“Bukankah masa kanak-kanak adalah waktu yang sangat menyenangkan?” tanya Bu Nar lagi. “Kita bersenang-senang tanpa beban, tanpa mengetahui segala macam kenyataan pahit, tertawa riang, dan bahkan orang-orang dewasa berusaha menjauhkan kita dari masalah-masalah dan tanggung jawab-tanggung jawab yang rumit. Mereka seperti melindungi kita, dan hanya ingin kita untuk bahagia saja setiap hari.”
Deka termenung memandang Bu Nar saat Bu Nar berkata, “Tapi semakin bertumbuh dan menjadi dewasa, kita semakin lupa… kapan, ya, terakhir kali kita tertawa menikmati hidup yang bahagia dan tanpa beban?”
Lagi-lagi, perbincangan mereka harus terpotong karena lonceng di atas bingkai pintu berdenting. Ada pengunjung yang masuk. Bu Nar berkata akan melanjutkan obrolan mereka nanti. Vinka ikut dengan Bu Nar, kembali serius dan ramah tersenyum kepada pengunjung.
Sedangkan Deka, tetap pada rencana awal yang terus diinterupsi—menggiring tumpukan nampan dan penjepit makanan kotor ke dapur toko untuk dia cuci. Deka permisi pada Bu Nar, sementara akan berada di belakang.
Namun, saat Deka sudah di tepi pintu dorong yang memisahkan ruangan toko utama dan bagian belakang, “Bang Deka!” Vinka lagi-lagi memanggilnya, kali ini dengan teriakan tertahan.
Deka menoleh, menaikkan kedua alisnya. “Ada apa?” ucapnya tanpa suara, hanya dengan gerakan bibir saja.
Raut muka Vinka terlihat gelisah. Dia berkali-kali melirik Bu Nar dan Deka, membuat alis Deka semakin tinggi. Akhirnya, karena Vinka tak berkata apa-apa, Deka memilih mendorong pintu dan pergi. Tetapi, Vinka lebih dulu berderap padanya dan memanggilnya lagi, “Ba-Bang Deka!”
“Kenapa, Vin?” Deka menahan pintu. Melihat gelagat Vinka, Deka menerka-nerka. “Kamu… mau fokus belajar, ya?” tanya Deka.
Vinka otomatis membulatkan mata. “Bu-bukan, Mas! Saya bukan mau berhenti kerja!”
Deka mengangguk walau ragu pada perkataan Vinka. “Terus ada apa, Vin? Sesuatu yang serius?”
“Ah, bukan, sih… aku cuma…” —Vinka menggaruk lehernya dan memalingkan mata ke lantai— “khawatir saja sama Bang Deka. Soalnya dari tadi, Bang Deka… kelihatan sedih gitu.” —Vinka memberanikan diri menatap Deka walau malu-malu— “Bang Deka… ada masalah apa?”
Deka terdiam sejenak. “Oh, enggak, gak ada. Kenapa memangnya?”
“Ah— kalau gak ada, ya… ya, gak apa-apa, sih… hehe.” Giliran Vinka yang mengangguk-angguk. “Benaran gak ada masalah, Bang Deka?” tanya Vinka, rupanya masih tak yakin juga.
Sebetulnya, saat pertanyaan Vinka memasuki telinganya, di saat yang sama, Deka juga terbayang wajah lemas dan pucat Bunda di rumah sakit tadi pagi. Namun, dengan Vinka yang ingin tahu hal itu, Deka memilih tersenyum lebar dan berkata, “Kenapa memangnya? Kamu mau bantu ikut bantu cuci piring juga di belakang?”
Vinka terlihat salah tingkah. “E-eh, tapi aku—”
“Mbak Vinka.” Bu Nar memanggilnya, membuat kedua sejoli itu menoleh bersamaan. “Kemari. Tolong bungkuskan roti ini.”
Vinka melihat seorang nenek yang berdiri di depan kasir, dan Bu Nar seperti biasa sedang menekan-nekan tombol kibor. Roti yang dibeli si nenek teranggurkan begitu saja.
“E-eh—” Vinka menoleh-noleh pada Deka, Bu Nar, dan si nenek yang wajahnya sudah kisut tapi tetap tampak berbinar itu.
Deka tertawa kecil. “Kenapa? Mau bantu di belakang? Biar aku yang bantu membungkus roti di samping Bu Nar.” Selepasnya, Deka mendorong pintu belakang dan meninggalkan Vinka yang masih kebingungan begitu saja.
“Mbak Vin.” Bu Nar menaikkan nada suaranya—bukan dengan maksud membentak dan marah, melainkan karena Vinka tidak kunjung menghampirinya.
Dan karena Deka sudah pergi dari hadapannya juga, Vinka tak punya pilihan selain mengamini permintaan Bu Nar. “Ba-baik, Bu.”
Sementara Vinka kembali bekerja di sebelah Bu Nar di belakang kasir, Deka yang berdiri di depan wastafel dengan tumpukan wadah-wadah kotor, tersenyum.
Daripada membuat orang lain khawatir, lebih baik menyembunyikannya. Kalau mereka masih penasaran juga, alihkan saja dengan pertanyaan. Yah, Bu Nar juga membantu pembicaraan itu untuk berakhir, pikirnya.
Tak lama kemudian, Deka teringat pertanyaan Vinka barusan. “Dari tadi Bang Deka… kelihatan sedih gitu. Bang Deka… ada masalah apa?”
Senyum pada wajah Deka pun luncur berantakan. Lengkungannya menukik ke bawah. Deka memandang kucuran air keran di depannya, tak sadar kalau matanya memburam dengan genangan air. Dan tahu-tahu, pipinya basah lagi.
***
Aisu tidak terlalu mempedulikannya. Alam bawah sadarnya teringat, bahwa dia tak boleh terlambat masuk kelas. Sepuluh menit lagi sudah hampir jam sebelas siang. Aisu membawa gitar rusak milik Papa masuk ke lobi, menaiki lift ke lantai empat, memasuki salah satu ruang kelas yang masih sepi orang, memilih kursi di paling pinggir supaya dapat menyandarkan gitar—menyembunyikannya—dan mengikuti perkuliahan hingga hampir dua jam ke depan.
Pukul satu siang, ruangan kelas itu berangsur sepi dengan orang-orang yang bergegas keluar, seraya sang dosen mengakhiri perkuliahan. Aisu menutup buku dan memasukkannya ke dalam ransel. Sambil menenteng gitar rusak milik Papa keluar, Aisu memaku perhatiannya kepada ponsel di tangan.
“Mindy, kamu sudah di kelas?” Aisu mengirim pesan pada Mindy. Tapi setelah dua menit, pesan itu belum dibaca oleh Mindy. Sepertinya Mindy masih mengikuti kelas perkuliahan siang.
Aisu pun akhirnya menutup ruang obrolan, mengarungi aplikasi Browser dan mengetik “Toko Alat Musik Terdekat” dengan maksud ingin membenarkan senar gitar.
Sambil membagi fokus pada ponsel, Aisu ikut masuk ke dalam lift yang hampir penuh dengan orang-orang. Aisu kedapatan tempat tepat di depan pintu lift, di depan orang-orang yang masuk lebih dulu. Dan tentu saja, Aisu menjadi pusat perhatian. Beberapa dari mereka mengintip Aisu diam-diam, melirik gaya pakaiannya dari atas sampai bawah yang terlihat keren, penuh tenaga, dan tidak biasa.
Mereka serasa baru melihat Aisu pertama kali, padahal—beberapa dari mereka adalah teman sekelas Aisu tadi—sudah sering melihat Aisu di kelas, tapi memang tema pakaian yang Aisu pakai hari ini baru pertama kali mereka lihat. Dan bagi mereka, Aisu jauh dari kesan urakan yang seperti biasa tersemat padanya.
Hari ini, Aisu terlihat penuh tenaga dan mengintimidasi. Yah, kalau saja di tangan kanannya tidak tergenggam gitar yang senarnya mengeriting ke mana-mana.
Setelah berhenti di beberapa lantai, lift sampai di lobi. Pintu terbuka, Aisu segera turun tanpa menaruh ponselnya ke saku. Aisu berniat menunggu Mindy ke tempat tongkrongannya biasa, meja taman belakang kampus. Namun, baru sampai di trotoar depan gedung fakultas, sebuah pesan dari orang yang tak ingin Aisu temui masuk ke ponselnya.
“Sudah selesai kelas?”
Aisu kontan merengut. “Ck, Leo.”
Aisu memutuskan tidak akan membaca pesan darinya. Dia langsung menghapus ruang obrolan Leo, kemudian berjalan cepat dan mengentak-ngentak. Akan tetapi, langkahnya sontak berhenti tiba-tiba ketika mengingat Leo—bukan menyangkut hal yang kemarin tentu saja.
Untuk itu, Aisu mendadak putar balik dan berlari menuju gedung Fakultas Seni dan Budaya di depan sana, hingga langkahnya hampir menubruk barisan orang yang berjalan bersisian dan menutupi jalanan.
Aisu berlari dengan kecepatan sedang, tak sadar hampir menabrak—ditabrak oleh—sebuah mobil hitam yang melintas masuk.
***
Ckiiiiiiiit!
Lelaki itu langsung menginjak pedal rem dan mencengkram setir, saat tiba-tiba melihat seorang perempuan berpakaian serba hitam berlari menuju mobilnya yang sedang melaju.
“Astaga!” pekik wanita yang duduk di sebelah bangku pengemudi. “Ada apa, Hideaki-san?” Wajah cantik si wanita terlihat cemas menatap si pria bersetelan jas biru laut di sebelahnya, sekaligus pada moncong depan mobil yang tak terdapat apa-apa kecuali jalanan dalam kampus.
“Ah, tidak. Sepertinya aku salah lihat.” Pria yang dipanggil Hideaki itu kembali melaju dengan kecepatan pelan.
“Hati-hati saja menyetirnya, Hideaki-san,” peringat si wanita, membuat si Hideaki melirik dengan wajah datar, sedang si wanita menoleh ke belakang, pada tas kertas besar yang agak meleyot di kursi belakang. “Yah, bagaimana ini? Rotinya hampir penyok, Hideaki-san! Apa seharusnya aku pangku saja, ya?”
“Camelia,” panggil si pria dengan suara yang dalam, tidak menggubris kekhawatiran si wanita. “Jangan memanggilku dengan nama depan.”
Camelia, wanita dengan wajah dan gaya pakaian yang cantik dan lembut, tersenyum salah tingkah menunjukkan gigi putih nan rapinya. “Hehe. Maaf, Hiroki-san. Tapi, kan…” —Camelia terlihat semakin salah tingkah dan malu-malu— “kita tidak sedang di depan mahasiswa Hiro… Hideaki-san, bukan? Jadi, tidak apa-apa, kan, Hideaki-san?”
Hiroki, Hideaki, atau siapa pun panggilannya, hanya menghela napas tipis mendengar suara merdu Camelia yang memanggil nama depannya. “Terserah kamu saja.”
“Eh, Hideaki-san, yang merah-merah di wajahmu itu apa?”
—————
Aisu berlari menuju gedung Fakultas Seni dan Budaya, tepatnya menuju ruang klub musik yang letaknya bersebelahan dengan kolam taman kampus. Tak mempedulikan tatapan orang-orang yang heran pada wajah baru di area sana, Aisu langsung lurus pada tujuannya.
Berdiri di depan pintu ruang klub musik, Aisu tak memakai sopan santunnya dengan mengetuk ataupun permisi. Dia langsung memutap kenop pintu dan muncul mendadak di hadapan lima laki-laki yang berwajah kaget dan mata yang membulat.
Aisu sempat mengedarkan pandang dulu, memandang mereka satu per satu.
“Apaan, tuh?” Aisu tak mengenal lelaki yang duduk di depan drum.
“Kenapa? Kenapa?” Tidak juga yang sedang memegang mikrofon.
“Bawa-bawa gitar gitu, anggota yang mau gabung?” Tidak juga lelaki yang sedang bermalas-malasan tidur-tiduran di sofa.
“Masa, sih? Mahasiswa baru juga bukan!” Apalagi lelaki yang melepas tali bass dari pundaknya itu.
Saat matanya merotasi ke arah paling akhir, sebelah kiri dekat pintu— “Buset, dah, Neng! Pelan aje kali bukanye!” teriak salah satu lelaki yang sedang menggendong gitar akustik dengan Logat Betawi.
Ah! Aisu kenal dengan cowok Betawi itu!
“Noval!” teriak Aisu, berderap ke arah lelaki gempal itu dan membuatnya kaget.
“Buset, buset! Gak usah teriak, Neng!” latahnya saat mendadak Aisu ada di hadapannya dalam sekejap mata.
Tanpa basa-basi, Aisu menyodorkan gitar milik Papa. “Ini! Kamu tahu gak, betulin senarnya di mana?”
Noval terlihat bingung, begitu pula keempat temannya yang berada di ruang klub musik yang tak pernah melihat Aisu sebelumnya, tapi tahu-tahu main datang saja tanpa memperkenalkan diri.
“Senar?” tanya Noval. “Ya elah, Neng, gua kira apaan!”
“Di mana?!” tanya Aisu geram.
“Bentar, bentar. Lu ke sini cuma mau tanya tempat bakal benarin ini senar gitar lu doang?” tanya Noval balik.
“Di mana, Val?!” teriak Aisu.
“Buset, galak benar lu.” Noval geleng-geleng. “Gua kira lu kemari mau tanya soal Leo, sampai buru-buru begitu kayak orang kebakaran jenggot.”
Aisu mengerutkan alis tak suka. “Ngapain menanyakan dia?” ketusnya.
“Ye, siape tahu aje udeh jadi.” Noval mengedikkan bahu, mengerling jahil pada Aisu, juga pada keempat temannya.
“Oh, jadi dia, Bang?!” teriak salah satunya.
“Oh, dia?!” sahut satu yang lain.
“Hmm, pantas saja! Boleh, lah, boleh. Hahaha!”
“Hahaha!”
Aisu menoleh kepada keempat laki-laki itu dengan tatapan mata yang mendelik galak. “Apanya yang boleh?” Tawa mereka berempat pun berhenti. Aisu menoleh pada Noval lagi. “Apanya yang sudah jadi?”
Tapi Noval tidak terintimidasi. “Ya elah, pake nanya segale. Masa, lu kagak tahu, Neng?” Noval menepuk lengan Aisu. “Ya, elu sama Leo yang udeh jadi. Pake nanya lagi lu!”
Aisu menatap lengannya yang baru saja disentuh Noval. Alasannya memang karena tidak suka sembarangan disentuh, apalagi Aisu sedang mengenakan jaket kulit kesayangannya. Tapi, marahnya Aisu saat ini adalah karena sikap sok ramah Noval yang main menyentuhnya. Terlebih lagi, teman-teman Noval yang terlalu sok akrab padanya membuat Aisu semakin tak suka.
Walaupun Aisu mengenal Noval, Aisu tetap saja merasa tak nyaman dengan kebiasaan Noval yang terlalu cepat akrab dan supel pada orang lain.
“Aku tanya, apanya yang boleh? Apanya yang sudah jadi?” ulang Aisu. “Siapa yang menyebar rumor kayak gitu?” Nada Aisu terdengar tertahan karena menahan amarah. (Entahlah, Aisu mendadak emosi kalau dipantik oleh topik yang bersangkutan dengan Leo dan dirinya.)
“Ya, elu sendiri ngapain kemari, kalau bukan nyariin Leo?” Noval masih menggunakan Logat Betawi-nya. “Kerjaan amat buat lu kalau gak ade ape-ape, tapi jalan dari gedung fakultas lu ke ruang klub musik di mari. Ya, menurut gua, buat ape lagi kalau lu bukan nyariin Leo. Iye, gak, *Lur?” Noval masih mempertahankan senyum jahilnya kepada teman-temannya, membuat Aisu semakin emosi.
(*Lur = sedulur = teman, kawan)
“Yah, boleh, lah.” Salah satu lelaki menyahuti Noval. “Selama ini, aku memang baru dengar cerita-ceritanya saja, belum pernah ketemu sama cewek yang disukai Leo.” —Dia melirik Aisu— “Setelah lihat langsung, yah, boleh, lah! Hahaha!”
“Keren, sih, tapi bukan tipe “cewek cantik” hahaha!”
“Hahaha! Sialan, kau, penjahat! Tapi badannya oke, nih, menurutku.”
“Oi, Lur, jangan begitu, lah.” Noval memperingati, tapi dia meloloskan tawa kecil.
Mendengar suara tawa mereka berlima yang saling sahut menyahut, seakan menjadi kayu bakar pada api amarahnya. Mata Aisu sudah menggelap, tak suka jika topik yang berhubungan dengan Leo dan dirinya diungkit-ungkit oleh orang lain. Dia marah, dan… merasa sedikit cemas.
Aisu memutar badan, berhadapan dengan keempat teman Noval. Dia menggenggam tulang rusuk gitarnya kencang-kencang. “Kalian tahu, yang kalian bicarakan barusan itu bersinggungan dengan tubuh perempuan? Dan kalian tahu, apa yang kalian bicarakan barusan bisa termasuk pada pelecehan seksual?”
“Serius banget, sih? Kita, kan, bercanda,” komentar salah satunya.
“Emosian,” komentar yang lain.
“Santai saja, kali. Berlebihan banget.”
“Memang kita menyuruh untuk buka baju? Kan, enggak.”
Aisu mengembuskan napasnya berat—memang begitu kalau sedang menahan amarah. “Bercanda? Berlebihan? Santai saja? Kalian pikir, membicarakan soal tubuh perempuan di depan orangnya langsung itu hanya candaan semata? Kalian pikir, perempuan akan ikut tertawa mendengar bercandaan itu tentang tubuhnya? Itu namanya pelecehan seksual!”
Aisu maju selangkah demi selangkah, membuat keempat lelaki itu waspada dan bertanya apa yang akan Aisu lakukan, tapi Aisu hanya melangkah saja mendekati mereka dengan wajah galak dan seram.
“Kalau kalian mau bercanda—”
Aisu mengangkat gitar tua milik Papa tinggi-tinggi, layaknya sebuah pemukul bola bisbol. Keempat lelaki itu bergedik, Noval pun ikut panik. Setelah mengambil ancang-ancang pada tangannya, Aisu bersiap berlari mengejar keempat lelaki tersebut yang satu per satu mulai berdiri. Aisu pun mengayunkan gitar itu kencang-kencang, dan—
“—maka anggap saja aku juga sedang bercanda, sialan!!”
“Woi, Neng!! Udeh gile, lu?!!”
BUGH!!