Part 12

965 Kata
"Pak, jangan buat saya baper dong. Saya enggak mau dipermainkan. Nanti kalau saya baper, Bapak mau tanggung jawab?" Gumamku seraya memerhatikan wajah Pak Arvian yang sedang tertidur. "Kin..." Aku tersentak tatkala Pak Arvian menggenggam erat tanganku setelah aku mengucapkan kalimat tersebut. Apa? Pak Arvian belum tidur? Astaga... Mati aku! "Kamu berpikir saya main-main dengan ucapan saya?" Tanya Pak Arvian yang masih menggenggam tanganku. Aku diam. Tidak berminat untuk menjawab, tetapi tidak berniat untuk terus diam dengan posisi seperti ini juga. Aku berusaha menghindari mata Pak Arvian. Aku bodoh sekali bisa mengucapkan hal itu. Entahlah mungkin kedua pipiku sudah bersemu merah sekarang, seperti tomat. "Kin, jangan menghindari tatapan saya." Ujar Pak Arvian seraya memutar pundakku agar menghadap dirinya. "Saya hanya asal bicara Pak." Kilahku. "Tapi kenapa saya merasa kamu enggak asal bicara?" "Otak saya sering error Pak kalau sudah menjelang dini hari." "Kalau saya bilang saya juga punya perasaan yang sama dengan kamu, bagaimana?" "Kayaknya otak Bapak juga sudah error deh. Memang perasaan saya terhadap Bapak bagaimana?" "Saya enggak tahu, hanya saja saya yakin kita punya perasaan yang sama." "Terserah." "Terima kasih selimutnya." Aku menganggukkan kepalaku, "Iya. Sudah malam, saya tidur dulu Pak." "Kin, maaf." "Untuk apa?" Pak Arvian diam agak lama tidak membalas ucapanku, membuat aku berhasil dibuat bingung. "Cepat tidur, saya enggak mau besok kamu telat." "Telat juga karena Bapak kan?" "Siapa suruh kamu memandangi wajah saya terus? Saya tahu saya cukup tampan." "Saya cuma penasaran kenapa wajah Bapak bening banget." Jawabku dengan asal. "Saya tahu saya tampan." "Maksud saya Bapak pakai skincare apa sampai enggak ada jerawat, komedo, dan masalah kulit lainnya yang membuat saya dan sebagian kaum wanita lainnya merasa lelah karena berjuang melawan mereka." "Saya memang dari lahir sudah tampan jadi enggak ada rahasia skincare." "Sombong amat." "Memang salah kalau saya berucap fakta?" "Nyebelin! Ini sudah mau pagi loh Pak." "Makanya kamu cepat tidur sana." "Hm." Ujarku yang langsung berlari kecil untuk keluar ruangan. "Kin." Panggil Pak Arvian. "Ya?" "Satu hal yang pasti saya akan tanggung jawab, saya enggak pernah main-main dengan ucapan saya." Jawab Pak Arvian yang terdengar samar karena bersamaan dengan aku yang sedang menutup pintu. *** Hari ini aku merasa cukup aneh dengan situasi saat ini. Tumben?  Biasanya setiap hari pasti ada sosok perempuan yang datang bertamu. Aneh sekali, rasanya hari ini hanya beberapa client yang datang untuk urusan bisnis dan semua tamu tersebut berjenis kelamin laki-laki. "Pak, semua divisi sudah membuat laporan mengenai penjualan mereka bulan ini." "Besok tolong aturkan jadwal rapat dengan mereka." "Iya." "Kamu sudah makan?" Tanya Pak Arvian yang masih fokus dengan dokumen-dokumennya. "Kenapa?" "Saya tanya itu dijawab Kinera bukan malah nanya balik." "Sudah kok Pak." Fokus Pak Arvian yang semula dengan dokumennya kini mulai beralih, ia menolehkan kepalanya kepadaku, "Yakin? Makan apa kamu?" "Makan hati." Ucapku dengan sarkas. "Saya serius Kinera, muka kamu pucat." Lalu Pak Arvian mengambil gagang telepon yang berada di atas meja dan sepertinya menekan nomor telepon yang terhubung dengan kantin, "Tolong bawakan dua porsi nasi soto ke ruangan saya." "Dua porsi?" "Kamu juga makan." "Saya enggak lapar, Pak." "Kamu enggak nafsu makan, tapi perut kamu sudah meronta-ronta." Ujar Pak Arvian yang berhasil membuatku diam. Perutku memang tidak bisa diajak kerja sama rupanya. "Terima kasih." "Sudah kewajiban saya agar perhatian dengan pacar." "Pacar bohongan lebih tepatnya." Setelah selesai makan, aku kembali ke meja kerjaku untuk kembali bekerja. Akhir-akhir ini kerjaanku semakin menumpuk akibat banyak proyek baru. Tak terasa kini sudah pukul dua siang, berarti hanya tersisa satu client lagi yang akan menemui Pak Arvian. Setelah itu, Pak Arvian bisa istirahat. Loh? Ini ngapain sih aku mikirin Pak Arvian? Kayaknya otakku sudah enggak beres. "Selamat sore Pak." Sapaku ketika melihat pria berbadan tegap berdiri di hadapanku. "Sore cantik." Balas pria itu dengan ramah. Aku tersenyum kecut, lagi-lagi aku harus menghadapi fakboi. "Sudah ada janji Pak sebelumya?" Tanyaku dengan nada tidak ramah. Jujur saja, berbicara dengan pria yang suka tebar pesona seperti orang ini sangat menyebalkan. Pria itu tersenyum manis, "Saya enggak ada janji." "Maaf, kalau begitu tidak bisa bertemu." Jawabku. "Coba kamu hubungin Arvian, bilang saja sepupunya rindu." Ucap pria itu. "Sepupu?" Ulangku. "Saya Rio, sepupunya Arvian. Apa saya perlu membuat janji?" "Maaf, tapi Bapak bukan orang pertama yang mengaku sebagai sepupunya Pak Arvian." Pria itu tertawa sekitar sepuluh detik, "Kamu lucu juga ya, pantas Arvian lebih suka bekerja di sini." Aku mengerutkan keningku, "Terima kasih atas pujiannya. Kalau tidak ada hal penting, Bapak saya persilakan untuk pulang." Pria bernama Rio itu mengeluarkan ponselnya dan memberikan ponsel itu kepadaku. Aku melirik layar ponsel itu dan sepertinya pria ini memang benar sepupunya Pak Arvian sebab ada mukanya dalam foto keluarga Pak Arvian. "Maaf, kata Pak Arvian Bapak langsung masuk saja." "Panggil saya Rio." "Terserah." "Kamu lucu Kin." "Kamu tahu dari mana nama saya?" "Kenapa saya tidak bisa tahu nama kamu?" Lagi-lagi karena aku malas berdebat dengan Rio, aku berusaha pura-pura tidak mendengar ucapannya. "Wajah kamu enggak asing." "Terserah." "Mirip Silvia." Jawab Rio sembari memandangi wajahku. "Silvia? Siapa?" "Tapi kamu lebih ketus dan galak." "Saya itu tanya siapa Silvia, kenapa banyak yang bilang saya mirip Silvia? Saya kan mirip emak bapak saya. Enggak mungkin kan saya tiba-tiba punya saudara kembar? Ini bukan sinetron, tapi kenapa hidup saya kayak sinetron. Atau mungkin saya hidup dalam sebuah sinetron?" Ujarku ngawur. Akibat baru selesai nonton drama Korea yang berjudul Extraordinary You, otakku jadi semakin enggak bener. "Kamu lucu Kin, kalau Arvian enggak mau, saya mau sama kamu." Sudah dua kali pria ini menyematkan kata lucu untukku. Memang letak lucunya aku dimana sih? Dengar kata lucu dan semacamnya hanya mengingatkan aku dengan Pak Arvian, menyebalkan. "Maaf, saya yang enggak mau sama situ." "Maaf kamu saya terima, saya juga enggak mau disleding Arvian. Kalau kamu memang penasaran tanyakan saja perihal Silvia ke Arvian." Ujar Rio seraya melenggang masuk ke ruangan Pak Arvian. Ucapan terakhir Rio benar-benar menggangguku. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN