“Aku mau tanya soal aplikasi itu….”
“E-eh? Iya, bo-boleh, silakan.” Glek. Vinka menelan ludah.
Deka menaikkan wajahnya, menatap Vinka dengan mata yang sayu dan dengan wajah yang memerah malu.
Sedangkan Vinka, melihat pemandangan di depannya itu membuat tubuhnya panas dan dadanya terdengar gaduh dan berisik.
“Apa…” —Vinka masih tidak siap dengan pertanyaan Deka, dan jantungnya tak mau tenang juga— “apa… kamu pernah… mimpi jadi laki-laki setelah mengunduh aplikasi itu?”
Vinka melongo menatap Deka yang masih tampak malu-malu dengan wajah yang semakin merah. “...eh... gimana, Bang Deka?”
Giliran Vinka yang mengdip-ngedipkan mata, tidak menanggap maksud Deka—atau sebenarnya kecewa karena ucapan Deka tak sama seperti apa yang dia harapkan.
“Kamu pernah, gak?” tanya Deka lagi.
“A-apa? Mimpi… jadi apa?” Entah mengapa Vinka merasa seperti habis ditolak, meski tak menyatakan apa pun.
Melihat reaksi Vinka, Deka mengatupkan bibirnya yang tak sadar terbuka dari tadi. Dia lalu menggeleng, menggaruk lehernya. “Ah… enggak, enggak apa-apa. Lagi pula itu, kan, cuma mimpi.” Deka lalu bergidik geli, membuang bayangan yang sekali lagi muncul dalam kepalanya—bentuk tubuh perempuan yang tadi malam muncul dalam mimpinya.
“Arrrghh! Jangan pikirkan itu, Deka!” Deka menggeleng-geleng lagi, kali ini lebih kuat, sampai membuat Vinka mengernyit heran.
“Bang Deka… kenapa, sih, dari tadi?” tanyanya penasaran, menjurus merasa aneh pada anak pemilik toko. “Kayaknya, masalah Bang Deka berat sekali, ya, sampai… kayak gitu,” gumam Vinka.
“Hah? Kayak gitu gimana, maksud kamu?!”
Melihat Deka agak menaikkan nadanya, Vinka salah tingkah, tak tahu jika gumamannya terdengar sampai ke Deka. “E-eh, enggak! Maksud saya— ya… Bang Deka… sampai— eh… ke-kewalahan gitu…?” Vinka saja tidak yakin dengan perkataannya sendiri.
Deka masih menatapnya, perlahan memicing, mencari kebenaran meski sudah memiliki kecurigaan pada Vinka. Vinka pun akhirnya mengalihkan topik pembicaraan supaya mata Deka terlepas dari raut wajahnya.
“Ba-Bang Deka ternyata menyunduh aplikasi Ubaraga juga? Wa-wah, saya gak menyangka, lho!”
Deka mengernyit. “Aplikasi Ubaraga? Apaan, tuh?”
“Eh?” Vinka ikutan mengernyit. “Lho, tadi, kan, Bang Deka bertanya soal itu? Kenapa sekarang malah pura-pura gak tahu? Ah, jangan-jangan… Bang Deka….”
“A-apa?” Keadaan berbalik. Sekarang malah Deka yang berada di posisi Vinka beberapa waktu lalu; serasa sedang diinterogasi.
“Bang Deka ada janji kencan, ya, hari ini?!” tebak Vinka, berbinar menatap Deka.
“Eh?” Deka melongo. Ternyata dugaannya tidak seperti pemikiran Vinka.
“Eh?” Vinka ikut melongo. “Lho, terus…,” Vinka menggaruk pipi, “Bang Deka… buat apa mengunduh aplikasi Ubaraga?”
“Hah?” Deka masih tenggelam dalam lamunannya. “E-eh, apa? Si-siapa yang bilang aku mengunduhnya?”
“Lho, tapi tadi ucapan Bang Deka seperti orang yang punya dan tahu sekali tentang aplikasi Ubaraga?”
“E-enggak, tuh?” Deka menghindari tatapan. “Siapa juga yang punya aplikasi kencan kayak gitu?!”
Vinka memicingkan mata dan tersenyum penuh tipu daya. “Eh~ kalo Bang Deka gak punya aplikasi Ubaraga, kenapa tahu, kalau aplikasi Ubaraga itu aplikasi kencan?”
Deka membuat wajah terkejut, kedua bola matanya membulat menatap Vinka. Bingo! Kena kamu, Bang Deka! Haha, batin Vinka.
“Tuh, lihat muka Bang Deka! Kelihatan kaget dan mirip orang yang tertangkap basah begitu? Bang Deka punya aplikasi kencan Ubaraga, kan!”
“A-apa, sih, e-enggak!”
Vinka dapat melihat warna merah pada kedua pipi Deka. “Hahaha! Kalau enggak punya, kenapa tergugu gitu, Bang, ngomongnya? Kayak kelihatan sekali kalau sedang menutup-nutupi sesuatu, tahu!”
“Buat apa menutup-nutupi sesuatu? Aku— aku cuma sedang main gim, lalu tiba-tiba iklan aplikasi itu mendadak muncul saja! Jadi… jadi, aku—”
“Hahaha!” Vinka meledakkan tawa. “Tuh, kan! Bang Deka ternyata betulan mengunduh aplikasi kencan itu? Benaran?! Hahaha! Kenapa gak jujur saja dari awal, Bang Deka? Kalau susah payah menutup-nutupi seperti itu, kan, kesannya kayak ada sesuatu. Haha. Aku tidak menyangka, kalau Bang Deka tertarik juga mencari pacar!”
Sementara Vinka terus menertawakannya, Deka tanpa sadar memanyunkan bibir, ngambek pada entah apa; Vinka yang dapat menebak raut wajah dan membongkar kebohongannya? Pada dirinya sendiri yang tidak bisa menyembunyikan sesuatu? Atau pada penyesalan yang baru saja datang, karena sudah tergoda mengunduh aplikasi kencan Ubaraga tersebut, bahkan sampai membuat ponselnya nge-hang sesaat.
“Di-diam, kamu, Vinka!” Deka beranjak pergi, mengencangkan kaitan tali tasnya, mengambil ancang-ancang. “Su-sudah dulu, ya, aku berangkat.” Akhirnya, Deka hanya bisa membawa perasaan malu dan tidak kerennya itu pergi saja keluar dari toko roti, untuk saat ini menjauh dari Vinka yang mendadak menggodanya terus.
“Berangkat ke mana, Bang Deka? Menemui teman kencan Abang? Hahaha.”
“Apaan, sih, kamu?!”
“Hahaha! Habis, Bang Deka lucu sekali, tahu!”
“Su-sudah diam! Cepat kembali kerja!”
Melihat tingkah Deka yang baru pertama kali Vinka lihat, membuatnya merasa ingin terus menggoda Deka dan membuat Deka semakin salah tingkah.
Ting!
Deka menarik gagang pintu, lonceng di atas bingkau pintu berdenting nyaring. Dia pergi dari toko roti dengan wajah memerah tersipu, meninggalkan suara cekikikan yang masih terdengar dari belakang punggung.
Ingin berbalik dan marah, tetapi karena teringat akan sesuatu, Deka berbalik dan memanggil Vinka dengan raut wajah yang ajaibnya sudah kembali sedia kala.
“Vinka,” panggil Deka di mulut pintu, dia menahan daun pintu agar tidak menutup lebih dulu.
“Eh, iya, Bang, kenapa lagi?” Vinka segera menghabiskan tawanya saat melihat diri “Deka” sudah kembali seperti semula.
“Aku mau tanya,” kata Deka.
“Oh… iya? Silakan?” Vinka menjawab ragu, karena tak tahu maksud Deka yang mendadak terlihat serius itu.
“Aplikasi Ubaraga itu… aplikasi apa sebenarnya?” tanya Deka.
“Sebenarnya?” Vinka mengulangi. “Ya, aplikasi… kencan?” Entah sebab apa, Vinka pun terdengar ragu di telinga Deka.
“Benaran aplikasi kencan?”
Vinka mengernyit. “Kenapa, Bang Deka? Bang Deka tidak mendapatkan teman kencan yang Bang Deka suka?” godanya lagi.
“Ah, bukan….” Tapi respons yang Deka berikan berbeda dari beberapa saat lalu. Roan merah tidak lagi mendiami kedua pipinya. Ini berarti Deka sedang bicara serius pada Vinka.
Vinka menelan ludah. Nada jenaka dan kalimat candaan lain sudah dia telan habis. “Eh, terus kenapa, Bang Deka?” tanyanya lagi, kali ini lebih serius.
“Ah, begini….” Deka terlihat gelisah dan tidak yakin untuk menceritakan masalah dirinya. “Ubaraga itu… aplikasi yang bagaimana?”
“Eh? Iya?” Vinka mengernyit, dan hanya mendapati raut wajah serius dari Deka. Dia pun memilih menjawab saja. “Mungkin Bang Deka belum tahu, tapi Ubaraga itu aplikasi kencan yang sedang tenar di kalangan anak muda, sepertinya buatan orang luar negeri karena nama pengembangnya pakai bahasa asing yang saya sendiri kurang tahu dari negara mana.”
“Aplikasi kencan?” Pertanyaan Deka mendapat anggukan dari Vinka. Deka pun menggeser tatapannya pada lantai, termangu pada pikirannya sendiri sambil sesekali mengangguk-angguk.
“Apa kamu juga pakai aplikasi itu, Vin?” tanya Deka.
“E-eh… anu—” Pertanyaan mendadak itu membuat Vinka tidak siap untuk menjawabnya. Dia harus menjawab seperti apa?? “Eh… Bang Deka… kenapa menanyakan itu?”
Deka, sekali lagi, membuat ekspresi serius seperti ada hal penting yang ingin dia sampaikan. Dan Vinka, sekali lagi termakan buaian dan dalam dadanya muncul detakan-detakan cepat yang menggelitik dan tidak perlu.
“Aku….” Vinka mendengarkan Deka cermat-cermat. “Apa kamu—” Detakan dalam dadanya semakin membuat wajah Vinka memerah, terlebih tatkala Deka mendekat dan berbisik dengan suara yang pelan dan menusuk lembut kalbunya.
“Apa kamu… pernah bermimpi jadi laki-laki dan… punya itu?”
Vinka, sekali lagi, sukses melongo geram. “…hah?”
Ah, Deka! Sia-sia saja!