“Diam! Jangan kabur! Mulut kalian itu butuh dipukul dulu biar tahu rasa! Biar tahu cara jaga ucapan! Biar gak sembarangan bicara! Sini kamu, Val!” Aisu melotot pada Noval, memindahkan tangan kirinya pada leher gitar, mencengkramnya dengan kedua tangan agar daya pukul yang dia hasilkan besar.
“Aduh, Neng! Galak beenr sih, jadi wadon?! Kasar amat lu, sampe maen pukul segala!” Noval berusaha menghindari Aisu dengan berdiri.
Aisu yang ikut berdiri pun membuat Noval was-was. Noval berlari menghindar dari Aisu ke sisi-sisi ruangan. Mereka berdua main kucing-kucingan, tapi bagi Noval tidak menyenangkan dan tidak lucu, karena Aisu membawa gitar yang siap mencium wajahnya.
“Mati kamu, Val, di tanganku hari ini!”
“Wo-woi, Neng! Kalem, dong! Pan, bisa diomongin baek-baek! Neng Aisu!”
“Buat apa pakai mulut, kalau pakai tangan lebih manjur?!”
Swiiiiiing— bodi gitar sudah Aisu ayunkan, lalu—
Brakkk!
“Bujug busrak! Enyaaaaak!!”
Lantas pagi menjelang siang itu ditutup oleh teriakan Noval, dan Aisu yang menggebu memukulinya.
Matahari sudah lewat dari titik tegak lurusnya, hari sudah menjadi siang dan panas. Deka mencopot celemek cokelat putih belang-belangnya, melipat dan menaruhnya ke dalam loker baju di ruang karyawan toko roti Bunda. Deka juga membuka bajunya, tak menyangka mencuci wadah-wadah kotor, memindahkan bahan-bahan mentah dari gudang penyimpanan ke dapur, sampai menyapu halaman depan toko akan membuat keringatnya banjir dan membasahi seluruh kulitnya.
Mungkin yang Deka butuhkan saat ini adalah mandi dan segelas minuman dingin, tapi Deka tak punya waktu untuk menikmati hidup saat ini. Dia harus segera ke kafe Dinolatte, karena Iyo sudah mengirim pesan kalau dirinya sedang berada di jalan menuju ke sana. Sedangkan Irfan, tak ada kabar dari pagi, entah pergi ke mana.
Deka mengganti kemejanya dengan baju hitam polos, yang sesungguhnya adalah baju dalaman serep yang selalu dia siapkan di dalam loker baju. Yah, untuk persiapan kalau-kalau keringatnya membasahi pakaiannya, karena Deka sadar diri jika keringatnya bau, dan Deka pun tidak nyaman dengan keringat yang lama-lama akan terasa lengket di badannya. Deka itu menyukai kebersihan dan kerapian—beda sekali dengan seseorang.
Segera setelah mengganti baju dan mencangklong tas selempangnya, Deka menutup loker dan memakai helm sepedanya, lalu menarik gagang pintu, dan keluar dari ruang karyawan.
“Bu Nar, saya titip toko, ya,” pamit Deka pada Bu Nar yang sedang istirahat jam siang di dapur, memakan roti croissant bersama beberapa pekerja lain di dapur—yang tidak melulu terisi dengan mesin pemanggang dan noda karat di dinding, melainkan selalu dijaga bersih dan tetap putih; berkat siapa kalau bukan Deka?
“Sudah mau berangkat ke kafe, Bang Deka?” Bu Nar mengelap sudut bibirnya, bangkit berdiri.
“Iya, Bu. Eh, gak perlu berdiri. Bu Nar makan siang dulu saja.” Deka melirik roti yang sudah setengah habis di tangan Bu Nar. “Lho, hari ini cuma ambil satu, Bu? Kan, saya sudah bilang, setiap pegawai mendapat jatah dua. Bu Nar juga tahu, kan, memang sudah aturannya begitu dari dulu?”
Deka memutar tubuh ke depan muka toko. “Sebentar, Bu, saya ambilkan.”
“Eh, tidak usah, Bang Deka!” Namun Deka sudah hilang lebih dulu dari pandangan.
***
Di muka depan toko yang terdapat lemari-lemari etalase yang membingkai sisi ruangan, Deka mengambil nampan dan penjepit, lalu mengisinya dengan beberapa jenis roti yang diambilnya dari etalase, kemudian dia bawa ke meja kasir.
“Eh, Vinka,” sapa Deka, tak sadar kalau dari tadi Vinka membututinya dengan mata diam-diam. “Sudah istirahat belum?”
“Nanti, Bang Deka. Gantian dengan Bu Nar. Kalau bareng, kan, kasir gak ada yang jaga.”
Deka mengangguk. Posisi Vinka yang sedang duduk di kursi tinggi yang disediakan toko untuk Bu Nar, menjelaskan rasa penasarannya. “Minta plastik roti, Vin.”
“Eh, iya!” Vinka tersadarkan dari pandangannya dan memberikan beberapa plastik pembungkus roti pada Deka. Deka yang langsung memasukkan roti-roti itu ke dalam plastik, membuat Vinka ingin tahu.
“Bang Deka… mau bekal roti ke kafe?” tanyanya.
“Ngapain? Enggak, lah. Ini buat Bu Nar.”
“Oh— sini, biar saya bantu!” Vinka mengambil senjata andalannya—pencapit miliknya—dan ikut mengulurkan tangan, dan tumpukan roti itu pun satu per satu jadi rapi di dalam plastik bening. “Omong-omong, Bang Deka.”
“Ya?”
“Bang Deka benaran gak ada masalah apa-apa?” Vinka bertanya dengan hati-hati.
Deka tersenyum, agak mendengus dan hampir tertawa sebenarnya. “Tanya itu lagi? Kan, kamu sudah tahu jawabannya.”
Vinka mengangguk, merasa tidak enak. “Iya, sih, tapi… ekspresi Bang Deka dari tadi pagi kelihatan murung. Jadi kupikir, ada apa-apa. Benaran gak ada masalah, Bang Deka?” tanya Vinka lagi.
“Hahaha. Iya, gak ada. Tenang saja.” Deka tersenyum. “Tolong ambilkan plastiknya juga, ya.” Entah Deka mengubah haluan topik atau tidak, disengaja atau tidak, Vinka mengangguk saja, memilih sigap memberi plastik pada Deka layaknya sedang melayanii pelangggan.
“Terlalu besar. Yang kecil saja, lima,” pinta Deka lagi. Vinka salah mengambil ukuran plastik jinjing.
“Ini.”
“Nah,” puas Deka, saat Vinka memberikan ukuran plastik yang tepat, paling kecil yang tokonya punya.
Setelah membungkus tiap-tiap plastik dengan dua roti bermacam rasa dan jenis, Deka membawa kelima plastik itu kembali ke belakang toko, mengangkatnya tinggi memberi kode pada Vinka untuk mengatakan, “Makasih, ya!”
“Eh, lho, Bang Deka—” Deka sudah menghilang ke belakang toko saat Vinka memanggilnya. Waktu Vinka ingin menyusul Deka, tiba-tiba Vina mendengar bunyi lonceng yang berdenting.
Cling!
Vinka menoleh kepada pintu toko yang menampilkan dua orang lawan jenis yang tampak serasi dan memiliki suatu hubungan. “Selamat datang,” sambut Vinka ramah, tentu dengan senyuman panjang.
Si wanita berambut panjang yang berpakaian formal tapi terkesan imut karena pakaiannya berwarna merah muda, tersenyum menunjukkan deretan gigi putihnya, membalas sapaan basa-basi si pegawai toko roti, “Iya, terima kasih.”
Bergeser pada lelaki di sebelahnya, yang lengannya diamit oleh si wanita, pakaiannya pun formal dan cocok dengan wajah asing-lokalnya. Dengan kata lain, di mata Vinka, lelaki itu tampan. Si wanita pun cantik dan jelita.
Mereka berdua adalah pasangan yang serasi, pikir Vinka, menakhodai kapal mereka berdua.
“Aku dengar dari teman-temanku, toko roti di sini rasanya lumayan enak, lho!” Si wanita terlihat gembira, persis seperti anak kecil berusia tujuh tahun yang dibawa ke toko mainan.
Imut, pikir Vinka, dan mungkin juga begitu pikir si lelaki yang digandeng si wanita.
“Ayo pilih, setelah itu kita temui ayahmu.” Si lelaki mengambil nampan dan capitan yang tersedia di ujung etalase.
Kesigapannya terhadap perkataan si wanita membuat Vinka berdebar, merasa terpesona sekaligus iri. Dan tentu saja, membuat Vinka tanpa sadar menonton gelagat pasangan itu, melupakan apa yang ingin dia bicarakan dengan Deka.
“Iya, tentu saja! Oh, bantu aku memilih rotinya, ya, Hideaki-san!”
***
Di dapur toko. Sesaat setelah Deka pergi mengambil roti dan mengobrol dengan Vinka.
Bu Nar kembali duduk di kursi besi lipat bersama rekan kerja—yang jauh lebih muda dan seumuran dengan anaknya—yang duduk melingkari meja stainless steel, yang sama-sama sedang istirahat makan siang.
“Sudah, gak apa, Bu. Bang Deka memang begitu orangnya, kan?” Salah satu rekan kerjanya mencoba menghibur Bu Nar yang menghela napas—padahal bukan karena hal buruk.
“Iya. Disiplin dan taat aturan. Kalau sudah dewasa nanti, Deka pasti jadi orang sukses. Tipe-tipe bos galak tapi perhatian. Hahaha.” Reyo, salah satu pegawai yang bertanggung jawab mengolah adonan dan membuat kue, mahasiswa Tata Boba tingkat akhir yang sedang cuti, menggeleng-geleng sambil tertawa.
Sisa pegawai yang lain juga ikut tertawa. Sedangkan Bu Nar, mengembuskan napas lagi, “Hhhh. Saya sudah cukup makan satu roti, kalau dua kebanyakan. Mubazir.”
“Yah, kan, bisa dibawa pulang, Bu.”
“Iya, sudah rezeki.”
“Bisa untuk anak-anak Ibu di rumah. Terima saja, Bu. Jangan sungkan. Nanti dikira orang, Ibu menolak uang ratusan juta karena terbebani, lho,” komentar Reyo lagi.
“Wah, kalau dikasih uang sebanyak itu mah, siapa yang bakal nolak, Reyo?”
“Hahaha.”
“Eh, benar juga!” Reyo menepuk keningnya sendiri. “Tapi, benar, deh,” pancingnya, memulai pembicaraan dan menjadi pusat perhatian semua orang. “Deka hari ini kayaknya lebih banyak melamun dan gak fokus bekerja. Waktu sedang cuci piring tadi, Deka sampai gak sadar kalau lubang wastafelnya tertutup plastik wrap, dan air keran yang masih menyala sampai memenuhi wastafel dan bikin dapur banjir bandang!”
Penjelasan hiperbolanya itu mengundang tawa lagi. “Oh, iya! Aku sampai hampir terpeleset waktu ingin menaruh cucian piring!”
“Yah, kalian enak. Lah, aku yang mengepel sisanya, karena kalian berdua menyuruh Deka untuk mencuci piring saja dan menyerahkan lantai yang basah padaku. Enggak adil.”
“Hahaha. Sudah, Bang, gak apa-apa. Abang rajin, kok.”
“Bukan masalah rajin atau gak rajin, tapi aku bukan office boy!”
“Ya ampun, Bang. Masalah kebersihan itu tanggung jawab bersama. Jangan pilih-pilih begitu, dong.”
“Iya! Bang Deka yang job desk-nya hanya menata dan merapikan etalase, mau-mau saja mencuci wadah bekas adonan kue. Padahal Abang juga tahu, kan, kalau kadang terigu yang menempel di wadah itu gak mudah hilang?”
“Nah! Kadang harus direndam dulu biar gak melukai mangkuk stainless steel-nya!”
“Alah. Bilang saja kalian memang gak mau mengepel! Gak mau kena basah dan mengurus yang ribet-ribet,” gerutunya.
“Nah, itu Ahang paham!”
“Kan, enak, kalau pengertian!”
“Hahaha!”
“Apaan? Mengada-ngada saja kamu, Reyo!” Mbak Erin cemberut. “Namanya stainless steel, ya, berarti tidak mudah kena tempel noda! Kamu, kan, cuma gak mau disuruh mengepel saja. Pakai alasan segala!”
“Nah, itu Mbak Erin tahu,” sombong Reyo, memeletkan lidah.
“Hahaha.”
“Dasar, kalian!”
“Aduh, gimana, sih, Mbak Erin? Gitu saja sudah ngambek.”
Bu Nar menggeleng dibuatnya. Topik obrolan dengan pemuda memang penuh energi dan suasana komedi. Berbeda jika berbicara dengan teman-teman Bu Nar, ataupun tetangga-tetangganya, yang pasti topik pembicaraannya tidak jauh dari anak, masalah keuangan, suami, sampai masalah tetangga lain yang sifatnya menjengkelkan hati.
“Lho, pada menertawakan apa, nih?” Deka tahu-tahu sudah kembali. Di kedua tangannya tercantel bungkus-bungkus plastik berisi masing-masing dua roti.
“Ah, ini, Bang Deka. Masalah yang tadi pagi!”
“Iya. Kau ingat gak, Deka?”
“Masalah yang tadi pagi?” Deka menaruh plastik-plastiknya ke atas meja stainless steel.
“Iya, masa, sudah lupa?”
“Hahaha. Lucu banget! Ada yang ngedumal gara-gara kamu!”
“Hah? Gara-gara aku?” Deka mengernyitkan dahi. Sedang ketiga pegawai yang bekerja di dapur tertawa terbahak, dan salah satu yang lain memanyunkan bibir. Lain halnya, Bu Nar menggeleng mafhum saja pada tingkah anak-anak muda itu.
“Memang aku ngapain Mbak?” tanyanya lagi, pada satu-satunya perempuan dalam tim penanggung jawab dapur.
“Lho, kamu gak ingat yang tadi pagi, Bang Deka?”
“Waduh, jahat banget!” komentar Reyo. “Tadi pagi itu, luberan air keran yang sampai membanjiri dapur, yang kau enggak sengaja sumbat saluran pembuangan wastafelnya, itu Mbak Erin yang mengepel lantai!”
“Eh, iya!” Deka terlihat salah tingkah dan merasa bersalah. “Yang tadi pagi terima kasih, ya, Mbak Erin. Maaf, sudah ceroboh dan bikin Mbak Erin bekerja dua kali. Besok saya akan lebih hati-hati.”
“Ayo, lho, Mbak Erin! Anak pemilik toko sampai minta maaf, tuh!”
“Hahaha!”
“Wah, apa ini pertanda kalau posisi ketua tim pindah ke aku, ya?” Reyo tampak percaya diri. “Aku bakalan jadi chef pastry dalam waktu dekat, nih? Wah, enggak sabar!”
Bu Nar menggeleng-geleng lagi. “Kalian ini, kalau bercanda jangan keterlaluan,” peringatnya lembut.
“Tahu, nih! Mbak Erin jahat banget!”
“Ayo, lho, Mbak Erin!”
“Ayo, lho!”
Reyo dan kedua rekan sesama lelakinya saling kompak memojokkan Mbak Erin, perempuan 27 tahun yang menekuni tata boga sejak SMP dan menjadi pattissier secara alami (telah mengikuti sejumlah kompetisi membuat kue dan mendapatkan sertifikat ahli) yang juga berperan sebagai chef pastry di toko roti Bunda itu.
Sedangkan Mbak Erin, tentu mulai merasa panik dan semakin tidak enak pada Deka, anak si pemilik toko roti tempatnya bekerja. “Tapi maksudku, kan, bukan seperti itu! Kalian yang lebih dulu menilai tindakanku sebagai keluhan!”
“Lho, memangnya bukan, Mbak?”
“Ayo, lho, Mbak Erin!”
“Aduh, aduh. Lempar batu sembunyi udang.” Reyo menggeleng-geleng, pura-pura serius.
“Sembunyi tangan, Bro!” Salah satu rekannya mengoreksi.
“Ah, iya. Maksudnya itu.” Reyo mengedikkan bahu. “Ayo, lho, Mbak Erin~”
Kaum lelaki di sana menggoda Mbak Erin—kecuali Deka yang menyengir-nyengir saja, tidak mengerti pada situasinya. Sedangkan Bu Nar, masih sama, memperingati rekan kerja yang dianggapnya sebagai keluarga dan anak, untuk tidak berlebihan. “Hei, ayo, kalian jangan begitu.”
“Aku bukan mengeluh karena Deka! Tapi karena kalian yang gak mau membantu dan mencari-cari alasan! Dasar!” Mbak Erin betulan sewot.
“Sudah, sudah. Kenapa jadi meributkan saya?” Deka tertawa, dan bunyi krasak plastik yang dia bawa mengundang perhatian semua pegawai.
“Ini untuk Bu Nar bawa pulang.” Deka menyerahkan salah satu kantung plastik pada Bu Nar, yang tentu saja ditolak olehnya.
“Tidak usah, Bang Deka! Ibu, kan, sudah bilang tidak usah.”
“Gak apa, Bu.” Deka memaksa telapak Bu Nar untuk terbuka, supaya telinga kantung plastik yang dia paksakan untuk Bu Nar genggam dapat berpindah tangan. “Untuk dibawa pulang, Bu. Maaf, ya, saya cuma kasih dua roti saja.”
“Aduh, saya yang gak enak, Bang Deka. Setiap hari sudah dijatahkan dapat dua, tapi malah dibungkuskan lagi untuk dibawa pulang. Maaf, Bang Deka.” Bu Nar terlihat bersalah.
“Eh, apanya yang maaf?” Deka pura-pura marah. “Kalau mendapat rezeki itu ucapnya terima kasih, Bu. Memangnya Bu Nar membuat kesalahan apa? Sudah, bawa pulang, ya, jangan ditaruh lagi di etalase.”
Bu Nar tersenyum lemah, pasrah pada anak pemilik toko tempatnya bekerja yang keras kepala—dalam hal baik tentu saja. “Terima kasih, Bang Deka.”
“Ah, Bu Nar ini. Bilang terima kasihnya satu kali saja.” Deka membalas senyuman Bu Nar.
“Eh, Bu Nar saja, nih, yang dikasih, Bang Deka?”
“Ekhem, ekhem!” Reyo berpura-pura terbatuk. Akting yang payah.
“Aduh, tiba-tiba perutku lapar!”
“Hahaha. Ada, kok, untuk semuanya.” Deka mengangkat plastik-plastik itu, membanggakannya pada mereka. “Ini, satu-satu untuk kalian bawa pulang. Cuma dua, sih, tapi semoga bisa mengganjal perut, deh.” Deka membagikan kelima kantung plastik itu pada mereka, yang disambut dengan senyum gembira.
“Wah, makasih banyak, lho, Bang Deka!”
“Asyik, menu makan malam!” seru Reyo.
“Hah, makan malam?” tanya salah satu pegawai.
“Iya, maklum, lah. Mahasiswa di akhir bulan. Hehe.” Reyo menyengir saja.
“Alah, mahasiswa apaan? Sudah bangkotan begitu mana mungkin mahasiswa?”
“Tahu! Malu sama wajah!” ledek kedua rekannya.
“Enak saja! Aku cuma lagi cuti saja!” bela Reyo.
“Cuti, cuti! Cuti melahirkan, maksudnya?”
“Woi!”
“Hahaha!”
Semuanya tertawa kecuali Reyo yang mencoba membela dirinya, dan tentu harga dirinya sebagai mahasiswa semester tujuh yang malah memutuskan untuk mengambil cuti, bukannya bimbingan skripsi.
“Hahaha. Karma, tuh.” Mbak Erin membalas ledekannya untuk Reyo. Lantas suasana semakin meriah dan berisik, penuh dengan candaan dan suara tawa.
Sebelum semuanya semakin seru dan tidak ada waktu untuk kabur, Deka pemit pergi. “Sudah, ya, aku pulang duluan. Habis ini ada kerja sambilan di kafe.” Deka mengeratkan tali tas selempangnya. “Oh, iya. Mas Reyo dan teman-teman boleh pulang setelah menyiapkan adonan kue untuk besok, ya. Seperti biasa, dilihat dulu hasil penjualan hari ini dari bon kasir. Yang tidak terjual banyak hari ini, kurangi adonannya.”
“Siap, Bang Deka!”
“Sip, Bang Deka.”
“Oke! Seperti biasa, Deka!”
“Baik.”
Deka melambai seraya berbalik. “Terima kasih, semuanya. Saya pamit dulu, ya. Bu Nar, saya titip toko, ya.”
Bu Nar mengiyakan, dan keempat pegawai penuh suasana riang itu membalas lambaian sambil sekali lagi berterima kasih dan memuji kebaikan Deka.