46. Vinka, Deka, dan Ubaraga

1259 Kata
“Tumben kamu membicarakan laki-laki, Vin? Biasanya cuma curhat soal tugas-tugas kuliahmu ke Bu Nar ataupun padaku. Kamu tertarik sama si pacar perempuan itu?” “E-eh, mana mungkin!” Vinka menyangkal dengan wajah yang memerah. “Saya— saya cuma kagum sama lelaki tadi, kok! Mana mungkin tertarik sama pacar orang! I-itu namanya tidak sopan dan tidak tahu diri, Bang Deka!” Deg! Deka membulatkan mata sepersekian detik. Tubuhnya serasa kena setrum saat mendengar kalimat Vinka, yang seolah menegaskan hal yang Deka tahu betul. Kalau tertarik dengan pacar orang itu tidak sopan dan tidak tahu diri, lalu bagaimana dengan tertarik dengan calon istri orang? Haha. Tidak tahu malu banget kamu, Deka, batin Deka untuk dirinya sendiri. Hhhh. Tidak ditegaskan seperti itu oleh Vinka pun, mestinya Deka sudah tahu. Walau konteks Vinka saat ini bukan menyinggung masalahnya, tapi ucapan Vinka menusuk tepat di hatinya. “Eh, Bang Deka kenapa?” Vinka mengibaskan tangan di depan Deka. “Kenapa tiba-tiba bengong dan kelihatan… sedih gitu?” “Ah…” —Deka menghindari tatapan— “e-enggak kenapa-kenapa. Cuma… mendadak teringat sesuatu.” “Teringat sesuatu? Wah, tunben sekali? Memang, apa yang Bang Deka sempat lupakan?” Pertanyaan Vinka mungkin hanya sekadar basa-basi semata, dan Deka tahu itu. Tapi rasanya… apa yang sempat aku lupakan? Apa pertanyaan Vinka berarti aku tidak pantas melupakan kenyataan itu? “Bang Deka? Bang Deka!” “A-ah, iya?!” “Tuh, ayo! Bang Deka bengong lagi, tahu!” Wajah Vinka dibuat-buat terlihat marah dengan kedua tangan berada di pinggang. “E-eh, enggak, kok. Bukan apa-apa.” Deka mengibas-ngibaskan kedua tangan, menghalau kecurigaan Vinka pada ekspresi dan gelagatnya, sekaligus kabur dari mata Vinka yang memicing. “Bang Deka benaran gak ada masalah apa-apa?” Nada Vinka terdengar seperti orang yang khawatir, berbeda dengan nada marahnya barusan. Deka pun merasakan tatapan Vinka berubah serius dan sendu dalam satu waktu. Itu membuat Deka tersenyum dan mengencangkan tali tasnya, bersiap pergi. “Tentu aku baik. Memang ada alasan untuk merasa sedih?” Deka memakai helm sepedanya, mengepaskan tali yang melewati kedua daun telinganya. “Sudah, ya, aku berangkat dulu. Oh, jangan lupa bungkus roti bagianmu untuk dibawa pu—” Ting! Ting! Ting! Terdengar bunyi notifikasi ponsel yang lumayan nyaring, sangat nyaring bahkan. Deka menoleh cepat pada Vinka saat matanya sudah berbelok ke pintu kaca. "Vinka," tegur Deka. Vinka langsung salah tingkah saat ditatap deka, tentu karena tertangkap basah mengantungi ponsel saat sedang bekerja. Vinka menyengir tiga jari. "A-ah, a-anu, Bang Deka. Eh-hehe. Maaf, Bang Deka." Vinka kalah oleh pandangan mata Deka. Dia mengeluarkan ponsel seludupannya dari saku celemek dengan wajah memerah. “Maaf, Bang Deka,” ucapnya sekali lagi. Deka menghela napas, melepas gagang pintu, memaklumi senyuman itu tapi memilih menegur karyawannya sejenak sebelum pergi. "Sudah peraturan kalau sedang jam bekerja, karyawan dilarang memakai ponsel dan gawai pribadi.” “Iya, Bang Deka, maaf.” Vinka menunduk malu. “Eh… tapi, kan, sekarang sedang jam istirahat makan siang. Jadi… kesalahanku saat ini gak terhitung, kan?” Vinka menyengir lagi, mengandalkan wajah cerianya. “Tapi sekarang kamu sedang jaga konter, Vinka,” debat Deka. “Yah, tapi, kan, toko rotinya sedang tidak ada pelanggan,” balas Vinka. “Hhhh.” Deka menghela napas tipis. “Kaum Hawa kenapa pandai sekali mencari alasan, ya?” katanya retorik. Deka melirik ponsel di tangan Vinka. “Siapa yang mencarimu siang-siang begini?" Mendadak, Vinka tampak gelisah dengan wajah yang memerah. "Ah, bu-bukan cowok, kok, Bang Deka! I-ini teman sekelompok saya di kampus. Dia me-menanyakan soal tugas bagian saja." Deka memicing, melupakan tujuan awalnya harus cepat-cepat pergi ke kafe Dinolatte. “Jadi yang mencari kamu itu laki-laki?” tanyanya. Tentu membuat Vinka semakin salah tingkah. “A-ah, bu-bukan! Bu-bukan, bukan! Bang Deka salah paha m!” Vinka melarikan manik matanya ke segala arah, menghindari tatapan Deka. “E-eh— i-ini— ini,” —Vinka terlihat tak dapat menang dari mata Deka— “ini— ini bukan aplikasi kencan, kok, Bang Deka!!” teriak Vinka tiba-tiba. Hening melanda beberapa waktu. Deka berkedip-kedip, tak menyangka jawaban Vinka akan datang setidakterduga itu hingga membuatnya lengah. “E-eh?” “Hah?” Mereka berdua saling berpandang, menatap dalam tebakan yang serupa tapi berbeda yang biasa disebut sebagai salah kira. “...aplikasi… kencan?” tanya Deka, masih mengedip-ngedipkan matanya tak paham macam orang linglung. “E-eh, bukan! Bu-bukan gitu! Ma-maksud saya bukan ap-aplikasi kencan!” Sementara Deka terbengong, Vinka terlihat seperti pihak yang tertangkap basah berselingkuh menghubungi lelaki lain. “Ah… aku memang gak masalah dengan kehidupan pribadi orang lain.” Deka mengangguk-angguk, mengerti akan situasi Vinka atas pemahamannya sendiri. “Tapi kalau urusan pribadi, sebisa mungkin jangan dibawa ke tempat kerja, ya, Vin. Atau, kamu bisa menghubungi pacarmu nanti saat sedang istirahat atau tidak bertugas di belakang kasir.” “Ba-Bang Deka! Tunggu!” Vinka berusaha menghentikan Deka yang sudah akan mendorong pintu kafe lagi. “Sudah saya bilang bukan! Ini cuma— cuma aplikasi kencan saja, Bang Deka!” “Gak apa-apa, kok, Vin. Sudah, ya, aku berangkat dulu.” Deka mendorong gagang pintu. Lonceng di atas bingkai pintu berguncang dan berbunyi. Dentingnya bersamaan dengan Vinka yang berteriak— Cling! “Bang Deka! Tunggu! Ini cuma aplikasi Ubaraga!” Deg! Deka serta-merta berhenti. Kedua matanya membulat. Kepalanya perlahan-lahan menoleh ke belakang, kembali pada wajah Vinka yang memerah karena mencoba menjelaskan situasi memalukan itu kepada Deka. “A-apa?” gumam Deka, tak percaya pada apa yang telinganya dengar. “Saya bilang bukan begitu! Ini— ini cuma aplikasi kencan Ubaraga saja! A-ah, tapi— tapi bukan kencan yang seperti itu! Ini cuma— cuma semacam… aplikasi yang sedang terkenal dan banyak penggunanya! Saya cuma… kebetulan mengunduhnya dan—” “DAN?! DAN APA?!” “Hiiiih???!” Vinka terkejut, sangat, karena Deka mendadak muncul di depan wajahnya. Maksudnya, Deka tahu-tahu ada di depan meja konter dengan wajah yang erat-erat memandangnya—melototinya—dan ekspresinya tampak kaget. Namun, Vinka yang melihat itu tentu terkejut. Lebih-lebih karena melihat wajah Deka yang hanya beberapa senti dari matanya, adalah karena perubahan ekspresi Deka saat ini tampak gelisah dan… ketakutan. Maka, Vinka putuskan, tak ada waktu bagi wajahnya untuk memerah dan bagi jantungnya untuk berdegup tak karuan! “Dan apa? Kamu kenapa?!” serobot Deka panik. “E-eh, maksudnya… kenapa, Bang Deka?” tanya Vinka ragu-ragu. Menatap raut wajah Vinka yang kebingungan membuat Deka sadar, bahwa kelakukannya saat ini membuat Vinka tidak nyaman. Deka kembali berdiri sempurna, melegakan tenggorokannya dengan berdeham berkali-kali, lalu bertanya dengan nada yang lebih santai dan tenang, “A-apa yang terjadi selanjutnya?” “Y-ya? Maksudnya gimana, Bang Deka?” Dalam kepalanya, Vinka memiliki asumsi sendiri, sampai warna buah pemikirannya itu terciprat pada mukanya—merah. Melihat bagaimana gerak-gerik Deka yang malu-malu menyampaikan kalimatnya, yang sedikit-sedikit menggaruk tengkuknya, dan yang sekali-sekali menghindari tatapannya dengan wajah bersemburat merah, asumsi Vinka semakin menjadi. Perutnya pun mendadak geli. A-apa jangan-jangan Bang Deka… “Vi-Vinka,” panggil Deka, merasa gugup. “Ya-ya, Bang Deka?” jawab Vinka malu-malu. “Aku mau tanya soal aplikasi itu….” “E-eh? Iya, bo-boleh, silakan.” Glek. Vinka menelan ludah. Deka menaikkan wajahnya, menatap Vinka dengan mata yang sayu dan dengan wajah yang memerah malu. Sedangkan Vinka, melihat pemandangan di depannya itu membuat tubuhnya panas dan dadanya terdengar gaduh dan berisik. “Apa…” —Vinka masih tidak siap dengan pertanyaan Deka, dan jantungnya tak mau tenang juga— “apa… kamu pernah… mimpi jadi laki-laki setelah mengunduh aplikasi itu?” Vinka melongo menatap Deka yang masih tampak malu-malu dengan wajah yang semakin merah. … … … … “...eh... gimana, Bang Deka?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN