengetuk pintu.
"Pak, silakan ditandatangani. Nanti kalau sudah, hubungi saya saja."
"Tumben? Biasanya kamu nungguin saya."
"Saya mau makan siang dulu."
"Makan siang di ruangan saya saja."
"Enggak mau."
"Saya sudah pesan nasi rawon, mungkin sekitar lima menit lagi diantar ke sini. Yakin enggak mau?"
"Kok Bapak bisa tahu makanan kesukaan saya sih?"
"Apa sih yang saya enggak tahu tentang kamu Kin."
"Bapak nyewa orang lagi?"
"Sembarangan kamu." Ujar Pak Arvian sembari menyentil dahiku.
"Jadi tahu dari mana?"
"Makanan kesukaan kamu itu semuanya berkuah. Akhir-akhir ini saya lihat kamu sering like foto rawon."
"Bapak enggak ada kerjaan?"
"Kerjaan saya segunung asal kamu tahu."
"Bapak stalk saya sampai segitunya?"
"Kalau saya tanya langsung pun, kamu enggak mau jawab kan?"
"Bapak enggak lagi kerasukan kan?"
"Kamu pikir saya apa?"
"Setan."
"Kalau saya setan, kamu calon istri setan. Mau?"
Aku refleks menggelengkan kepalaku, "Enggak mau!"
"Makanya jangan bilang saya setan."
"Jadi Bapak kenapa tiba-tiba jadi perhatian gini? Aneh tahu enggak."
"Mungkin saya kerasukan malaikat?"
"Tuh, berarti Bapak mengakui kalau Bapak itu selama ini tingkahnya enggak kayak malaikat."
Setelah pembicaraan enggak jelas, tak lama kemudian Mang Ucup datang membawa nasi rawon.
"Tumben Mang antar sendiri."
"Untuk Pak Boss apapun saya rela lakuin, Neng."
Ada-ada saja Mang Ucup. Setelah mengantar makanan, Mang Ucup pun pamit undur diri.
"Enak?" Tanya Pak Arvian ketika aku mulai makan dengan lahap rawon buatan Mang Ucup.
"Masakan Mang Ucup enggak pernah enggak enak, Pak."
Kalau saja Mang Ucup mau buka restoran, aku jamin tidak mungkin sepi pembeli.
"Oh kalau enak, bilang apa?"
"Terima kasih Mang Ucup."
"Kok Mang Ucup?"
"Kan yang masak Mang Ucup."
"Terserah."
"Bapak suka rawon?"
"Saya baru pertama kali coba."
"Serius? Pasti biasanya makan steak doang."
"Enggak begitu juga, tapi rasa rawon ternyata enak juga."
"Banyak makan masakan Indonesia dong Pak makanya."
"Iya, asal kamu yang masak."
"Tambahin gaji saya kalau gitu."
"Kalau kamu jadi istri saya, tiap hari kamu enggak akan kekurangan uang." Ujar Pak Arvian dengan penuh percaya diri.
"Iya, tapi tiap hari saya perlu periksa kesehatan mental."
"Kin..."
"Kenapa?"
"Kayaknya pelukan kamu tempo hari berdampak besar pada saya."
Jadi sikap anehnya saat ini karena efek aku peluk waktu itu?
Lagi pula aku kenapa sih waktu itu main peluk anak orang sembarangan.
"Kalau makan, jangan berisik Pak." Ujarku seraya menahan perasaan salah tingkah.