Suasana GOR Nasional sore itu begitu riuh. Sorakan para suporter yang sudah berdatangan menggema, bendera-bendera kecil berkibar, dan dentuman musik penyemangat membuat udara semakin panas. Semua tertuju pada dua nama yang akan bertarung nanti malam.
Hari itu bukan sembarang hari. Tapi sebuah momen final perebutan medali emas kejuaraan nasional karate mahasiswa. Dan yang lebih istimewa, pertandingan kali ini mempertemukan dua sosok dengan reputasi yang kontras:
* Marta Sataru, sang juara bertahan tiga tahun berturut-turut. Wanita asal Ambon itu dikenal garang, berpengalaman, dan memiliki teknik mematikan. Namanya sudah menjadi legenda di arena karate nasional.
* Tiffany Henry, sang debutan cantik jelita. Untuk pertama kalinya ia berhasil menembus final. Banyak yang awalnya meremehkan, menganggap kecantikannya lebih cocok menghiasi panggung modeling, bukan atlit karate. Namun langkah demi langkah, ia membuktikan kualitasnya dengan menyingkirkan lawan-lawan tangguh, hingga kini berdiri gagah di final.
Di ruang konferensi pers, para jurnalis sudah memenuhi kursi, beberapa media tampak serius, kilatan lampu kamera siap menyorot, cahaya tak berhenti berpendar. Suasana begitu meriah, semua mata menanti pertandingan final yang di tunggu sebagai pertandingan karate terbaik nasional tahun ini.
Marta Sataru duduk di kursi pertama, tubuhnya tegap, berotot seperti atlit pria, rambutnya keriting, wajahnya penuh keyakinan. Dengan suara lantang dan penuh percaya diri, ia mengeluarkan statementnya di depan mikrofon:
"SAYA SUDAH TIGA TAHUN BERTURUT-TURUT MENJADI YANG TERBAIK, DAN MALAM INI TAK AKAN ADA PERUBAHAN. TIFFANY... DIA SANGAT CANTIK, BERBAKAT, TAPI... BAGI SAYA DIA LEBIH PANTAS MENJADI MODELLING - BERJALAN DI ATAS CATWALK DENGAN PAKAIAN SEXY, AKAN BANYAK YANG MEMUJANYA, ATAU MENJADI ARTIS SINETRON STRIPING. SAYA YAKIN , DIA AKAN JADI BINTANG DI SANA, TAPI MALAM INI--DIA MEMILIH KEPUTUSAN YANG SALAH. MENGHADAPI LAWAN SEKELASKU. AKU YAKIN, DIA AKAN TERKAPAR SEBELUM BEL TERAKHIR BERBUNYI."
Beberapa wartawan tertawa sambil menulis cepat di buku catatan mereka. Kalimat Marta terdengar begitu percaya diri, bahkan sedikit meremehkan.
Sementara itu, Tiffany duduk di kursi sampingnya. Wajahnya tenang, senyumnya ramah, tatapannya kalem namun penuh cahaya tekad. Ketika giliran mikrofon diberikan padanya. Ia berbicara dengan nada lembut namun jelas:
"SAYA SANGAT MENGHORMATI MARTA SATARU, DIA ADALAH SENIOR SAYA, DIA HEBAT, SAYA ADALAH PENGGEMARNYA DAN KAGUM DENGAN PRESTASI YANG TELAH IA UKIR. MARTA ADALAH PANUTAN DAN MOTIVASI BAGI ATLIT KARATE. TAPI, MALAM INI SAYA TETAP OPTIMIS, SAYA BANGGA BISA BERTANDING DENGANNYA. APAPUN HASILNYA, SAYA AKAN BERIKAN PENAMPILAN YANG TERBAIK."
Ruangan seketika hening beberapa detik, lalu tepuk tangan terdengar dari sebagian audiens, terutama para mahasiswa pendukung Tiffany. Perkataan Tiffany sederhana, rendah hati, tapi mengandung nada optimisme yang kuat.
Seorang jurnalis lalu bertanya:
"Tiffany, banyak yang mengatakan bahwa pertarungan ini sangat berat bagimu. Apakah kamu memiliki perasaan takut menghadapi Marta nanti malam?"
Tiffany tersenyum tipis, lalu menjawab:
"Takut? ya... mungkin perasaan itu ada, tapi saya percaya - keberanian adalah saat kita tetap berdiri walau ada rasa takut. Malam ini, saya akan berdiri dan berjuang sampai siapa yang akan tetap berdiri, kita lihat saja nanti."
Marta menatap Tiffany dengan senyum meremehkan. "Kau sangat cantik, tapi sayang sekali... arena ini bukan ajang model... wajah cantikmu akan babak belur nanti."
Tiffany tersenyum sejenak sambil menatap Marta, "kita lihat saja, pertandingan belum lagi dimulai."
Kata-kata itu membuat Marta melirik dengan senyum sinis, namun dalam hati, ada sedikit rasa tidak nyaman. Ia bisa meremehkan kemampuan, tapi sulit meremehkan keteguhan hati lawannya.
*****
Satu jam menjelang pertandingan final dimulai, halaman GOR Nasional mendadak riuh. Semua mata tertuju pada sebuah mobil mewah berwarna hitam metalik yang baru saja berhenti di depan pintu utama. Logo bintang di kap depan berkilau diterpa cahaya lampu sorot.
Pintu belakang mobil terbuka perlahan, menampilkan sosok wanita elegan berusia 45 tahun yang masih memancarkan pesona bak putri bangsawan. Dia adalah Nancy Purnama, sang triliuner wanita, ratu tekstil nusantara--yang namanya sudah lama menjadi sorotan media. Rambutnya tertata anggun, gaun berkelasnya memantulkan cahaya lampu kamera.
Di sisinya, keluar seorang pria muda, tampan, dengan tubuh tegap dan paras campuran eksotis Portugis-Ambon. Dia adalah Gilbert Roberto, suami Nancy yang sekaligus ayah tiri Tiffany. Wajahnya tampak tenang, penuh percaya diri, seakan terbiasa menjadi pusat perhatian publik.
Seketika itu pula, wartawan yang sejak tadi menunggu bergegas maju, mikrofon dan kamera diarahkan. Kilatan blitz bertubi-tubi menyambar wajah Nancy.
"Ibu Nancy! Apa pendapat Anda tentang final malam ini?"
"Apakah Anda yakin, putri Anda Tiffany bisa mengalahkan Marta sang juara bertahan?"
"Bagaimana perasaan Anda pada saat melihat putri Anda akan bertanding sebentar lagi? apakah Anda merasa takut atau bangga?"
Nancy hanya tersenyum anggun, memberi sedikit anggukan kepala, menjaga wibawa tanpa banyak bicara, "Saya percaya dengan Tiffany, dia pasti bisa," jawabnya singkat.
Sementara Gilbert, dengan gestur melindungi, menuntun Nancy melewati kerumunan wartawan menuju pintu masuk khusus VIP.
Di dalam GOR, suasana semakin panas. Ribuan penonton bersorak, beberapa layar besar sudah menayangkan siaran langsung dari kedatangan Nancy. Nama Tiffany kembali disebut-sebut dengan lantang oleh komentator.
Sementara itu, di ruang persiapan atlet, Tiffany yang tengah mengikat sabuk putih di pinggangnya menoleh sekilas ke layar televisi kecil. Ia melihat sosok ibunya tersenyum di hadapan kamera, berdiri di samping Gilbert.
Senyum tipis muncul di wajah Tiffany, namun matanya sedikit berkabut. Dalam hati ia berbisik: "Mama... aku akan buktikan malam ini, akan ku buat Mama bangga."
Suasana di dalam GOR Nasional semakin memanas. Riuh rendah suara penonton menggema, sorak-sorai bergemuruh menambah ketegangan menjelang pertandingan final.
Di sudut tribun timur, seorang gadis muda berambut panjang tergerai tampak bersemangat sekali. Dia adalah Lisa sahabat Tiffany sejak masih SMA. Ia berdiri, sambil melambaikan tangan, berteriak lantang:
"Ayo Fany! Kamu pasti menang! Aku percaya sama kamu!"
Tiffany yang tengah melakukan pemanasan di sisi arena sempat menoleh. Matanya bertemu dengan Lisa, senyum tulus pun terukir di bibirnya. Isyarat sederhana itu seakan menjadi tambahan energi untuknya menghadapi final besar malam itu.
Sorakan pendukung semakin membahana. Suporter dari kubu Marta bersorak sambil menabuh genderang kecil, meneriakkan yel-yel untuk juara bertahan mereka. Namun tidak sedikit pula penonton yang mulai memihak pada Tiffany, sang pendatang baru yang pesonanya mencuri perhatian sejak babak penyisihan.
Beberapa penonton pria bahkan berteriak ngawur, suara mereka menembus keramaian:
"TIFFANY! MENANG ATAU KALAH, KAMU TETAP MEMPESONA! AKU INGIN JADI PACARMU!"
"WOI TIFFANY! SETELAH SELESAI PERTANDINGAN INI! AKU AKAN MELAMARMU! KITA BULAN MADU KE BALI YA!"
"TIFFANY...! KALAU KAU KALAH! AKU AKAN JADI PELATIHMU! PERCAYALAH! KAU PASTI JUARA DAN SETELAH ITU, KITA JADI PASANGAN SEHIDUP SEMATI!"
Penonton pada tertawa, beberapa pria mengusik dengan siulan nakal. Namun Tiffany tetap menjaga fokus. Ia hanya menarik napas dalam, mengabaikan teriakan konyol itu. Tatapannya lurus ke arah arena, tubuhnya tegap, auranya seperti seorang petarung sejati yang siap menorehkan sejarah.