bc

Dekapan Hangat Detektif Tampan

book_age16+
57
IKUTI
1K
BACA
police
mafia
gangster
heir/heiress
sweet
bxg
no-couple
brilliant
campus
city
war
like
intro-logo
Uraian

Ketika Jaka kembali bertugas d ibukota, ia tidak menyangka bahwa seorang wanita kaya raya sedang menantinya selama lima tahun. Tapi pertemuan tidak seindah yang di bayangkan, bukan hanya perbedaan status, tapi mereka juga harus bahu membahu melawan gelombang yang datang menghantam keduanya tanpa henti.

chap-preview
Pratinjau gratis
Memory yang Membekas
Di salah satu bangku depan bus wisata kelas eksekutif yang turut mengiringi rombongan mobil mewah itu, duduk seorang wanita dengan aura keanggunan yang tidak perlu dipaksakan. Nancy Purnama, empat puluh tahun, rambut coklat gelap disanggul rapi, mata teduh namun menyimpan luka-luka masa lalu yang tidak pernah benar-benar sembuh. Ia mengenakan mantel wol berwarna krem, sederhana namun mahal, menunjukkan kelas seorang pemilik Purnama Textile Group, salah satu perusahaan tekstil terbesar di tanah air. Di sampingnya, menempel seperti bayangan kecil yang setia, duduk Tiffany Henry, remaja enam belas tahun—wajah belia dengan garis Eropa yang lembut, rambut pirang keemasan bergelombang, kulit pucat, dan mata biru yang sesekali memantulkan kesepian meski berada di antara keramaian. Sang ibu memegang tangan putrinya, seolah itu kebiasaan yang tertanam sejak tragedi yang merenggut kepala keluarga mereka. Nancy menghela napas pelan, menatap keluar jendela bus yang melewati barisan tebing hijau dan lembah berselimut embun. “Jalur ini selalu indah…” bisiknya. “Jika papamu masih ada, ia pasti akan menyukainya, Fany.” Tiffany tersenyum kecil—senyum sopan, bukan bahagia. “Mom, you always say that,” ia menjawab dalam bahasa Inggris yang halus, logat campur Jakarta–Paris. “But I never get tired hearing it.” Nama Henry, suami Nancy sekaligus ayah Tiffany, seolah selalu hadir setiap kali mereka melewati pemandangan yang sama—hijau, berkabut, dan sunyi. Sudah lebih sepuluh tahun berlalu sejak kecelakaan tragis di Paris merenggut nyawa lelaki Prancis itu, meninggalkan Nancy di tanah air dengan seorang putri balita yang kini tumbuh menjadi remaja. Bus melaju stabil menuruni jalur Puncak. Di bangku lain, para pengusaha bergurau, pejabat tertawa tertahan, membicarakan tender baru, zona investasi, dan proyek-proyek masa depan. Namun Nancy tetap diam, tidak ingin tenggelam dalam obrolan para pria kekuasaan itu. Ia bukan tipe yang berisik. Ia adalah badai yang berjalan tenang, kekuatan yang tidak perlu berteriak. Tiffany menatap lembut, "Mama... apakah Papa dapat melihat kita?" Nancy tersenyum lembut—senyum seorang wanita yang pernah mencintai dengan dalam, dan kehilangan dengan getir. “Mama yakin,” jawabnya, “papamu selalu melihat kita, sayang. Dari tempat yang lebih damai.” Tiffany bersandar di bahu ibunya, matanya memandang ke luar jendela, mengikuti garis pepohonan yang seakan menyentuh langit. “Mama… aku ingin tinggal di luar negeri suatu hari nanti. Seperti papa dulu…” Nancy mengusap puncak kepala putri semata wayangnya. “Kamu boleh pergi jauh, Fany. Tapi ingat, pulang tidak selalu tentang tempat—kadang tentang hati.” Di luar, awan tipis bergerak seperti tirai disingkap pelan. Jalan menurun berliku, tebing-tebing batu berdiri diam, dan angin membawa aroma tanah basah dan pinus. Di tengah deru mesin bus dan percakapan para pengusaha tentang masa depan ekonomi negara, dua hati perempuan itu membentuk dunia kecil mereka sendiri—sunyi, rapuh, namun kuat. Kala itu, Tiffany masih remaja usia 16 tahun, ia sedang duduk manis di kursi tengah bus wisata mewah bersama ibunya, Nancy Purnama, selain mereka berdua di dalam rombongan wisata juga ada beberapa konglomerat terkenal dan pejabat-pejabat tinggi di pemerintahan. Perjalanan tur wisata awalnya penuh ceria dan kegembiraan, di sela-sela canda, tawa, kadang pembicaraan juga menyentuh ke rencana bisnis para konglomerat ke depannya. Namun, dalam sekejap segalanya berubah. Dari balik pepohonan rindang jalanan berliku, tiga pria bersenjata api menghadang rombongan bus wisata. Bus berhenti ketika peluru pistol pembajak menghantam badan bus. Teriakan panik pecah dari dalam bus. Salah satu pembajak langsung menarik pintu mobil dan menodongkan pistol ke arah penumpang. Dengan kasar ke tiganya masuk ke dalam bus, lalu melakukan penggerebekan dengan tujuan merampok. Para pembajak menuntut tebusan besar. Mereka tahu siapa orang-orang yang berada dalam bus wisata itu. Di tengah aksi brutal para pembajak, tiba-tiba dari kejauhan--sebuah motor melaju cepat menuju lokasi kejadian, seorang pemuda tampak gagah menuju ke arah mereka. Salah seorang pembajak dengan cepat menodongkan senjata kepada sopir untuk menjalankan Bus. Sementara dua orang pembajak coba melesatkan tembakan ke arah motor yang mengejar mereka. Namun, pengendara cukup gesit menghindar, dengan manuver tajam motor nya berkelit lincah menghindari setiap serbuan, dan motor makin dekat, lalu dengan keberanian super - sang pemuda melompat ke pintu bus sambil menendang ke arah salah satu pembajak. Pembajak terdorong kebelakang namun seorang pembajak lain melepaskan tembakan ke arah si pemuda...DORR! darah muncrat dari bahu si pemuda, tapi dia masih berdiri dan membalas tembakan..Dor!! presisi dan tepat, satu pembajak tumbang dan tak mampu melawan. Bus tiba-tiba berhenti, penumpang berteriak panik... si pemuda yang bukan lain adalah seorang detektif bernama Jaka Permana - menerjang maju - dengan tendangan terukur ia berhasil menghantam salah satu pembajak hingga terjatuh ke lantai. Seorang pembajak yang bertubuh tinggi, dengan kasar meraih Tiffany, menempelkan senjata ke pelipis gadis itu sambil berteriak keras, "Jangan coba mendekat! atau gadis ini mati!" pria itu membawa Tiffany ke luar dari dalam bus menuju tebing yang curam. Nancy menjerit histeris, mencoba mendekat, namun tendangan keras dari pembajak membuatnya tersungkur. Tiffany gemetar, tubuhnya kaku, napasnya berat. Ia belum pernah berada sedekat itu dengan maut. Pistol dingin menempel di kulitnya, dan ia tahu satu gerakan salah bisa mengakhiri segalanya. Setelah berhasil menaklukkan dua pembajak yang sudah tak berdaya--Jaka dengan cepat berlari mengejar salah satu pembajak yang melarikan Tiffany. "Lepaskan gadis itu!" teriak Jaka lantang, darah menetes dari bahunya. "Letakkan senjatamu Detektif... jika kau menembak - kau pasti tahu akibatnya! wanita cantik ini akan terlempar ke dasar jurang," ancam si pembajak serius sambil melirik ke jurang terjal di sampingnya. Jaka menatap ke arah Tiffany - matanya seolah bicara. Sang pembajak kembali membentak keras, "buang senjatamu... atau dia mati!" ia menempelkan pistolnya lebih keras ke pelipis Tiffany. Jaka menatap Tiffany tajam dan meletakkan senjatanya pelan. Melihat Jaka sudah tak bersenjata tiba-tiba ledakan pistol terdengar dua kali--DOR! DOR! Jaka terhuyung kebelakang, dua peluru menembus bahunya--dan di detik itu--BUKK!! Tiffany menghantamkan kepalanya ke belakang--telak mengenai hidung si pembajak hingga mundur ke belakang, si pria yang terkejut sambil kesakitan mendorong Tiffany hingga meluncur menuju jurang, namun bersamaan itu--Jaka meraih pistol--DORR!! peluru tepat mengenai si pembajak yang langsung terlempar ke dalam jurang, lalu dengan cepat Jaka berlari - menerkam Tiffany yang meluncur menuju jurang terjal. Tiffany tersentak, ia tertahan sebuah tangan yang menggapainya kuat, ia melihat ke bawah--nyaris pemandangan itu membuat jantungnya berdegup keras, jurang di bawahnya tak tampak dasar, kemudian ia mendongak ke atas--sang pemuda masih memegang tangannya erat, namun kondisi sang penyelamat juga kritis--tiga peluru telah bersarang di tubuhnya--sepertinya waktunya tak bisa lama menahan pegangan pada Tiffany. Jaka tampak pucat namun bibirnya masih tersenyum menatap mata Tiffany. Dengan napas terengah dan rasa sakit yang nyaris melumpuhkan. "DENGARKAN AKU, NONA--JANGAN PERNAH MENYERAH! KAU HARUS BISA, KAU LEBIH KUAT, AYO LAWAN DENGAN KEBERANIAN--KAU LAHIR SEBAGAI PEMENANG--KITA PASTI BISA." Tiffany mengangguk sambil berusaha menahan diri agar tak terjatuh. Jaka kembali bergumam sambil menahan sakit, " KAMU HARUS TERUS BERJUANG UNTUK DIRIMU. UNTUK SEMUA ORANG YANG KAU CINTAI... AYO NONA, LAKUKAN! SEKARANG!" Dengan teriakan keras, Tiffany meraih tebing dengan sebelah tangannya, lalu menggenjot tubuhnya ke atas, dan akhirnya ia berhasil menggapai pinggir jurang. Namun selang beberapa detik kemudian, Jaka terkulai hampir tak sadarkan diri. Tiffany lalu menarik tubuh Jaka yang setengah pingsan ke tempat yang lebih rata. Ia berteriak keras sambil berusaha membantu Jaka dengan melakukan bantuan pernapasan buatan berkali-kali. Tak lama kemudian bantuan pun datang, para penumpang bus wisata tampak berdebar ketakutan dan khawatir atas kondisi Jaka yang kritis. Jaka segera di bawa ke ruang operasi. Lebih dari enam Jam, Tiffany dan ibunya - juga beberapa yang lain menunggu hasil di luar ruang operasi. Dan mereka semua menangis bahagia mendengar kabar bahwa operasi berhasil - Jaka di nyatakan selamat--tiga peluru berhasil dikeluarkan dari tubuhnya. Sejak saat itu, wajah Jaka tak pernah hilang dari ingatan Tiffany--selalu menghiasi hari-harinya dalam lamunan kisah lama yang membekas dalam memori - hingga Lima tahun pun berlalu tanpa terasa.

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

30 Days to Freedom: Abandoned Luna is Secret Shadow King

read
307.5K
bc

Too Late for Regret

read
271.6K
bc

Just One Kiss, before divorcing me

read
1.6M
bc

Alpha's Regret: the Luna is Secret Heiress!

read
1.2M
bc

The Warrior's Broken Mate

read
135.8K
bc

The Lost Pack

read
374.6K
bc

Revenge, served in a black dress

read
144.1K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook