Part 13

1005 Kata
Hari ini aku langsung pulang tanpa berniat untuk mencari tambahan pundi-pundi uang. Perutku sudah kepalang sakit minta ampun dan aku benar-benar tidak bertenaga untuk melakukan aktivitas. Biasanya saat masa itu tiba, perutku masih bisa kuajak kerja sama. Mungkin perutku kali ini lagi merajuk. Setelah berdiam diri di kamar, aku pun pergi ke dapur untuk mengambil air hangat. Biasanya air hangat sangat ampuh untuk meredakan keram perutku. "Kamu tumben sudah pulang?" Tanya Pak Arvian yang baru saja pulang. Aku melirik jam dan arah jarum pendek sudah menunjuk angka delapan. Tumben, biasanya Pak Arvian selalu tiba di rumah tepat pukul tujuh. "Iya." Jawabku singkat karena malas menanggapi ucapan Pak Arvian lebih lanjut. "Kamu sakit?" Tanya Pak Arvian seraya mulai berjalan mendekat ke arahku. "Enggak kok." Kilahku. "Muka kamu pucat." Ujar Pak Arvian yang entah bagaimana terdengar nada khawatir dalam kalimatnya. "Saya baik-baik saja kok Pak." Pak Arvian menempelkan telapak tangannya ke dahiku, "Panas banget Kin. Kamu yakin sehat?" "Sehat kok Pak, ini karena lagi masanya aja." "Masanya? Masa apa?" "Datang bulan Pak." "Perut kamu masih keram?" "Lumayan, tapi saya masih bisa tahan kok." Pak Arvian melepas jas yang melekat di pundaknya dengan cukup apik. Aku saja sampai mengira kalau yang tadi itu iklan jas pria. Astaga, Kinera... "Kamu sudah makan?" Tanya Pak Arvian sembari menuntunku untuk duduk. "Belum, enggak nafsu makan Pak." "Saya masakin sup ya?" Aku terdiam cukup lama, "Bapak bisa masak?" "Bisa dan tidak seburuk masakan kamu." Aku menghela napas kesal, "Kalau bisa masak, kenapa minta saya yang masak sih Pak?" "Kamu kan calon ibu dari anak-anak saya. Kalau saya kerja, siapa yang kasih makan anak-anak saya nanti kalau bukan kamu?" Aku berdecak dengan sebal mendengar penuturan dari mulut manis Pak Arvian. Smooth sekali rayuan Pak Arvian.  Bisa-bisanya aku termakan omong kosong Pak Arvian. Enggak, Kinera! Kamu enggak boleh terlena dengan kata-kata manis. "Siapa yang mau jadi ibu dari anak-anak Bapak? Maaf ya Pak, saya sudah punya calon suami." Pak Arvian yang sedang menyiapkan bahan masakan melirikku dengan sorotan tajam ketika kalimat terakhir itu terucap. "Kamu sudah punya calon suami? Siapa? Bukannya kamu pemegang predikat jomblo sejak lahir?" Tahan, Kinera. Kalau aku sedang tidak menahan rasa sakit, mungkin aku sudah ngajak gelut Pak Arvian. "Kenapa? Bapak cemburu?" "Iya." Jawab Pak Arvian yang berhasil membuat mulutku terkunci untuk beberapa saat. "Jadi siapa calon kamu? Lebih tampan dari saya?" Tanya Pak Arvian dengan kepercayaan dirinya yang terlampau tinggi itu. "Tahu Korea Selatan? Nah, calon suami saya lagi tinggal di sana." "Siapa?" "Oh Sehun." Pak Arvian bernapas lega setelah mendengar ucapanku, "Oh, kamu lagi halu?" "Terserah." Selagi Pak Arvian memasak, aku menyibukkan diri dengan menonton drama korea di televisi. Aku tercengang ketika menonton adegan demi adegan yang menunjukkan interaksi antara seorang istri, mantan suami, dan pelakor. Buset dah,  Dramanya sudah melebihi sinetron azab yang biasanya aku tonton. Sepertinya aku bisa naik darah kalau terus melanjutkan drama ini. "Seru banget nontonnya? Makan gih." Aku berjalan ke meja makan dan terkejut ketika melihat hasil masakan Pak Arvian. Sepertinya rasanya enak... "Bapak beneran bisa masak?" "Lumayan. Karena saya rewel soal makanan, jadi saya mau enggak mau belajar masak." Aku melahap masakan Pak Arvian dengan nikmat hingga lupa untuk menanyakan suatu hal penting. "Laper?" "Lumayan." "Tadi bilang enggak nafsu makan?" "Saya mana tahu kalau masakan Bapak seenak ini." "Jadi, harus bilang apa?" "Terima kasih Pak Arvian yang terhormat." "Saya enggak terima ucapan terima kasih kamu. Nanti kamu jangan lupa balas budi ya." "Dasar enggak ikhlas!" "Bodo amat." "Oh ya, saya mau nanya. Boleh?" "Tanya apa? Kalau saya jawab enggak boleh juga kamu tetap akan mengajukan pertanyaan kan?" "Silvia itu siapa?" Raut wajah Pak Arvian berubah suram ketika aku menyinggung nama itu, sepertinya aku sedang membuka luka lama Pak Arvian. "Kamu sudah selesai makannya? Kalau sudah selesai, nanti taruh di tempat cuci piring saja. Saya yang cuci." Ujar Pak Arvian yang aku yakini kalau dia sedang mengalihkan topik pembicaraan. "Pak, saya punya pertanyaan yang belum dijawab loh." "Mantan saya. Enggak penting, kamu enggak perlu mikirin." Jawab Pak Arvian. Bila kulihat dari caranya menjawab, ia sepertinya tidak ingin membahas wanita bernama Silvia itu lagi. "Mantan?" Ulangku. "Iya." Jadi, sosok wanita yang selalu membuatku kesal karena sering dimirip-miripkan itu mantannya Pak Arvian? "Okay." Jawabku sembari mengakhiri topik tentang Silvia. Aku tidak berniat membahas lebih lanjut karena ekspresi wajah Pak Arvian terlihat tidak nyaman. Setelah pembicaraan itu, Pak Arvian masuk ke kamarnya. Aku jadi sedikit merasa bersalah karena sudah menyinggung privasinya. "Kin, saya sudah siapkan handuk yang sudah saya rendam dengan air hangat di kamar kamu. Nanti kamu tempelkan saja di area perut yang terasa enggak nyaman. Mama saya kalau keram perut sering kompres pakai handuk hangat, katanya lumayan efektif dan bisa membuat lebih rileks. Semoga ampuh juga di kamu." Ini Pak Arvian kesambet malaikat mana sih? Kok jadi baik banget? "Pak..." "Iya?" "Coba ke sini." Pak Arvian berjalan cepat mendekatiku, "Kenapa? Ada yang sakit?" Entah apa yang aku pikirkan saat itu, tetapi aku dengan cepat memeluk Pak Arvian dari belakang, "Terima kasih Pak." Pak Arvian mengeratkan tanganku yang melingkar di perutnya, "Jangan sakit lagi." Duh, ini mah sudah kayak adegan di drama korea yang sering aku tonton. Tak berapa lama, Pak Arvian melepas tanganku dan memutar badannya sehingga kini ia berhadapan denganku. Inhale.. Exhale.. Pak Arvian kalau diam kayak gini tuh kadar ketampanannya langsung naik berkali-kali lipat. "Sini saya peluk." Ucap Pak Arvian dengan nada mengesalkan. "Enggak mau!" "Lah? Tadi nyosor mau peluk. Kamu pikir kita lagi syuting adegan Titanic? Adegan back hug harusnya dilakukan pihak pria dong." Tuh kan... Sikap menyebalkan Pak Arvian balik lagi. Baru saja aku dibuat terbang ke atas awan, enggak lama kemudian dihempas dengan sikap yang bikin sebal. "Saya cuma mau tes aja Bapak gendut atau enggak. Kalau bisa saya peluk berarti belum gendut." Ucapku dengan asal. "Oh, kalau begitu saya juga bisa mengetes kamu gendut atau enggak?" Ujar Pak Arvian seraya merentangkan tangannya.  "Enggak boleh." Pak Arvian tertawa kecil, "Ya sudah, cepat istirahat. Get well soon." "Thanks." Ini kenapa jantungku jadi berdegup kencang sih?  Sepertinya aku perlu segera memeriksakan jantungku ke dokter. Semoga jantungku baik-baik saja.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN