“Oh, iya. Mas Reyo dan teman-teman boleh pulang setelah menyiapkan adonan kue untuk besok, ya. Seperti biasa, dilihat dulu hasil penjualan hari ini dari bon kasir. Yang tidak terjual banyak hari ini, kurangi adonannya.”
“Siap, Mas Deka!”
“Sip, Mas Deka.”
“Oke! Seperti biasa, Deka!”
“Baik.”
Deka melambai seraya berbalik. “Terima kasih, semuanya. Saya pamit dulu, ya. Bu Nar, saya titip toko, ya.”
Bu Nar mengiyakan, dan keempat pegawai penuh suasana riang itu membalas lambaian sambil sekali lagi berterima kasih dan memuji kebaikan Deka. Selama Vinka berdiri di kasir dan menunggu roti-roti untuk ditaksir, matanya mengikuti perbincangan si lelaki dan wanita setiap mengitari etalase satu per satu. Ketika si wanita bertnnya pendapat si lelaki mengenai roti apa yang menurutnya enak, si lelaki berwajah datar saja, tapi dari ekspresinya, Vinka tahu kalau si lelaki sedang serius membaca kartu informasi tentang nama roti, harga, dan secuil penjelasan.
Dalam arti yang singkat, Vinka tahu, kalau si lelaki menaruh perhatian pada pertanyaan si wanita meski ekspresinya tampak tak tertarik sama sekali.
Setelah bingung memilih dan mengambil-menaruh roti, akhirnya si wanita cantik itu sudah menentukan pilihannya. Sekarang pun, wajah si lelaki sudah kentara merasa jengkel pada kelabilan wanitanya, walau tak ditampakkan terang-terang.
Vinka mengembangkan senyumnya saat mereka berdua menuju kasir. Lalu si wanita menaruh nampan rotinya ke atas meja. “Sudah semua? Ada tambahan lain, Kak?” tanya Vinka ramah.
Sedang si lelaki berdiam diri saja, si wanita membalas senyuman. “Iya, itu saja. Oh, boleh tolong dibungkus pakai tas kertas? Kalau pakai plastiik—”
“Hahaha!”
“Bukan masalah rajin atau gak rajin, tapi aku bukan office boy!”
“Nah! Kadang harus direndam dulu biar gak melukai mangkuk stainless steel-nya!”
“Alah. Bilang saja kalian memang gak mau mengepel! Gak mau kena basah dan mengurus yang ribet-ribet.”
“Nah, itu Ahang paham!”
“Kan, enak, kalau pengertian!”
“Hahaha!”
“Apaan? Mengada-ngada saja kamu, Reyo! Namanya stainless steel, ya, berarti tidak mudah kena tempel noda! Kamu, kan, cuma gak mau disuruh mengepel saja. Pakai alasan segala!”
“Nah, itu Mbak Erin tahu.”
“Hahaha.”
“Dasar, kalian!”
“Aduh, gimana, sih, Mbak Erin? Gitu saja sudah ngambek.”
—kalimat si wanita terpotong oleh obrolan dari belakang toko, membuat baik Vinka maupun sepasang kekasih itu saling bertatapan sembari terpaksa mendengar kebisingan yang tak terduga tersebut.
“Ah— mohon maaf, Kak.” Vinka tersenyum, merasa bersalah.
“Eh, gak apa-apa! Gak masalah, kok. Malah sepertinya hal baik kalau teman-teman satu kerjaan jadi akrab.” Si wanita tersenyum lembut, menenangkan Vinka yang merasa tidak enak. Sedangkan si lelaki, ya, tidak banyak bicara ataupun membuat ekspresi muka.
Sembari Vinka menaksir harga, tangannya cekatan memasukkan roti-roti itu ke dalam plastik bening seukuran roti. Vinka menyebutkan harga yang mesti dibayarkan, lalu si lelaki lebih dulu menyerahkan kartu debitnya, membuat perdebatan kecil yang menggemaskan antara si lelaki dan si wanita yang memaksa dirinyalah yang harus membayar.
Kartu itu sempat tertahan di jemari Vinka—tertunda karena perdebatan yang membuat Vinka ragu ingin menggesek kartunya. Karena si pria memaksa wanitanya sekaligus Vinka untuk segera menyelesaikan transaksi, Vinka mengamini dan mencetak bon.
Vinka menyerahkan kartu sekaligus tas kertas berlogo toko roti tersebut pada si wanita. Tetapi lagi-lagi, tindakan si lelaki membuat kedua kaum Hawa di sana terpesona. Si lelaki mengambil alih, menenteng belanjaan yang tak ada berat-beratnya itu. Memang bukan hal yang spesial dan berarti sekali, tapi jsutru karena hal-hal kecil itulah yang membuat wanita pasangannya semakin jatuh hati.
“Terima kasih. Silakan datang kembali.” Vinka mengantar kepergian mereka dengan sapaan khas bisnis.
Bersaman dengan mereka yang berbalik, Deka muncul dari tirai cokelat tebal yang memisahkan bagian belakang toko dengan muka depan toko, yang pantas saja obrolan orang-orang di dapur toko tadi terdengar sampai depan, karena memang pembatasnya hanya kain tipis saja.
“Eh, Vin, ada pembeli barusan?” Deka menyibak tirai dengan cengiran yang membentang di wajahnya. Deka menoleh pada pintu toko yang terdapat dua orang lawan jenis dewasa yang baru saja keluar dengan tentengan di tangan si lelaki.
“Iya, Bang Deka.” Vinka mengangguk. “Habis mengobrol apa, Bang Deka? Kayaknya seru sekali, ramai-ramai di belakang. Suaranya nyaring sampai sini dan kedengaran sama pengunjung tadi, lho, Bang Deka.”
“Oh, ya? Haha. Maaf, maaf.” Deka tertawa kecil. Vinka mendapati rona wajah Deka kembali segar. “Biasa, Vin. Bang Reyo sama Mbak Erin berantem lagi.”
“Ah… hahaha. Sepertinya Bang Reyo lagi pendekatan sama Mbak Erin, Bang Deka. Tahu sendiri, lah, mereka dari dulu gimana.”
Deka dan Vinka kemudian saling tertawa, terlebih karena mengingat kelakuan Bang Reyo dengan Mbak Erin yang selalu bertolak belakang dan saling memperdebatkan semua masalah. Maka, setiap Bang Reyo dan Mbak Erin berdebat, semua karyawan tahu kalau Bang Reyo hanya ingin cari-cari perhatian saja pada Mbak Erin.
“Saya jadi heran,” —Vinka berbisik pada Deka— “kenapa Bang Reyo masih belum menyatakan perasaannya, ya? Padahal sudah hampir dua tahun mereka saling menggoda begitu.”
Deka mengenyir saja. “Yah, namanya juga lelaki. Kami punya alasan tersendiri, Vin.”
“Eh, gaya banget?” goda Vinka.
“Hahaha,” tawa Deka. “Oh, iya. Kalau mau pulang, kamu bungkus dua roti lagi, ya, untuk dibawa pulang. Teman-teman di belang dan Bu Nar sudah aku bungkuskan. Kamu bungkus sendiri saja, ya, Vin. Maaf, aku gak sempat.”
Melihat Vinka berekspresi tidak enak dan menunjukkan tanda-tanda akan menolak, Deka langsung menyerobot, “Ambil saja, gak usah sungkan. Kalau kamu menolak, rasanya malah gak adil. Semua dapat, tapi cuma kamu saja yang gak dapat. Nanti orang-orang malah mengira aku pilih kasih, lagi. Bawa pulang, ya!”
Deka berjalan dari pojok konter toko menuju pintu kaca. Dilihatnya, di depan toko roti bundanya terdapat seorang wanita yang berdiri di sebelah mobil sedan hitam mahal.
Deka yang penasaran—dan terpana melihat parasnya yang mengingatkan Deka pada seseorang, jika menggambarkannya dengan kata “cantik”—tak sadar termangu menatapnya. Vinka yang menyadari Deka yang diam saja memegangi gagang pintu kaca, mengikuti arah pandang Deka yang berlabuh pada si wanita yang tadi dilihatnya.
Melihat si wanita sendirian, berdiri di sebelah mobil yang sepertinya terkunci, Vinka bertanya pada dirinya sendiri, “Lho? Kakak itu kenapa sendirian? Pacarnya ke mana?”
“Eh, apa?” Deka menoleh pada Vinka—sebenarnya tak sadar juga jika dirinya terbengong di tempat.
“Oh, enggak. Kakak itu yang tadi beli roti sama pacarnya, tapi sekarang dia sendirian. Saya mau tahu, pacarnya pergi ke mana, meninggalkan perempuan cantik seperti kakak itu.”
“Oh, ya? Pasangan kekasih kencan ke toko roti? Gak biasanya,” terka Deka. Sekarang, Deka dan Vinka sama-sama sedang mengamati si wanita yang bermandikan cahaya panas matahari siang hari.
“Tapi kasihan sekali kakak itu, Bang Deka. Panas-panas begini, masa, ditinggal di luar ruangan? Kalau itu mobil cowoknya, seenggaknya kakak itu disuruh masuk dan menunggu di dalam mobil dengan AC yang sejuk, kan? Bukannya ditinggal sendiri dan dibiarkan berpanas-panasan di bawah sinar matahari langsung.” Vinka menghela napas pelan, menumpu dagu dengan kedua tangan yang bersimpuh di meja. “Aduh, sayang sekali. Padahal tadi cowoknya kelihatan keren dan ganteng banget, tapi sikapnya yang membuat perempuan harus menunggu, jadi poin minus bagiku.”
Deka menaikkan sebelah alis, hampir tertawa pada penilaian Vinka. “Tumben kamu membicarakan laki-laki, Vin? Biasanya cuma curhat soal tugas-tugas kuliahmu ke Bu Nar ataupun padaku. Kamu tertarik sama si pacar perempuan itu?”
“E-eh, mana mungkin!” Vinka menyangkal dengan wajah yang memerah. “Saya— saya cuma kagum sama lelaki tadi, kok! Mana mungkin tertarik sama pacar orang! I-itu namanya tidak sopan dan tidak tahu diri, Bang Deka!”
Deg!
Deka membulatkan mata sepersekian detik. Tubuhnya serasa kena setrum saat mendengar kalimat Vinka, yang seolah menegaskan hal yang Deka tahu betul.
Kalau tertarik dengan pacar orang itu tidak sopan dan tidak tahu diri, lalu bagaimana dengan tertarik dengan calon istri orang? Haha. Tidak tahu malu banget kamu, Deka, batin Deka untuk dirinya sendiri.