Obrolan Dua Sahabat

1023 Kata
Tiffany meletakkan gelas minumnya, lalu menatap Lisa. Dengan nada datar tapi menusuk, ia bertanya: "Lisa... memangnya orang yang dekat denganmu hanya Arif?" Pertanyaan itu membuat Lisa terdiam sesaat. Ia mengernyitkan dahi, mencoba mencerna maksud Tiffany. Lalu tiba-tiba bayangan muncul di kepalanya: sosok adiknya, Fariz, yang masih remaja berusia 17 tahun. Mata Lisa langsung melebar, lalu ia menutup mulutnya dan tertawa geli. "Fany! Maksudmu.... kau suka adikku si Fariz? kau aneh.... Fariz itu masih 17 tahun Fany...? kau suka sama brondong ya..." Lisa tertawa geli sambil memegang perutnya, tak menyadari wajah Tiffany sama sekali tak merasa lucu. Tiffany hanya tersenyum samar, tatapannya dalam, penuh misteri. "Pikiranmu sedang gendeng ya Lisa..." ucapnya tenang. Lisa berhenti tertawa perlahan, merasa ada sesuatu yang aneh. Senyum Tiffany terlalu serius untuk sebuah candaan. Jantungnya berdebar tak enak, seakan Tiffany benar-benar menyimpan rahasia besar yang belum terungkap. Lisa yang masih menahan geli membayangkan adiknya langsung terdiam - ketika mendengar nada suara Tiffany berubah meninggi. "Lisa... kamu tulalit atau pura-pura bodoh atau memang tolol... sejak SMA kita sudah berkawan... kau masih tak paham dengan maksudku?" Lisa mengangkat alis, menahan tawa, "iyalah... jadi siapa lagi Fany? jangan-jangan... jangan bilang yang aneh dong... kadang kamu memang beda - seleramu--" Belum sempat Lisa menyelesaikan kalimatnya, Tiffany mendengus kesal lalu menatap lurus sahabatnya itu. "Sekalian saja kau katakan, Lisa... seleraku adalah BAPAKMU!" Kalimat itu menghantam Lisa sejenak. Senyumnya lenyap seketika. Ia mengerti bahwa Tiffany benar-benar kesal dengannya. "A...apa?! jadi siapa yang kamu maksud?" Tiffany menatapnya tajam tanpa ragu, meski dalam dadanya sendiri ada pergolakan hebat. Bukan hanya sekedar kata-kata yang keluar sembarangan, tapi pengakuan yang sudah lima tahun ia pendam, akhirnya meledak keluar. Lisa masih terdiam, hatinya bergolak hebat. Kata-kata Tiffany masih terus terngiang--BAPAKKU? Tapi semakin lama ia renungkan, semakin ia sadar, Tiffany bukan sedang bercanda - tapi rasa kesal pada dirinya yang tak paham maksud sahabatnya itu. Perlahan Lisa menarik napas panjang. menatap tajam ke arah sahabatnya. "Tiffany..." suaranya rendah, nyaris berbisik. "Apa yang kau maksud ... pasti bukan bapakku kan? tak mungkin itu, kau sedang bercanda atau marah Fany...?" Tiffany tidak menjawab. Tatapannya justru semakin dalam, penuh dengan kekesalan. Saat itu juga, pikiran Lisa berputar cepat. Satu sosok muncul jelas dalam ingatannya: Jaka Permana--kakaknya. Detektif pemberani, panutan keluarga, kebanggaan siapapun yang mengenalnya, sosok yang lima tahun yang lalu menjadi legenda karena keberanian dalam menggagalkan aksi pembajakan bus pariwisata di kawasan Puncak. Dan Lisa ingat bahwa salah satu wanita yang di selamatkan oleh kakaknya adalah sahabatnya--Tiffany Henry. Tubuh Lisa kaku sejenak, seakan semuanya sudah jelas. Ia berbisik lirih, "aku sudah paham maksudmu Fany.... pasti dia kan? bang Jaka...? apa dia pria yang kau maksud? kau menyimpannya sejak lima tahun? dan baru memberitahu semuanya sekarang kepadaku?" Tatapan Tiffany melembut, tapi bibirnya tersenyum pelan, seolah tak ingin lagi menyembunyikan perasaannya. Ya Lisa... hanya dia. Hanya kakakmu... satu-satunya pria yang tak pernah hilang dalam memoriku sampai hari ini." Lisa terdiam. Ia tahu bahwa kakaknya Jaka masih berada di Sulawesi, meski ada kabar rumor yang beredar bahwa Jaka akan kembali bertugas ke ibukota. Perasaan campur aduk memenuhi hatinya--antara bingung, senang, terkejut, dan tak percaya. Namun tatapan Tiffany saat ini membuat Lisa yakin ada kesungguhan tercermin di sana. Tiffany menatap Hilda dengan kaget, ia tak menyangka sahabatnya akan terdiam antara percaya atau tidak. Dalam hatinya, ia sudah menyiapkan diri kalau Lisa akan marah, kesal, atau bahkan menjauhinya. Tapi kenyataannya berbeda--Lisa malah tersenyum tulus. "Kalau tentang bang Jaka, Fany... aku sangat setuju" ucap Lisa sambil menggenggam tangan sahabatnya. "Tapi, kamu tahu sendirikan--posisi kakakku itu dimana sekarang? Tiffani tersenyum dan mengangguk pelan tak menjawab. Lisa kembali melanjutkan pembicaraan, "Kakakku itu aneh... hatinya sulit untuk di tebak. Dari dulu, sejak lama sekali - banyak wanita yang suka padanya, tapi tak satupun yang bisa menyentuh hatinya." Lisa terdiam sejenak sambil menatap wajah Tiffany yang tampak serius mendengar ceritanya. "Tapi... kamu sangat cantik Fany... wajahmu itu seperti model, tak ada alasan pria manapun bisa menolakmu." Mata Tiffany sedikit berkaca-kaca, meski ia tetap tenang seperti biasanya. "Kau serius Lisa? atau hanya membuatku senang." Lisa mengangguk mantap. "Kalau bang Jaka benar-benar kembali kesini, aku janji padamu. Akan ku usahakan menyatukan cinta kalian berdua. Aku sangat bahagia kalau sahabatku yang baik hati akan jadi kakak iparku. Kita bukan hanya sahabat tapi adalah saudara." Senyum hangat perlahan merekah di bibir Tiffany. Untuk pertama kalinya, beban kerinduan yang ia simpan selama lima tahun terasa sedikit lebih ringan. Di antara riuh kampus, dua sahabat itu saling berpandangan--dengan sebuah janji yang tak terucap, bahwa cinta yang lama tersimpan akankah menemukan jalannya. ***** Di sebuah kawasan pinggiran kota Jakarta, berdiri sebuah rumah sederhana namun nyaman, dikelilingi oleh pepohonan rimbun dan jalan kecil yang tenang. Rumah itu adalah milik keluarga Ridwan. Di depannya terdapat sebuah minimarket kecil yang sudah bertahun-tahun mereka kelola. Minimarket itu terletak di persimpangan jalan, sehingga selalu ramai oleh tetangga sekitar maupun pengunjung yang kebetulan melintas. Pak Ridwan, pria berusia 50 tahun lebih, di kenal sebagai sosok pekerja keras sekaligus ramah kepada siapa saja. Ia tak hanya berdagang, tapi juga menjadi tempat curhat warga sekitar yang sering singgah membeli barang sambil berbincang. Sementara istrinya, Bu Dewi, seorang wanita penyayang, setia mendampingi suaminya. Dewi yang pandai mengelola rumah tangga membuat kehidupan keluarga kecil mereka tetap hangat meski serba sederhana. Dari pernikahan mereka hadir dua orang putra dan seorang putri. Anak sulung mereka, sosok yang namanya sudah dikenal di dunia detektif: Inspektur Jaka Permana, seorang detektif yang kini masih bertugas di luar daerah, penuh disiplin, berani, dan jadi kebanggaan keluarga. Anak kedua, Elisa, mahasiswi cerdas sekaligus sahabat dekat Tiffany. Ia mewariskan sifat lembut ibunya, tapi juga kadang bisa keras kepala jika menyangkut prinsip hidup. Dan si bungsu, Fariz, remaja SMA berusia 17 tahun yang masih lugu, penuh mimpi, namun pintar, dan juga disenangi oleh teman-temannya. Meski tak hidup bergelimang harta, keluarga Ridwan adalah potret keluarga harmonis. Mereka saling menyayangi dan percaya bahwa kehangatan dan kebersamaan jauh lebih berharga dari sekedar limpahan materi. "Keluarga adalah rumah bagi jiwa yang lelah, tempat beribu tawa menjadi do'a dan setiap pelukan menjadi kekuatan. Di sanalah cinta tumbuh tanpa syarat, sederhana namun hakiki. Tak perlu istana megah, cukup hati yang selalu menjaga. Di balik kebersamaan mengalir sungai seperti surga kecil yang tercipta untuk waktu yang lama" ****(
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN