Aisu berubah terkejut dan hilang akal. Ah… mungkin memang ada rahasia yang Papa dan Mama sembunyikan dari keduanya, sekaligus dari Aisu dan Ami.
Aisu merasa semakin hancur. Aisu yang baru menyadari kemungkinan tersebut, tubuhnya terasa lemas dan tak bertenaga. Tetapi, Aisu tak mengikuti keinginan ototnya untuk duduk terjatuh di lantai.
“Erika… cintanya sudah habis.”
Ah, Aisu mendadak mengingat ucapan Papa dua malam yang lalu saat Aisu hendak mengagetkannya.
“Bisa bicara dengan Erika?”
Dan tiba-tiba saja, penelepon dua sore lalu yang mencari mamanya, yang memanggil nama Mama tanpa embel-embel “Bu” atau “Ibu” atau apa pun, melintas dalam pikirannya.
Apa alasan bagi kedua orang tuanya untuk sampai pada keputusan berpisah? Dipikir dengan kemungkinan apa pun, Aisu tak menemukan alasan yang tepat. Aisu tak menemukan jawaban yang masuk akal. Sungguh, orang tuanya, Papa dan Mama, terlihat baik-baik saja dan tidak pernah bertengkar. Mereka berdua, ya, sama seperti pasangan yang saling mencintai pada umumnya. Baik-baik saja dan harmonis. Sungguh.
Aisu mengusap wajahnya kasar, memaksa air matanya untuk berhenti, sekaligus memilih untuk berhenti memikirkan hal-hal yang berhubungan dengan formulir permohonan cerai talak milik Mama, hubungan Papa dan Mama yang mungkin memang sedang tak baik, dan nasib Ami dan dirinya yang jika benar di masa depan akan menghadapi sebuah perceraian kedua orang tua—mengalami broken home.
Aisu tersedu, sudah tak menangis lagi tapi tenggorokannya masih kembang kempis seperti kesulitan bernapas. Dia berjalan ke lorong menuju dapur, berdiri di depan wastafel, membuka keran dan mencuci wajahnya. Aisu membuang seluruh cairan pada mata dan hidungnya.
Memikirkan gumaman Papa, suara lelaki di telepon rumah yang mencari Mama dan memanggil mamanya dengan nama secara kasual, hingga memikirkan sebab, penyebab, dan titik terang di balik apa yang terjadi pada hubungan Papa dan Mama, membuat Aisu lelah dan sangat sedih. Aisu bahkan masih tidak menemukan jawaban atas di mana letak kesalahan hubungan orang tuanya.
Mata berkelopak hitam yang tampak lelah karena terlalu sering bergadang itu menjadi kemerahan dan bengkak. Hidung yang dibubuhi banyak noda bintik cokelat itu juga memerah seperti badut. Aisu beranjak setelah mencuci wajah dan menutup keran. Dia tak membasuh air yang menempel dan menuruni wajah ke ujung dagunya. Aisu membuarkan tetes-tetes air jatuh ke lantai di sepanjang kakinya melangkah.
Sempat melirik jam dinding di ruang tamu—yang menunjukkan pukul sepuluh lewat—saat berjalan kembali ke lorong, Aisu mengambil tas ranselyang teronggok di lantai, menyampirkan di kedua bahu, dan tak lupa menenteng gitar tua Papa yang dirusaknya itu.
Aisu terdiam dulu memandang gitar Papa, membayangkan wajah Papa ketika memainkannya, serta membayangkan Papa yang memetik senar-senar itu. Ada gejolak di hatinya yang mendorong Aisu untuk menangis lagi, tapi kemudian emosi itu berubah menjadi amarah yang menggoda Aisu untuk membanting gitar ataupun memukul gitar Papa ke dinding, lantai, pintu,atau mana pun sampai rusak tak berbentuk.
Namun, Aisu terlalu lemas untuk melakukan salah satu di antara itu semua. Lagi pula, jam sudah menunjukkan pukul sepuluh lewat sepuluh. Aisu akan terlambat jika dia tidak segera berangkat ke kampus. Maka, disudahinya perasaan murung yang memberati hatinya—untuk sementara—lalu Aisu melangkah keluar rumah, mengunci pintu, dan pergi berangkat ke kampus.
Diperjalanan menuju kampus, di dalam angkot hijau yang tidak terlalu ramai, Aisu duduk di bagian paling belakang, tepat di sebelah jendela belakang angkot guna mengamankan gitar Papa dari kaki dan tangan orang lain dan supaya tidak menghalangi jalan keluar masuk juga. Selama empat puluh lima menit lebih, Aisu hanya menatap ke lantai besi bergelombang angkot, tapi ajaibnya Aisu tak melewatkan kampusnya.
Setelah badan angkot berhenti di depan kampus, Aisu berhanti-hati membawa gitarnya turun. Membayar sejumlah uang, Aisu segera berjalan masuk ke dalam area kampus swasta yang mahal dan memiliki arsitektur seperti gedung mal itu.
Kampus seperti biasa ramai oleh mahasiswa-mahasiswi yang berlalu lalang. Maklum saja, karena jam-jam seperti ini adalah jam istirahat jeda antarkelas, juga jam-jam para mahasiswa yang kedapatan kelas siang datang. Tapi Aisu merasa, dibanding waktu pertama dirinya tiba tadi pagi, sekarang jauh lebih ramai.
Tanpa basa-basi dan mampir-mampir, Aisu langsung pergi ke gedung fakultasnya yang berada di ujung kampus; gedung keempat setelah taman pusat kampus. Dan selama menempuh jalan yang lumayan jauh itu, Aisu tidak sadar kalau dirinya banyak dilirik oleh orang-orang di sekitarnya. Bukan karena wajahnya yang memerah khas sekali seperti orang habis menangis, melainkan karena gitar yang senarnya putus yang Aisu bawa ke mana-mana itu. Terlebih lagi, bisa jadi mereka merasa aneh pada Aisu yang membawa gitar tanpa menggunakan tas gitar untuk memudahkannya.
Orang awam yang tak tahu menahu tentang seluk-beluk gitar dan alat musik, boleh jadi berpikir, kalau Aisu hanya sedang membawa gitar rusak milik temannya—atau begitulah. Namun, orang yang sudah pekat dengan musik dan alat-alat musik, mungkin sedang meledek Aisu kampungan, norak, atau yang semacamnya.
Tentu saja mereka akan menganggap begitu, karena pakaian Aisu yang keren dengan jaket kulit dan membawa—menenteng—gitar malah terkesan seperti orang yang berusaha terlihat keren dan badass tapi norak, karena membopong-bopong gitar seperti seorang pemula yang kebelet tenar.
Namun Aisu tidak terlalu mempedulikannya. Alam bawah sadarnya teringat, bahwa dia tak boleh terlambat masuk kelas. Sepuluh menit lagi sudah hampir jam sebelas siang. Aisu membawa gitar rusak milik Papa masuk ke lobi, menaiki lift ke lantai empat, memasuki salah satu ruang kelas yang masih sepi orang, memilih kursi di paling pinggir supaya dapat menyandarkan gitar—menyembunyikannya—dan mengikuti perkuliahan hingga hampir dua jam ke depan.
***
Ketiga ibu tersebut masih membahas perkara yang Deka, Vinka, dan Bu Nar tak ketahui. Objek pembicaraannya pun tak mereka kenal, tapi terpaksa harus mendengarkannya selama ketiga ibu berpakaian modis dan wangi itu berkeliling di dalam toko dan memilih roti yang akan mereka beli.
Bu Nar memanggil Deka yang tanpa sadar terbengong—lagi—saat nampan-nampan roti yang mereka bawa terlalu penuh dan rotinya saling bertumpukan. “Bang Deka, tolong bantu sebentar,” pinta Bu Nar.
“A-ah, baik, Bu.” Deka tak jadi membantu mencuci bekas wadah-wadah di dapur toko. Dia dengan sigap mengambil nampan yang ibu-ibu itu bawa dan mengantarkannya ke konter toko untuk dihitung oleh Bu Nar.
“Mbak Vinka,” panggil Bu Nar. Dan Vinka pun tahu perannya. “Iya, Bu.” Vinka sudah kembali berdiri di sebelah Bu Nar, siap membungkus roti-roti yang usai dihitung Bu Nar ke dalam plastik-plastik transparan dengan logo toko roti Bunda di tengahnya.
Mereka bertiga seketika melupakan apa yang beberapa waktu lalu mereke dengar, karena sekarang sudah sibuk bersinergi melakukan tugas masing-masing. Bu Nar dan Vinka di belakang konter, sedang Deka mengoper nampan yang penuh roti ke hadapan Bu Nar.
Saat tiga nampan menggunung itu sudah berpindah ke kasir, ketiga ibu tersebut masih mengintip ke etalase, seperti mencari sesuatu atau hanya sekadar penasaran pada roti-roti kecokelatan dan berkilau yang terlihat manis dan menggiurkan itu.
“Mas, tolong bantu boleh?” Salah satu ibu itu menunjuk etalase, memberi kode pada Deka. Deka pun mengambil nampan dan pencapit makanan yang memang disediakan bagi para pengunjung untuk mengambil roti mereka.
Menilai bagaimana sikap ibu yang memanggilnya, Deka seakan tahu kalau ibu tersebut ingin dilayani. “Boleh, silakan. Ibu mau ambil yang mana?” tanya Deka ramah.
“Ini, Mas. Tiga croissant dan lima cheesecake…” —ibu itu tampak kesulitan membaca nama tulisan yang tertanda di ujung kotak nampan etalase— “slice…?”
“Ya, baik.” Deka membuka tutup etalase, menggesernya ke atas, mengambil roti yang diinginkan ibu itu.
Sementara Deka membantu mengambilkan roti, kedua ibu yang lainnya ikut melihat-lihat dan merasa penasaran juga.
“Wah, beli roti lagi, Bu? Bukannya kita sudah beli roti yang cukup untuk acara pertunjukan musik dan seni?”
“Sepertinya ada sisa juga. Murid-murid di kelas anak kita hanya dua puluh dua anak, lho. Apalagi, kan… Ami tidak masuk.”
“Ah, benar juga.”
Entah karena alasan apa, Deka tak mengerti kenapa ketiga ibu itu tiba-tiba jadi sendu lagi. Apa karena si Kak Aisu dan Ami itu? pikir Deka. Hentikan, Deka. Gak baik menguping pembicaraan orang.
Ah, tapi bukan salah Deka juga, sih. Ibu-ibu itu saja yang berbicara—bergosip—dengan suara yang kencang di ruangan yang kecil. Ya, mau tak mau, orang-orang di dalamnya akan mendengar pembicaraan mereka, kan?
“Sudah, gak apa-apa. Lebihnya bisa untuk guru-guru dan murid kelas lain.” Ibu itu menunjuk nampan yang Deka pegang. “Anakku yang paling besar suka kue yang rasa keju. Mumpung di sini, jadi sekalian beli. Ibu-ibu tidak sekalian beli? Toko roti di sini ramai dan enak, lho, Bu.”
Ketiga ibu-ibu muda itu lalu saling berdiskusi dan memilih-milih roti di dalam etalase. Deka dengan sabar menemani dan mengambil roti-roti pilihan mereka, walau lebih banyak menahan jengkel karena ketiga ibu itu sangat labil dan perhitungan.
Setelah beberapa lama dan setelah mengitari etalase berkali-kali, ketiga ibu itu akhirnya sudah menentukan roti yang akan mereka beli untuk keluarga di rumah. Deka mengoper tiga nampan yang berisi lebih sedikit roti pada Bu Nar, dan Vinka tentu masih setia di sebelah Bu Nar untuk membungkus roti yang mereka beli.
Deka berjalan ke dalam konter, menunggu bekas nampan roti dan pencapit makanan yang akan Deka bawa sekalian ke dapur. Selama menunggu, Deka memandang jemari Bu Nar yang menekan-nekan tombol di mesin kasir, juga pada tangan Vinka yang cepat sekali membungkus belasan roti itu. Bergeser lagi, di depan Deka terdapat tiga tas kertas besar dengan logo toko roti Bunda, yang Deka tebak adalah milik masing-masing ibu tersebut.
“Belinya banyak sekali, Bu. Ada acara, ya?” tanya Bu Nar, berbasa-basi.
“Eh, iya, Bu. Acara pertunjukan musik dan seni di TK anak-anak kami,” balas salah satu di antara mereka.
“Wah, anak-anak TK, kan, sedang manis-manisnya.” Bu Nar tersenyum lebar.
“Iya, Bu. Mereka kelihatan lucu memainkan alat-alat musik dibantu dengan guru. Habis jeda istirahat siang nanti akan ada acara utama, semacam paduan suara dengan kostum daerah.”
“Mereka lucu dan gemas sekali, Bu.” Ibu yang lain mengeluarkan ponselnya, menunjukkan foto-foto di dalam galeri. “Coba lihat ini, Bu. Ya ampun, menggemaskan sekali, kan? Kostum mereka lucu dan kebesaran, haha.”
“Ah, anak saya malah main-main saat di foto.”
“Anak saya malah memejamkan mata, tuh, sedang tidak siap difoto.”
Bu Nar dan ketiga ibu-ibu muda itu lalu membicarakan tentang perkembangan anak-anak mereka, latihan alat musik yang anak-anak mereka jalani selama kurang lebih satu bulan, hingga melenceng pada makanan kesukaan anak-anak mereka karena kemampuan berbicara Bu Nar yang supel dan ramah—atau hanya karena memang begitulah ibu-ibu, jika sudah berkumpul dan membahas anak, maka durasi obrolan akan panjang dan berbelit.
Sementara itu, Deka dan Vinka menyimak saja, atau kadang-kadang akan saling memandang dan tersenyum-senyum kecil. Dan perbincangan mereka dihabiskan oleh Bu Nar yang menyebutkan nominal harga yang mesti masing-masing mereka bayar. Setelah berterima kasih dan sedikit berbasa-basi, ketiga ibu itu pun pergi keluar. Bu Nar, Deka, dan Vinka mengantar kepergian mereka dengan senyum bisnis yang ramah.
“Sini, Vin. Biar aku bawa ke dapur.” Deka meminta nampan kotor di hadapan Vinka. Dilihatnya, Bu Nar masih memandang keluar jendela toko, pada ibu-ibu muda tadi yang berjalan menjauh. “Ada apa, Bu?” tanya Deka, penasaran pada tingkahnya.
“Ah, enggak, Bang Deka. Mengobrol dengan mereka, Ibu jadi teringat anak-anak Ibu sewaktu kecil dulu saja.” Mata Bu Nar tampak berbinar. Deka dan Vinka yang melihat itu ikut mafhum. Bu Nar yang sudah seumuran bunda Deka, pasti anak-anaknya ada yang seumuran dengan Deril ataupun Diksi—sudah dewasa dan di atas dua puluh tahun.
“Saya kurang tahu, sih, tapi kata orang-orang, masa-masa dahulu memang momen terbaik, Bu,” aku Vinka. “Saya juga merasa, kalau masa kanak-kanak saya adalah waktu yang paling menyenangkan dalam hidup saya.” Vinka tertawa.
Bu Nar tertawa kecil. “Kalau sudah dewasa, memang banyak kewajiban dan tanggung jawabnya, ya. Ibu juga senang dengan masa kanak-kanak Ibu dulu. Zaman itu memang serba sulit dan belum canggih seperti sekarang, tapi sangat menyenangkan. Ibu menimba air di sumur kalau mau mandi, pergi ke sungai untuk mencuci baju, mencari kayu bakar setelah pulang sekolah, bahkan ikut memandikan kerbau milik ayahnya teman Ibu. Hahaha.”
Mata Bu Nar kembali berbinar, tapi kali ini entah mengapa terlihat sendu. “Ibu juga mengerti, kalau masa kanak-kanak adalah waktu yang paling menyenangkan, karena tidak bisa diputar kembali, tanpa beban, tanpa tanggung jawab yang rumit, dan karena orang-orang dewasa tidak memberi tahu kenyataan-kenyataan pahit tentang kehidupan.”
“Ah, Bu Nar benar sekali! Hahaha. Rasanya masuk akal, karena semakin bertambah usia dan menjadi dewasa, bertambah pula tanggung jawab dan kenyataan hidup yang bertumpuk di pundak kita.” Vinka mangut-mangut dengan wajah yang agak sendu.
Bu Nar menoleh pada Vinka dan Deka. Dia tersenyum teduh sekaligus tampak misterius. “Bukankah masa kanak-kanak adalah waktu yang sangat menyenangkan?” tanya Bu Nar lagi. “Kita bersenang-senang tanpa beban, tanpa mengetahui segala macam kenyataan pahit, tertawa riang, dan bahkan orang-orang dewasa berusaha menjauhkan kita dari masalah-masalah dan tanggung jawab-tanggung jawab yang rumit. Mereka seperti melindungi kita, dan hanya ingin kita untuk bahagia saja setiap hari.”
Deka termenung memandang Bu Nar saat Bu Nar berkata, “Tapi semakin bertumbuh dan menjadi dewasa, kita semakin lupa… kapan, ya, terakhir kali kita tertawa menikmati hidup yang bahagia dan tanpa beban?”