Langkah dan Janji

1025 Kata
Malam semakin pekat. Ombak kecil memecah dermaga, sementara angin laut membawa aroma rasa garam yang menusuk. Jaka berdiri tegap, wajahnya masih menyimpan ketegangan yang belum luruh. Helena, Freddy, dan Youngky menjaga posisi masing-masing, memastikan tidak ada celah bagi Petrus untuk melarikan diri lagi. Tak lama kemudian, suara deru mesin motor laut terdengar mendekat. Lampu sorot menembus gelapnya malam. Tim kepolisian setempat datang lengkap dengan pasukan bersenjata. Mereka turun dengan cepat, menyebar, dan mengamankan area sekitar. "Inspektur Jaka!" salah satu komandan tim menyapa sambil memberi hormat singkat. "Kami sudah terima semua laporan Anda. Lokasi langsung steril." Jaka mengangguk singkat. "Target utama--sang bos sindikat - Petrus - sudah kami amankan. Hati-hati, dia licik dan cerdik, bahkan sempat membuka borgol coba melarikan diri. Sekarang kondisinya luka tembak di kedua kakinya. Butuh penanganan medis segera." Dua polisi medis segera menghampiri, memberi perban sementara pada luka Petrus sebelum menyeretnya ke perahu pengangkut. Petrus hanya bisa menggeram marah, matanya penuh dendam dan kebencian, namun tak berdaya lagi. Borgol ganda mencengkeram erat pergelangannya. Helena menenteng sebuah tas hitam berisi dokumen dan uang. Ia menyerahkannya kepada tim forensik. "Barang bukti lengkap: senjata, obat-obatan terlarang, dokumen transaksi. Semua jelas mengarah ke sindikat Petrus." Freddy bersama Youngky berdiri di samping Jaka. wajah mereka tegang sekaligus puas. Misi ini berat, tapi sukses. Sebelum naik ke perahu untuk kembali ke markas, Jaka menatap laut Bunaken yang membentang indah. Kilauan cahaya bulan memantul di permukaan ombak, seperti menyimpan rahasia. "Ini serasa baru permulaan," gumamnya lirih. "Masih banyak tantangan yang lebih berat menunggu di depan." Helena yang berada di sampingnya mendengar samar-samar, lalu menatapnya serius dengan beribu makna yang sulit untuk di terka. "Maksudmu... kita harus siap menghadapi badai yang lebih dahsyat kan?" Jaka tersenyum tipis. "Kita selalu mengejar badai dan gelombang, Lena. Walau aku dan kamu adalah keduanya." Helena tersenyum manis, tangannya menyentuh lembut bahu Jaka, seperti sudah terbiasa. "Tapi gelombang yang kita hadapi tidak sebanding dengan namamu... Inspektur Jaka. Kau adalah badai gelombang yang sesungguhnya, aku bangga bersamamu, Kaka Jaka." Perahu melaju menembus ombak, sementara Youngky dan Freddy menempuh jalan darat dengan mobil melalui jalur yang mereka lalui sebelumnya. ***** Beberapa hari berlalu sejak operasi di Bunaken. Jaka sedang duduk di ruang kerjanya, map hasil operasi berserakan di meja, ketika seorang perwira datang membawa laporan media. Suaranya datar, namun kabar yang dibawa terasa menghantam kedalam jantung. "Inspektur... berita resmi sudah keluar. Brigadir Wildan ditemukan tewas di laut. Media menyebutnya pengkhianat, bekerja dengan sindikat, lalu dibunuh sendiri oleh sindikat karena dianggap berbahaya." Jaka terdiam. Jantungnya berdetak keras. Ia meraih koran yang disodorkan, matanya menatap tajam setiap baris kata. Foto Wildan terpampang, wajah sahabat yang ia kenal sejak remaja. Sahabat yang selalu teguh pada prinsip kejujuran dan keadilan. Tangannya mengepal, wajahnya tajam walaupun matanya berkaca-kaca, "tak mungkin... Wildan bukan seperti itu," gumamnya dengan suara bergetar menahan emosi dan kesedihan yang terasa pedih menusuk ke dalam hati. "Dia bukan pengkhianat. Ini semua... adalah fitnah keji." Helena yang masuk membawa laporan barang bukti menatap Jaka heran. "Kaka... apa Kamu mengenal Brigadir Wildan?" Jaka menoleh, matanya memerah. "Lebih dari sekedar kenal. Dia adalah sahabatku... seperti saudara. Kalau ada orang yang kupercaya saat ini, maka Wildan adalah salah satunya.... dan mustahil sosoknya akan bisa berkhianat pada negara ini." Hening menyelimuti ruangan. Freddy dan Youngky ikut masuk, wajah mereka ikut muram mendengar nama Wildan. Jaka berdiri, berjalan ke jendela. Ia menatap lurus ke arah langit yang mendung - seakan dari balik awan tergambar wajah sang sahabat. Ingatan masa lalu berkelebat--tawa mereka saat pendidikan, perjuangan bersama, keberanian, kejujuran, juga persahabatan yang terbentuk semenjak masih remaja - semua terasa baru. Namun waktu telah memisahkan sang sahabat. "Kalau media menyebutnya sebagai pengkhianat, maka ada tangan paling kotor yang bermain di balik semua ini," ucap Jaka perlahan tapi penuh keyakinan. "Aku berjanji pada diriku sendiri, aku akan buktikan kebenarannya. Akan ku bersihkan nama sahabatku dari fitnah yang tak bertanggung jawab. Siapapun mereka... aku akan kejar sampai kemana pun. Keadilan harus di tegakkan dengan kebenaran yang sesungguhnya." ***** Sementara itu, di gedung megah Mabes Kepolisian Ibukota., suasana ruang rapat utama terasa mencekam. Tirai tebal di tutup rapat, layar besar menampilkan grafik jaringan sindikat, dan di meja panjang duduk para petinggi kepolisian dengan wajah tegang. Kepala Staf Intelijen Pusat, Komisaris Jendral Hermanto, membuka pembicaraan dengan suara berat. "Rekan-rekan... kita menghadapi masalah yang sudah lama menjadi momok memalukan dalam institusi kita. Peredaran barang-barang terlarang, penyelundupan senjata ilegal, dan berbagai aktifitas gelap lainnya terus bergerak di bawah bayangan. Mereka tidak hanya beroperasi, tapi... sepertinya ada yang sengaja melindungi. Hukum seolah tak mampu menyentuh mereka." Beberapa perwira berpandangan, ada yang gelisah, ada pula yang menunduk, seakan sadar siapa yang telah bermain di balik layar. Komjen Hermanto melanjutkan sambil mengetuk meja. "Informasi yang kita miliki menunjukkan bahwa sindikat besar dI Asia Tenggara menjadikan negara kita sebagai salah satu jalur utama. Lebih parahnya lagi, ada indikasi kuat bahwa sebagian dari jaringan itu justru mendapat perlindungan dari oknum penegak hukum sendiri. Itulah sebabnya... banyak kasus berhenti di tengah jalan. Misteri yang tak bisa di pecahkan. Bahkan kasus keterlibatan almarhum Wldan menjadi tamparan bagi kepolisian - bisa saja salah satu atau lebih dari kita yang hadir di sini menjadi bagian dari penegak hukum yang curang." Salah satu perwira berpangkat Komisaris Besar angkat tangan, "Apakah benar - keterlibatan pejabat-pejabat hukum menjadi alasan mereka bisa bermain dengan aman, Jenderal?" Ruangan mendadak senyap. Komjen Hermanto menghela napas panjang. "Saya tidak bisa menuduh tanpa bukti. Tapi beberapa laporan intelijen--ada yang mengarah ke sana. Bukan hanya sindikat yang menjadi tantangan kita, tapi... musuh dalam selimut - para pengkhianat yang rakus yang ada dalam institusi kita ini--jauh lebih berbahaya." Wajah-wajah petinggi itu berubah serius. Ada yang merasa terancam, ada yang semakin gelisah - namun banyak juga di antara mereka yang tampak tenang dan santai seolah semua hanya angin lalu yang lewat sekejap. Suasana masih tegang ketika waktu sudah menunjukkan pukul dua belas siang, waktu istirahat telah tiba, para perwira bubar sementara, masing-masing tampak sibuk menuju ruang peristirahatan - beberapa orang terlihat berbisik sambil bergurau. Diantara mereka tampak juga Komisaris Besar Dito dan juga Inspektur Ferry - dua pelindung hukum yang menjadi antek dari sindikat. Keduanya terlihat santai dan berbicara dengan serius--seolah Wildan yang telah tiada menjadi bagian yang memalukan di institusi itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN